Lampu-lampu taman memuntahkan cahaya. Kerlipnya jatuh menyoroti gadis berwajah secantik hatinya. Sisa air mata membekas di ujung hidungnya.
Lama ia duduk di bangku taman bercat warna-warni itu. Menanti, terus menanti. Gaun putih brokatnya melambai pelan terkena desahan angin.
Rinai air matanya tak sebanding dengan luka malaikat tampan bermata sipit yang ia tunggu. Bermenit-menit lewat dalam keheningan.
"Calvin, kamu dimana?" desah gadis bergaun brokat itu, resah.
"Kuharap tak ada bahaya yang mengancam malaikat. Ya Allah yang Maha Cinta, jagalah malaikat itu...jauhkanlah ia dari luka dan kepedihan."
Di tengah sepinya penantian, hati gadis itu tergerak memainkan biola di sampingnya. Jari-jari lentiknya meraih biola. Pelan ia bangkit, melangkah anggun ke tengah taman, dan mulai bermain biola.
Intro mengalun merdu. Dipejamkannya mata, memainkan biola dengan penuh penghayatan. Terus dan terus ia mainkan nada-nada indah. Sampai akhirnya...
"Kuingin selamanya ada di sampingmu...menyayangi dirimu..."
Sebuah suara bass mengacak-acak konsentrasinya. Tidak, itu suara bass bertimbre berat yang mengalihkan dunianya. Perlahan si gadis membuka mata.
Benar, malaikat tampan bermata sipit berdiri gagah di depannya. Rambutnya tetap rapi walaupun hari beranjak malam dan tumpukan rutinitas mengusutkan pikiran. Dua kancing jasnya terbuka, memperlihatkan sedikit kemeja di bagian dalam. Mata sipitnya menatap lembut gadis cantik yang tengah bermain biola.
"Maaf membuatmu lama menunggu, Evita."