Punya tangan tapi tak bisa menulis, lantas buat apa? Gadis cantik itu menunduk. Matanya berulang kali dikerjapkan, mencoba mencegah kristal-kristal bening itu jatuh. Sakit, sakit sekali bila tak ada yang peduli.
"Dinda, mau kutuliskan?"
Sebuah suara bass merobek kesadarannya. Ia berpaling, menatap pemuda tampan berpostur tinggi dengan wajah oriental menawan. Mata sipitnya bening meneduhkan.
"Calvin?"
Tanpa kata lagi, Calvin meraih dua lembar kertas, pensil, dan penghapus. Ia duduk di samping Dinda. Digerakkannya tangannya untuk menulis.
Mata Dinda berkaca-kaca. Mengapa malaikat tampan bermata sipit ini begitu baik? Ia lakukan kebaikan tanpa diminta. Kebaikan tak berharap balasan. Dalam hati Dinda menyesali kedua tangannya yang harus digips. Mengapa kecelakaan mobil itu datang di saat kurang tepat?
"Jangan khawatir...akan kubantu, selama aku bisa." Calvin menenangkan. Hanya beberapa kata yang terucap. Matanya berbicara lebih akurat. Bukankah mata adalah jendela hati?
** Â Â Â
Momen pertolongan itu membawa pada kedekatan. Pernikahan adalah ujungnya. Namun, siapa bilang pernikahan itu membahagiakan? Di akhirat saja ada neraka. Di dunia pun ada. Neraka dunia itu bernama pernikahan.
"Aku tak mau shalat di masjid!" teriak Dinda marah. Membuka lemari pakaiannya, melempar-lempar koleksi abaya dan hijab mahalnya. Semua itu produk asli dari negaranya, pemberian Calvin yang senang menghadiahi istrinya barang-barang mahal.
"Kenapa, Dinda?" tanya Calvin lembut, mendekatkan wajahnya ke wajah Dinda.