Saya percaya di era ini hampir kalangan memiliki media sosial. Dari yang muda sampai yang sepuh, dari pelajar, mahasiswa, pedagang, pekerja swasta, sampai Aparatur Sipil Negara (ASN). Instagram, TikTok, Facebook, X (dulu Twitter), LinkedIn, sampai YouTube jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Media sosial bukan lagi sekadar tempat pamer foto liburan, tapi sudah jadi ruang publik yang penuh warna: ada yang berbagi ilmu, promosi dagangan, menyampaikan opini, bahkan curhat keseharian.
Bagi ASN, media sosial membawa dua wajah sekaligus. Di satu sisi, medsos bisa jadi wadah ekspresi: menyalurkan ide, kreativitas, bahkan berbagi inspirasi positif kepada masyarakat. ASN punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa birokrat bukan hanya "orang kantor" yang kaku, tapi juga manusia biasa dengan hobi, humor, dan sisi personal.
Namun di sisi lain, ASN juga punya tanggung jawab khusus. Status ASN melekat 24 jam, bukan hanya di jam kerja. Apa yang diposting di medsos bisa berdampak bukan hanya bagi pribadi, tetapi juga pada citra instansi bahkan pemerintah. Maka muncullah dilema: sejauh mana ASN boleh bebas berekspresi di dunia maya, dan di titik mana kebebasan itu harus dibatasi oleh kewajiban etis, hukum, dan profesi?
Inilah yang akan kita bahas dalam artikel yang saya tulis. Kita akan menelusuri dinamika kebebasan dan batasan ASN di media sosial: dari hak dasar sebagai warga negara, hingga kode etik dan regulasi yang harus dipatuhi. Tidak dengan bahasa hukum yang kaku, tapi dengan narasi humanis, agar mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari.
Media Sosial = Panggung Publik
Bayangkan media sosial sebagai sebuah panggung besar. Semua orang boleh tampil, semua orang boleh bersuara. Tidak ada tiket masuk, tidak ada sensor ketat di awal (meski ada aturan komunitas), dan audiensnya bisa jutaan orang. Bedanya dengan panggung biasa? Kalau di panggung konser atau seminar kita bisa pulang setelah acara selesai, di media sosial jejak digital sulit hilang. Apa yang kita unggah hari ini, bisa tetap ada bertahun-tahun ke depan, bisa direkam, di-screenshot, dan dibagikan tanpa batas.
Bagi ASN, panggung ini punya daya tarik sekaligus risiko. Banyak ASN yang senang berbagi keseharian, misalnya posting kegiatan olahraga bareng teman kantor, cerita pengalaman ikut pelatihan, atau membagikan insight soal kerjaan pembangunan. Ada juga yang lebih personal: berbagi resep masakan, foto keluarga, atau review film. Semua itu sah-sah saja. Bahkan bagus, karena menunjukkan sisi humanis ASN di mata publik.
Namun, ketika seorang ASN naik ke "panggung medsos", statusnya bukan lagi sekadar individu. Netizen tidak hanya melihat dia sebagai pribadi bernama "Budi" atau "Siti", tapi juga sebagai "ASN di instansi X". Apalagi kalau akun medsosnya terbuka dan mudah dikenali. Di sinilah mulai muncul pertanyaan: apakah ekspresi pribadi seorang ASN boleh sebebas warga sipil lainnya?
Â
ASN sebagai Manusia, ASN sebagai Abdi Negara
Kita tidak boleh lupa bahwa ASN tetaplah manusia. ASN butuh berekspresi, butuh didengar, butuh punya ruang untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya. Media sosial memberi wadah yang instan, mudah, dan luas. Menulis status, membuat konten video, hingga sekadar komentar bisa jadi cara melepas stres sekaligus menjalin koneksi sosial.