Dampak negatif tersebut antara lain berkaitan dengan alih fungsi lahan (land conversion), emisi, biodiversity, pencemaran akibat polutan (nutrien, dan bahan kimia), dan isu lain yang berkaitan dengan konflik pemanfaatan sumberdaya air.
Apapun itu, nampaknya fenomena tersebut sudah harus menjadi bahan pertimbangan bagi titik balik pola pengelolaan akuakultur yang lebih bertanggungjawab. Indonesia sebagai salah satu penopang terbesar produk akuakultur dunia harus segera menentukan langkah-langkah konkrit sebagai upaya antisipasi dini dalam menghadapi tantangan akuakultur ke depan dengan memperkuat interaksi akuakultur dengan lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dimensi lingkungan sebagai dasar SustainableAquaculture
Dari bahasan di atas, sebenarnya muara dari prinsip sustainability adalah pada aspek lingkungan. Artinya, tidak bisa sebuah pengelolaan usaha budidaya dikatakan berkelanjutan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan di dalamnya. Â
Dengan kata lain, lingkungan dimaksud bukan hanya lingkungan yang terfokus pada on farm, tapi lingkungan dalam arti luas yang berkaitan dengan jaminan keseimbangan siklus alamiah yang membangun sebuah ekosistem secara keseluruhan.
FAO Sebagaimana dalam Code of Conduct for Responsible Aquaculture telah memberikan guiden kepada negara-negara bagaimana melakukan pengelolaan akuakultur secara bertanggungjawab dengan menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Merujuk pada apa yang telah diamanatkan dalam FAO-code of conduct di atas, kita dapat memetakan terkait interaksi antara akuakultur dengan dimensi lingkungan sebagai salah stu indikator sebuah pengelolaan usaha budidaya bisa dikatakan sustain.
Dalam konteks dimensi lingkungan, secara umum beberapa indikator sustainability yang patut menjadi bahan acuan pengelolaan akuakultur yang berkelanjutan adalah sebagai berikut :
Pertama, konversi lahan (landconversion). Pengembangan kawasan akuakultur tidak boleh mengorbankan kawasan penyangga, kawasan konservasi, dan kawasan-kawasan lain yang bersifat vital sebagai penopang ekosistem secara keseluruhan.Â
Dalam penetapan kawasan budidaya tambak, misalnya, maka pelaku usaha wajib menyediakan spare minimal 20% dari total lahan potensial untuk kawasan penyangga (bufferzone), begitupun dengan jenis budidaya lainnya.
Maraknya alih fungsi lahan hutan mangrove beberapa dekade yang lalu menjadi lahan pertambakan secara tak terkendali, pada kenyataannya telah mendegradasi struktur, komposisi dan fungsi ekosistem yang ada. Kondisi ini pada akhirnya juga menjadi bumerang bagi aktivitas akuakultur dan menyisakan masalah berkepanjangan hingga saat ini.Â
Merebaknya hama dan penyakit pada ikan dan udang merupakan bagian mata rantai sebagai akibat terabaikannya aspek ekologis yang membangun sebuah ekosistem tersebut. Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggungjawab para pelaku usaha sudah seharusnya menyediakan kompensasi jasa lingkungan.