Mohon tunggu...
Kosmas Lawa Bagho
Kosmas Lawa Bagho Mohon Tunggu... Auditor - Wiraswasta

Hidup untuk berbagi dan rela untuk tidak diperhitungkan, menulis apa yang dialami, dilihat sesuai fakta dan data secara jujur berdasarkan kata hati nurani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyair dan Eufemisme Kritik Sosial: Esai Puisi "Pajero" Yerem B. Warat

10 Mei 2021   08:23 Diperbarui: 10 Mei 2021   08:43 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul

Dari Ladang Pintubesi ke Brankas Koperasi

Pengarang

Kosmas Lawa Bagho & Yerem B. Warat

Penerbit

CV Yedija Nusantara, Sleman, Juli 2020

Tebal

70 halaman

Pajero

Di jalan berlubang


Kami

Masih di sini

Di jalan berlubang-lubang ini


Kalau pun bisa ke mari

Hati-hatilah saja supaya tak terjungkal

Ke dalam lubang

Terkubur dengan kacamu terpecah-pecah


Sayang

Mahal-mahal dibayar

Pakai keringat kami di tengah musim

Paling ironis ini


Mendingan di kota saja

Jalannya mulus licin tak berbatu

Bisa sangat lama usiamu dari pada ke kampong sini


Bila senja mulai tiba

Mampirlah kembali ke kampung hingga ke pondok-pondok

Menjemput suara suara kami lagi

Untuk digadaikan lagi


Pajero

Terjerembab dalam lubang

Luka kami


Engkau di dalam?

(Yerem B. Warat, Dari ladang, 28 Mei 2020)

Pendahuluan

Penulis adalah seorang pendatang baru dalam dunia menulis esai apalagi esai puisi. Walau pun demikian, penulis berminat dan bergelut dengan dunia sastra terutama corat-coret atau menulis puisi sejak tahun 1992 serta cukup rajin menerbitkan dalam bentuk antologi puisi bersama para penyair lainnya yang lebih berpengalaman sejak tahun 2020, maka penulis pun berani menulis esai ini dengan beberapa risiko apa pun kritik yang ditujukan kepada penulis.

Puisi yang dianalisis penulis untuk kali perdana berjudul "Pajero" karya penyair Yeremias B. Warat, yang dimuat dalam buku antologi puisi yang berjudul "Dari Ladang Pintubesi ke Brankas Koperasi" terbitan Yedija Nusantara, Sleman, Juli 2020. Dalam buku dimaksud ada 64 puisi karya kolaborasi teman kelas satu asrama waktu perkuliahan, Yeremias Beda Warat (30 puisi dan salah satunya Pajero) dan Kosmas Lawa Bagho (34 puisi).

Penulis tertarik untuk menganalisis puisi ini, bukan saja lantaran puisi ini karya bersama penulis melainkan karena puisi ini menurut penulis mengemban pesan moral perjuangan dan kritik sosial yang cukup tajam dengan bahasa lembut yang sudah selayaknya perlu dipahami dan diperjuangkan untuk direalisasikan. Pesan moral perjuangan itu tidak diasumsi secara politis melainkan eufemisme kritik sosial. 

"Misi atau pesan yang diemban puisi ini tentu tidak bisa ditafsirkan sebagai pesan politis, tetapi dalam pengertian pesan puitis. Dikatakan pesan puitis karena segala makna dan nilai puisi ini akan selalu dapat dikembalikan ke dalam makna dan nilai puisi itu sendiri sebagai suatu karya sastra yang mempunyai ciri-ciri tersendiri sebagai karya imajinatif yang otonom, yang mesti dilihat dari sudut imajinasi pula.

Misi yang diemban "Puisi Pajero" ini sanggup membawa imajinasi kita sebagai pembaca ke dalam alam atau suasana batin yang mendasar dan bersifat murni-manusiawi, karena mengemban misi kebenaran dan kemanusiaan. Pesan puitis yang murni-manusiawi itu sanggup menggedor hati sanubari kita tentang kedirian kita sebagai manusia yang sering terbelenggu karena terjepit oleh berbagai keadaan buruk dan tidak manusiawi" Sehandi ("Burung Rajawali Rendra". 2008).

2. Pajero adalah simbolisasi Penyair dan Eufemisme Kritik Sosial

Penulis percaya sungguh bahwa puisi "Pajero" merupakan kritik sosial cukup tajam kepada pihak yang bertanggungjawab atas kemaslatan hajat hidup orang banyak. "Pajero" memenuhi teori efisiensi kata. Kata singkat, sedikit dan mengungkapkan banyak fakta. Fakta yang belum sesungguhnya menjadi dambaan banyak orang terutama masyarakat terhadap para pemimpinnya.

"Pajero" bisa diasumsikan sebagai barang mewah dengan nama maaf "Pajero". Saat ini banyak berseliweran di negeri kita dari kota sampai daerah walau kebanyakan memang ada di kota. Pajero menarik perhatian pembaca menuju suatu benda.

Ternyata dalam puisi "Pajero" penyair ingin membangun kesadaran bersama terutama para pemimpin bangsa ini dari pusat hingga daerah untuk memperhatikan rakyat sebagai pemilik mandat kekuasaan kepada pemimpinnya. "Pajero" juga lebih menitikberatkan pada para kandidat wakil rakyat yang datang melawat rakyat pemilik kedaulatan hak demokrasi (suara terbanyak) waktu musim pemilihan lalu meninggalkan rakyatnya dalam suasana merana, tertinggal, sedih, susah dan miskin saat sudah menjadi wakil rakyat dan bupati, wali kota, gubernur bahkan presiden sekali pun.

Yerem pun menulis, "Pajero/Di jalan berlubang/Kami/Masih di sini/Di jalan berlubang-lubang ini".

Rasanya kata-kata puitis ini mengungkapkan realitas yang sangat paradoks. Satu sisi pajero dengan simbol kemewahan, kemegahan, kekayaan sementara disisi yang lain rakyat masih hidup dalam situasi merana, melarat dan jalan yang berlubang-lubang. Situasi paradoks ini dialami hampir semua rakyat terutama pada wilayah-wilayah yang masih terisolasi. Sudah terisolasi letak geografisnya ditambah lagi "terioslasi" perhatian dan kepedulian para pemimpin.

Saat ini memang, jalan-jalan zaman Presiden Joko Widodo mulai dipercantik dengan anggaran super mega yang kita kenal dengan dana desa. Tidak dipungkiri bahwa jalan-jalan desa mulai diaspal dan dirabat. Kendati demikian, kita tidak boleh menutup mata bahwa sebagian masih ada yang berlubang walau itu jalan di kota atau provinsi. Yerem pun melanjutkan kritikannya, "Kalau pun bisa ke mari/Hati-hatilah saja supaya tak terjungkal/Ke dalam lubang/Terkubur dengan kacamu terpecah-pecah".

 Penulis bingung, tulisan "Pajero" penyair Yerem B. Warat ditempatkan pada aliran sastra mana. Pajero bisa ditempatkan sebagai aliran realis, mengungkapkan fakta dan data melalui kata yang konkret yakni situasi kemelaratan masyarakat atau rakyat yang menghuni planet bumi Indonesia terungkap jelas dalam frasa "jalan berlubang" di tengah kemegahan, kemewahan sebagian insan yang terungkap dalam kata "pejero".

Puisi "Pajero" juga bisa ditempatkan pada aliran semiotik yang mengungkapkan fakta-fakta situasi kemelaratan manusia dalam simbol-simbol. "Pajero/Terjerembab dalam lubang/Luka kami/Engkau di dalam?"  Ungkapan simbol-simbol yang sangat realis, nyata, ada, bisa diindrai (bdk. Sehandi, 2018. Mengenal 25 Teori Sastra). Sungguh luar biasa penyair ini.

Ironis memang. "Jalan berlubang" itu menenggelamkan "Pajero" terutama di dalam luka dan sedihnya bahwa pajero dan pemiliknya ada didalamnya. Suatu puisi kritik sosial yang sangat tajam, telanjang diungkapkan secara tersamar, halus dan lembut sehingga penulis membuat judul "Penyair dan Eufemisme Kritik Sosial".

Kritik tajam puisi "Pajero" terus belanjut sebelum menutup puisi ini. Ada banyak orang kaya, berilmu, berwawasan serta kemegahan lainnya, hanya datang ke masyarakat atau rakyatnya apabila ada musim pemilukada, pilgub, pilpres atau pileg. Hal ini terungkap jelas dalam bait puisi Yeremias B. Warat. "Sayang/Mahal-mahal dibayar/Pakai keringat kami di tengah musim/Paling ironis ini/Mendingan di kota saja/Jalannya mulus licin tak berbatu/Bisa sangat lama usiamu dari pada ke kampong sini".

Yerem juga mau mengungkapkan kekecewaannya mendalam sebagai penyair. Dengan sangat halus perasaan, Yerem menulis hai para orang kaya, penguasa lebih baik tinggal di kota saja menikmati segala bentuk kemewahan hasil keringat rakyat dan tidak perlu ke kampong lantaran dirimu akan terluka seperti yang terus kami alami tak pernah tahu, kapan waktu akan berakhir. 

Suara kami hanya tergadai waktu proses pemilihan dan apabila sudah terpilih dirimu akan lupa semuanya siapa pemberi kedaulatan atau kekuasaan itu. Mandat rakyat seperti tenggelam pada arus gelombang lautan atau gelegar bunyi pesawat menghantarmu pulang ke singgasana setelah gelegar pidato-pidato omong kosong pada tenda-tenda yang disiapkan rakyat dengan susa payah, penuh keringat bahkan air mata penyesalan.

Mendingan di kota saja. Tidak usah kunjung rakyat lagi dalam keadaan terluka. Apabila engkau memaksa diri maka engkau akan terkubur juga dalam luka kami. Tinggal di kota, jalannya licin tak berbatu ketimbang ke kampong kami yang bukan hanya jalan tetapi tingkat kesejahteraan yang tercabik-cabik apalagi di tengah pandemi covid yang telah mencabik-cabik kemanusiaan dan kehidupan kami sebagai rakyat. Belum lagi kami rakyat yang jauh dari kekuasaan yang baik.

Kami pun akan mudah memaafkanmu. Kami marah sesaat saja. Apabila musim pemilihan pun tiba, engkau "pajero" yang sama akan datang lagi mengemis suara kami. Kami pun mudah sekali melupakan tindakanmu dulu. Kami melupakan janji-janji surgamu dulu. Kami ikhlas memberi lagi mandat, memberi kedaulatan, memberi kekayaan, kekuasaan kepadamu pajero. "Bila senja mulai tiba/Mampirlah kembali ke kampong hingga ke pondok-pondok/Menjemput suara suara kami lagi/Untuk digadaikan lagi".

Musim pemilihan akan selalu tiba selama lima tahunan. "Pajero" akan selalu setia datang mengunjungi rakyatnya yang terluka. Ada memang yang melakukan tindakan penyembuhan dan sebagian lebih banyak membuat "luka rakyat" semakin menganga, semakin bernanah dan bahkan meninggal dalam kesendirian yang sunyi.

Diharapkan melalui puisi "Pajero" menyadarkan para penguasa, para pemimpin untuk mengabdi sepenuh hati kepada rakyat yang telah ikhlas berulang kali memberikan atau menggadaikan suara kepada pemimpinnya. Semoga semakin banyak pemimpin yang peduli pada luka rakyatnya agar kita semua tidak terjerembab di dalamnya. "Pajero/Terjerembab dalam lubang/Luka kami/Engkau di dalam?".

Memang menurut penulis, penutup puisi ini berkesan tragis. Sangat tragis malah. Rakyat dan pemimpin terjerembab di dalam luka yang sama. Sesungguhnya puisi ini menyiratkan awasan luar biasa kepada siapa saja untuk saling peduli satu sama lain sebab seumpama hukum "tabur tuai". Kebaikan yang engkau semaikan akan dituai dan apabila sebaliknya, akan menuai malapetaka. Bukan hanya rakyat dan pemimpin juga.

Mari kita berjuang bersama.

3. Penutup

Puisi "Pajero" karya penyair anak NTT yang tinggal di Pintubesi Medan, Sumatra Utara sungguh mengungkapkan fakta realis secara simbolik dan eufemis. Kata-katanya singkat, padat dan penuh makna. Efisiensi kata agar pembaca mudah memahaminya dan akan lebih indah dilakukan. Kritik sosialnya cukup tajam dan sedikit telanjang walau terbungkus dengan kata-kata yang lembut, halus. Kata-katanya halus tidak mampu menyembunyikan kemarahan penyair sebagai orang NTT atau orang Flores yang sangat terbuka mengungkapkan perasaannya apabila menemukan banyak kejanggalan atau kurang peduli para pemimpin kepada rakyat atau sesamanya.

***

Beda Warat Yerem "Pajero" dalam Kosmas Lawa Bagho & Yerem B. Warat. 2020. Dari Pintubesi ke Brankas Koperasi. Kumpulan Puisi, Sleman, Penerbit CV. Yedija Nusantara.

Sehandi, Yohanes. 2018. Mengenal 25 Teori Sastra. Cetakan pertama, Yogyakarta, Penerbit Ombak.

......................2008.http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/07/burung-rajawali-rendra.html diakses tanggal 20 Januari 2021.

Keterangan:

Esai ini telah lulus seleksi kurasi untuk diterbitkan bersama 50 Penulis Esai dan Kritik Sastra NTT dengan editor penyair Yohanes Sehandi. Kurator: penyair Yoseph Yapi Taum, Marsel Robot dan JB Kleden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun