Mohon tunggu...
Lea Anjelika
Lea Anjelika Mohon Tunggu... Mahasiswa universitas Katolik santo Thomas

Mahasiswa di Universitas Katolik santo Thomas

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Rumah Tidak Lagi Menjadi Tempat Berlindung

3 Juli 2025   22:35 Diperbarui: 3 Juli 2025   22:36 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rumah seharusnya menjadi pelabuhan ternyaman bagi anak-anak. Tapi, bagaimana jika tempat yang seharusnya jadi perlindungan justru menjadi awal mula hilangnya rasa aman seorang perempuan, bahkan nyawanya? Kasus pemerkosaan oleh orang terdekat seperti saudara, ayah, atau paman memang mengerikan, dan ironisnya, lebih sering terjadi dari yang kita kira. Lebih memilukan lagi, seringkali kita memilih bungkam. Perilaku bejat terhadap keluarga sendiri bukan hanya melanggar norma agama, sosial, dan hukum, tapi juga memperlihatkan sisi gelap manusia yang kehilangan akal sehatnya. Pemerkosaan dalam keluarga bukan soal cinta atau ketertarikan. Ini bukan sekadar dorongan biologis sesaat. Ini adalah tindak kejahatan yang berakar pada kekuasaan, dominasi, dan rasa memiliki yang salah. Banyak pelaku menyalahgunakan posisi mereka sebagai anggota keluarga yang lebih tua atau punya kuasa untuk menindas korban. Ironisnya, korban merasa tak berdaya karena pelaku adalah orang yang mereka kenal dan percaya sejak lama. Masyarakat pun kerap memperparah keadaan. Ketika kasus seperti ini muncul, korban seringkali disalahkan, dianggap mencoreng nama baik keluarga, alih-alih dilindungi. Tragisnya, banyak keluarga memilih "menyelesaikan masalah sendiri" demi menjaga nama baik, tanpa memikirkan trauma mendalam yang dialami korban. Inilah masalah sosial yang kita biarkan berlarut. Budaya tutup mulut, keengganan melapor, dan kurangnya edukasi seks dalam keluarga menghilangkan rasa aman itu. Kita membiarkan generasi muda tumbuh tanpa pemahaman tentang batasan tubuh, hak untuk menolak, dan keberanian untuk bersuara saat terluka.

Di Sukabumi, pada tahun 2021, seorang pria berusia 28 tahun tanpa ampun memperkosa adik kandungnya sendiri. Perbuatan keji ini sudah berlangsung sejak tahun 2016, saat sang adik masih anak-anak. Aksi bejat ini terus berulang selama bertahun-tahun hingga akhirnya terbongkar setelah korban, dengan segenap keberanian, memberanikan diri melapor, didampingi oleh para tetangga. Sayangnya, kasus semacam ini bukanlah hal baru. Seringkali, banyak keluarga memilih untuk menutupi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh saudara atau kerabat dekat demi menjaga reputasi keluarga. Dampaknya, para korban tidak hanya harus menanggung derita seorang diri, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka dapatkan. Fakta yang Memprihatinkan: Menurut Laporan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023, sekitar 30% kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang terdekat, seperti ayah, paman, atau saudara kandung. Ini mengindikasikan bahwa bagi sebagian anak, rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru menjadi sumber trauma mendalam yang tak terlupakan.

Di tengah berbagai masalah yang ada, dunia maya kini menjadi wadah baru bagi perbuatan yang tidak senonoh. Pada Mei 2025, polisi membongkar keberadaan grup Facebook bernama "Fantasi Sedarah" dengan lebih dari 32 ribu anggota. Grup ini dengan gamblang menyebarkan konten serta cerita khayalan seksual sedarah, termasuk ibu, anak, dan saudara. Lebih mengerikan lagi, enam orang ditahan setelah terbukti melakukan fantasi tersebut di dunia nyata. Salah satu pelaku bahkan memperkosa keponakannya yang berumur 8 dan 12 tahun, sementara yang lain mencabuli anak tetangga berusia 7 tahun. Ini bukan lagi sekadar khayalan semata. Ini adalah kejahatan serius yang muncul dari komunitas online berbahaya yang melegalkan kekerasan seksual untuk memuaskan diri sendiri. Ketertarikan pada keluarga sendiri tidak hanya melanggar nilai sosial, hukum, dan agama, tetapi juga menunjukkan sisi kelam manusia yang kehilangan akal dan hati. Pemerkosaan pada keluarga bukanlah wujud cinta atau hasrat. Ini bukanlah sekadar naluri biologis yang "diprogram. " Ini adalah kejahatan yang lahir dari kekuasaan, dominasi, dan rasa memiliki yang salah kaprah. Seringkali, pelaku menggunakan posisi mereka sebagai anggota keluarga yang lebih tua atau berkuasa untuk menekan dan mengendalikan korban. Ironisnya, korban sering merasa tidak berdaya, karena pelakunya adalah orang terdekat yang mereka kenal sejak kecil.

Peristiwa seperti ini menjadi alarm bagi kita semua: perlindungan bagi anak-anak serta kaum perempuan masih jauh dari kata ideal. Pemerintah wajib mengambil langkah nyata dengan memperketat aturan hukum, mempermudah akses pelaporan tindak kekerasan berbasis gender, dan menyediakan perlindungan serta bantuan psikologis bagi mereka yang menjadi korban. Edukasi mengenai seksualitas yang sehat, dilandasi nilai kemanusiaan, perlu diajarkan sejak dini. Tujuannya bukan untuk mengajarkan seks, melainkan memperkenalkan batasan pribadi, hak atas rasa aman, dan pentingnya menolak segala bentuk perlakuan yang tidak semestinya. Pemerkosaan oleh saudara sendiri bukan sekadar tindakan kriminal biasa. Ini adalah bentuk pengkhianatan mendalam terhadap ikatan keluarga, rasa aman di rumah, dan kepercayaan. Jadi, jangan pernah melihatnya sebagai sesuatu yang memalukan dan harus ditutupi. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus kita perangi bersama. Jika ingin melaporkan kasus pemerkosaan, Anda bisa mengirim email ke pengaduan@komnasperempuan. go. id, mengunjungi situs pengaduan. komnasham. go. id, atau langsung melapor ke kantor polisi terdekat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun