Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ekonomi Komoditas Udang dan Tiga Pendekatan Optimasi Lahan

30 Juli 2020   10:41 Diperbarui: 3 Agustus 2020   19:10 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah memasang target kenaikan ekspor udang sampai 5 tahun ke depan| Sumber: KONTAN/Rani Nossar

Pemerintah memasang target kenaikan ekspor udang sebesar 250% hingga lima tahun mendatang. Dengan kata lain, jika memakai baseline data target produksi tahun 2020 yang mencapai 1,2 juta ton, maka di tahun 2024 produksi udang nasional ditargetkan naik menjadi 3 juta ton. 

Itung-itungan yang dilakukan pemerintah, setidaknya perlu optimalisasi lahan baru seluas lebih kurang 100.000 ha hingga lima tahun mendatang.

Dalam pernyataan yang dikutip media nasional, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Komarves), Luhut B Panjaitan, menyatakan akan membuka tambak baru untuk budidaya udang seluas 100.000 ha dalam lima tahun mendatang. 

Luhut juga menargetkan tahun ini ada 30.000 ha tambak baru yang operasional. Dalam hal ini kurang jelas apakah lahan seluas itu berupa cetak tambak baru atau mengoptimalkan lahan eksisting yang ada dan bagaimana strategi pencapaiannya? Ini tentu yang kita tunggu tunggu bisa berjalan efektif.

Langkah pemerintah menetapkan udang sebagai komoditas unggulan ekspor dan pengembangan budidayanya sebagai program prioritas nasional sudah tepat. Ini mengingat udang punya potensi besar dalam mendulang devisa ekspor. 

Mengacu pada data ekspor yang dirilis BPS, tahun 2018 misalnya, udang memberikan share sebesar hampir 40% terhadap nilai total ekspor produk perikanan yakni lebih kurang 1,4 milyar dollar US.

Trend permintaan udang juga terlihat mulai meningkat lagi kendati dalam masa pandemi global Covid-19, terutama memasuki kuartal ke dua. Merujuk pada data International Trade Center, tahun 2019 misalnya market demand udang mencapai 2,8 juta ton dengan pangsa nilai ekspor mencapai 20,47 milyar dollar US. 

Dari angka tersebut Indonesia baru memberikan supply share sebesar 5,6% dari total permintaan dunia di bawah Argentina, India, dan Ekuador.

Di masa pandemi ini ada kekosongan supply, karena beberapa negara terutama India sebagai eksportir utama saat ini masih menerapkan kebijakan lockdown. 

Seperti diketahui, India menguasai pangsa pasar udang dunia sekitar 21%, terutama ke USA. Ditambah lagi saat ini China tengah dirundung masalah baru yakni munculnya virus udang jenis baru. Tentu ini jadi peluang bagi Indonesia untuk segera mengambil alih kekosongan market share yang ada. 

Dua faktor utama yang perlu didorong yaitu daya saing dan produktivitas. Inilah dua PR besar yang harus segera dituntaskan dalam jangka waktu super pendek, khususnya selama masa pandemi ini. 

Kita paham bahwa dari pengalaman yang ada, negara lain lebih cepat dalam melakukan recovery keadaan dan ini kelemahan kita yang selalu kesalip di tengah jalan, akibat minimnya sense of crisis. Tentu ini tidak boleh terjadi, jika kita punya target ambisius menggenjot nilai ekspor di atas.

Di sisi lain, secara teknis, langkah KKP dalam menggenjot produktivitas udang melalui konsep pemgembangan klaster budidaya udang berkelanjutan dinilai sangat baik. 

Konsistensi penerapan SOP model dimaksud, telah terbukti memberikan hasil yang optimal di beberapa daerah, sebut saja di Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan daerah lainnya.

Tiga Pendekatan Optimasi Lahan

Sebagaimana diulas di depan, kita belum punya gambaran bagaimana desain besar atau semacam cetak biru, terutama pendekatan model untuk merealisasikan optimalisasi lahan baru 100.000 ha yang disebut Kemenkomarves, apakah cetak lahan baru atau memanfaatkan eksisting yang ada?

Terlepas dari hal tersebut, dalam ulasan kali ini, saya ingin mem-propose tiga pendekatan untuk optimalisasi lahan tambak dalam mendukung realisasi capaian kenaikan produksi hingga 250%. 

Pertimbangan lain dari tiga pendekatan ini adalah keterbatasan pembiayaan pemerintah, apalagi jika harus banyak bergantung pada APBN. Oleh karenanya, perlu ada pendekatan dengan melibatkan private sector.

Tentu karena saya bukan praktisi udang, maka saya abaikan input seperti teknologi budidaya yang saya percaya sudah sedemikian dinamis. Hanya PR nya bagaimana input teknologi mampu menjangkau semua pelaku bisnis udang nasional.

Tiga pendekatan tersebut saya bagi menjadi skala industri, menengah, dan skala kecil. Perbedaan ketiganya tentu akan juga menentukan jenis effort yang perlu didorong, di samping agar bagaimana pengembangan udang ini bersifat inklusif, artinya bisnis ini bukan semata bisnis korporasi atau pemilik modal besar, tapi di dalamnya ada peran pemberdayaan bagi petambak skala kecil.

Pertama, dalam konteks skala industri. Saya menyarankan pemerintah untuk melakukan optimalisasi tambak eks dipasena di Provinsi Lampung dan sekitarnya. 

Meredanya polemik antara plasma dan inti, seharusnya menjadi pintu masuk pemerintah untuk menjadikan tambak eks dipasena sebagai proyek strategis nasional (PSN). 

Tambak yang terletak di Kecamatan Rawajitu, Kabupaten Tulang Bawang ini memiliki luas tambak efektif sekitar 24.000 ha, di luar fasilitas penunjang lainnya. Ini sangat potensial untuk direvitalisasi menjadi industri tambak modern terpadu (integrated shrimp farming industries) sebagaimana di zaman keemasan dulu. 

Tentu mekanisme pengembangannya dengan melibatkan peran swasta dan masyarakat pembudidaya eksisting dengan model-model yang bisa disepakati dengan berkaca pada masalah multidimensi yang muncul sebelumnya.

Jika, tambak eks dipasena ini mampu direvitalisasi sebagai tambak modern dengan produktivitas 20 ton per ha saja, maka setidaknya akan ada tambahan produksi udang mencapai minimal 336.000 ton per tahun (jika 100% dioptimalkan).

Kedua, dalam konteks skala menengah. Saya menyarankan pemerintah untuk mendorong penerapan model tambak estate melalui mekanisme platform crowdfunding misalnya. Mekanisme yang telah berhasil dikembangkan para start-up millenial pada berbagai bisnis perikanan, bisa replikasi dalam skala lebih besar. 

Di sisi lain, mekanisme ini akan memicu minat investasi dan pemberdayaan masyarakat, terlebih sektor perbankkan konvensional dinilai masih setengah hati. Pemerintah bisa mendorong pelaku usaha seperti Shrimp Club Indonesia (SCI) yang saat ini menjadi produsen dominan udang nasional, para start-up dan lainnya untuk terlibat.

Konsep tambak estate yakni dengan memanfaatkan aset aset pemerintah dan BUMN seperti lahan perhutani yang saat ini banyak tidak produktif, namun potensial untuk pengembangan tambak udang. 

Konsep tambak estate juga bisa diintegrasikan dengan program perhutanan sosial, sehingga masyarakat disekitar hutan atau kelembagaan masyarakat adat bisa turut diberdayakan melalui penciptaan usaha baru budidaya udang. 

Integrasi konsep tambak estate, program perhutanan sosial dan mekanisme platform crowdfunding, diprediksi akan mampu mengoptimalkan aset lahan tambak yang ada.

Saya mengilustrasikan, jika kita mampu mengoptimalkan aset lahan Pemerintah, terutama BUMN (Perhutani) yang non produktif seluas 5.000 ha saja. Dengan penerapan budidaya semi intensif (50%) dan silvofishery (50%), maka akan ada tambahan produksi udang 2.000 ton hingga 10.000 ton mencapai minimal 50.000 ton per tahun.

Ketiga, dalam konteks skala kecil. Pemerintah harus mendorong pengembangan tambak rakyat dengan meng-upgrade kapasitasnya. Saat ini hampir 60% tambak di Indonesia merupakan tambak rakyat (skala kecil) dengan teknologi sederhana (tradisional), dan memiliki produktivitas dibawah 500 kg per ha. 

Oleh karenanya pemerintah perlu memfasilitasi dengan meng-upgrade menjadi teknologi tradisional plus dengan produktivitas minimal 1 ton per ha.

Dalam hal ini peran pemerintah harus full support terutama dalam memfasilitasi pembangunan dan perbaikan infrastruktur tambak yang memadai, penyediaan input benih yang berkualitas dan terjangkau, kemudahan akses lainnya.

Diprediksi tahun 2016 saja eksisting lahan tambak rakyat untuk usaha budidaya udang tradisional diperkirakan mencapai 172.000 ha, jika kita mampu meng-upgrade produktivitas menjadi minimal 1 ton per ha, maka artinya ada potensi penambahan produksi udang mencapai 172.000 ton per tahun.

Perlu ada peta jalan yang jelas dan terukur terhadap tiga pendekatan di atas, koordinasi lintas stakeholders, terutama membangun komitmen daerah adalah hal paling mendesak dilakukan. Oleh karena itu, dalam jangka pendek perlu segera lakukan tindak lanjuti, antara lain:

(1) Lakukan kajian multidimensi terhadap kemungkinan revitalisasi tambak eks dipasena sebagai national project pengembangan tambak modern terintegrasi (integrated shrimp farming industries) dan sekaligus merancang model bisnisnya;

(2) Segera lakukan kajian kelayakan dan pemetaan potensi efektif aset aset lahan pemerintah dan BUMN, terutama aset lahan non produktif milik Perhutani untuk pengembangan model bisnis tambak estate dengan mengintegrasikan peran SCI, BUMN, program perhutanan sosial dan platform crowdfunding; dan

(3) Segera lakukan pemetaan potensi tambak rakyat yang bisa diupgrade, dan mendorong fasilitasi kemudahan berbagai akses produksi terutama infrastruktur tambak yang memadai.

Tiga pendekatan optimalisasi lahan di atas, tentu hanya sebatas alternatif pandangan subjektif saya terhadap potensi dan berbagai kemungkinan yang bisa dorong. Catatan penting lain, bahwa target target kuantitatif yang dicanangkan harus paralel dengan proyeksi market demand baik (ekspor maupun domestik), dan ketersediaan input sumber daya yang realistis. 

Oleh karena itu, penting membuat proyeksi berdasarkan pertimbangan leverage factor dari berbagai aspek, sehingga target apapun tidak hanya sebatas asumsi.

Semoga Indonesia mampu memanfaatkan peluang ekonomi dari potensi bisnis udang nasional. Tentu, dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan prinsip "equality of dimension" yakni kelestarian sumber daya, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. 

Termasuk saya berharap pemerintah untuk tetap mempertimbangkan upaya-upaya perlindungan lingkungan hidup, dengan tidak secara mudah membuka keleluasaan terhadap persyaratan perizinan investasi yang mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan.

Wallahualam.

Penulis adalah Perencana

Alumni Perikanan UNDIP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun