Mohon tunggu...
Latifah Nur Fatmala
Latifah Nur Fatmala Mohon Tunggu... Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab/Universitas Ahmad Dahlan

Membahas topik tentang seputar sastra Arab

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahasa Arab dan Permainan Makna : Belajar dari Wittgenstein

21 Juli 2025   17:33 Diperbarui: 22 Juli 2025   11:31 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ludwig Josef Johann Wittgenstein (Sumber : Wikipedia) 

Bahasa bukan sekadar kumpulan kata yang disusun menurut aturan. Di dalamnya tersembunyi cara manusia melihat dunia, membentuk realitas, dan membangun relasi sosial. Dalam konteks ini, pemikiran Ludwig Wittgenstein yang merupakan seorang filsuf bahasa paling berpengaruh abad ke-20 menjadi sangat relevan, terutama dalam memahami kerumitan dan banyaknya aspek bahasa Arab di berbagai ranah kehidupan.

Ludwig Wittgenstein membagi pemikirannya dalam dua fase. Pada fase awal, melalui Tractatus Logico-Philosophicus (1921), ia menyatakan bahwa bahasa mencerminkan dunia melalui struktur logis. Ia memperkenalkan teori gambar (picture theory of language), yang menyatakan bahwa kalimat hanya bermakna jika dapat digambarkan secara logis dan sesuai dengan fakta. Dalam pandangan ini, makna tidak tergantung pada konteks sosial atau pengalaman personal.

Pernyataannya yang terkenal Wittgenstein, “batas bahasaku adalah batas duniaku”, menggambarkan bahwa bahasa tidak hanya membatasi cara kita berbicara, tapi juga cara kita melihat dan memahami dunia. Meskipun terdengar agak kaku, pandangan ini menjadi dasar yang kuat untuk mempelajari tata bahasa, termasuk bahasa Arab. Misalnya, struktur kalimat isimiyyah dan fi’liyyah, atau hubungan antara fa'il dan khobar dalam nahwu, bisa dipahami dengan cara berpikir yang logis berdasarkan pandangan ini.

Namun, bahasa tidak hidup di ruang hampa. Dalam praktik sehari-hari, makna tidak hanya muncul dari struktur kalimat, tetapi juga dari konteks sosial, budaya, dan emosi. Kata “jihad”, misalnya, bisa bermakna tentang keagamaan, politik, atau bahkan negatif, tergantung bagaimana dan di mana ia digunakan. Itulah sebabnya pada fase berikutnya, Wittgenstein merevisi pandangannya dalam Philosophical Investigations (1953). Ia memperkenalkan konsep permainan bahasa (language-game), yaitu bahwa makna kata tergantung pada cara penggunaannya dalam situasi tertentu.

Konsep ini sangat cocok untuk menjelaskan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan “Assalamu’alaikum” misalnya, tidak hanya menjadi salam formal, tetapi juga mencerminkan niat damai, bentuk penghormatan, atau bahkan ukuran kedekatan sosial. Begitu pula istilah "tafsir", bisa berarti studi ilmiah dalam kajian Al-Qur’an, tetapi juga bisa merujuk pada opini di media sosial. Makna-makna ini tidak tetap, tetapi berubah seiring konteks dan siapa yang menggunakannya.

Maka dari itu, sebagai mahasiswa bahasa Arab, kita bisa melihat bahwa pemikiran Wittgenstein tidak hanya menarik secara filosofis, tetapi juga relevan dengan kebutuhan kita dalam memahami bahasa ini secara lebih mendalam. Pendekatan awalnya memberi dasar untuk memahami struktur bahasa secara sistematis, sementara konsep permainan bahasa membantu menangkap makna yang tersembunyi dalam puisi, pidato, maupun percakapan digital yang penuh nuansa budaya.

Dalam karya puisi Al-Mutanabbi atau Nizar Qabbani, misalnya, ada makna tersembunyi di balik metafora dan ironi. Bahkan di media sosial seperti tiktok atau twitter, bahasa Arab bisa saja bercampur dengan bahasa Inggris yang membentuk makna-makna baru dan tidak bisa dipahami hanya dari struktur kalimatnya saja . Di sinilah kepekaan terhadap konteks menjadi sangat penting.

Memang, pemikiran Wittgenstein juga tidak lepas dari kritik. Teori gambar terlalu sempit, sementara teori permainan bahasa dianggap terlalu longgar. Namun, dalam studi bahasa Arab, kedua pendekatan ini bisa saling melengkapi. Pemahaman terhadap struktur dibutuhkan untuk dasar gramatikal, sementara pendekatan sosial memperkaya pemahaman terhadap makna yang lebih fleksibel dan sesuai kondisi.

Di era global dan digital saat ini, bahasa Arab mengalami perkembangan yang sangat aktif . Bahasa ini tidak hanya digunakan dalam konteks keagamaan dan akademik saja, tetapi juga dalam media massa, budaya , hingga forum internasional. Dalam perkembangan ini, konsep language-game Wittgenstein menjadi semakin relevan karena ia mengingatkan bahwa makna tidak pernah tetap.

Contohnya bisa dilihat dalam penggunaan bahasa Arab di media sosial seperti Instagram atau tiktok. Banyak istilah klasik mengalami pergeseran makna. Kata seperti "fitnah", yang dalam konteks Al-Qur’an merujuk pada ujian atau cobaan, dalam media sosial bisa berarti tuduhan. Perubahan ini tidak bisa dipahami jika hanya mengandalkan pendekatan gramatikal. Diperlukan pemahaman konteks sosial dan budaya penggunaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun