Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tutorial SPAI, Teori 10, Nurani 0

16 Maret 2018   05:02 Diperbarui: 16 Maret 2018   06:22 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ratusan mahasiswa memasuki masjid. Seorang gadis bermata biru terjebak di tengah. Ia merasa asing di tengah saudara-saudara seagamanya. Mengapa demikian?

Semua itu tak lain lantaran pengaruh diskriminasi, perbedaan paham, dan fanatisme. Tentu saja si gadis cantik bermata biru merasa terasing. Di tengah gelombang ratusan mahasiswa lelaki dan perempuan, di tengah panitia penyelenggara kegiatan akademik yang mengatasnamakan agama dan nilai sebuah mata kuliah umum, fanatisme seakan menjadi penguasa tunggal.

Kalian tahu siapa gadis bermata biru? Tak lain Young Lady. Young Lady cantik yang terjebak di tengah-tengah kumpulan mahasiswa Muslim fanatik.

Ya, sebuah penilaian yang berani. Namun begitulah kenyataannya. Jika bukan karena kewajiban untuk memenuhi syarat kelulusan MKDU, Young Lady takkan mau menghabiskan satu setengah jam di tengah-tengah mereka.

Terkesan terlalu jujur dan to the point. Maafkan bila menyinggung perasaan para fanatik Muslim yang bergerak di lembaga pendidikan tinggi. Saatnya Young Lady mengungkap sistem konservatif yang mengakar kuat beraroma fanatisme.

Di kampus tempat Young Lady melanjutkan studi, terdapat kegiatan akademik yang dinamakan Tutorial spai (Seminar Pendidikan Agama Islam). Format kegiatan itu...well, katakanlah semacam kuliah umum atau diskusi. Melibatkan mahasiswa tingkat tiga, setara semester 5 dan 6.

Panitia kegiatan akademik tersebut, tak lain segelintir mahasiswa yang dinamakan Pengurus Tutorial. Mereka ini pulalah yang akan memberi nilai akhir dan menyerahkan hasilnya pada dosen. Dalam bayangan Young Lady, mereka seperti Malaikat Atid, malaikat pencatat amal buruk, yang menduplikasi diri menjadi puluhan, dan menyebar di sekeliling mahasiswa lainnya.

Walaupun sudah pernah beberapa kali "dizhalimi", namun Young Lady mencoba memberi pandangan adil. Anggaplah mereka sebagai mahasiswa-mahasiswa terpilih yang paham agama. Setidaknya, pemahaman agama mereka jauh lebih dalam dan wawasan keagamaan mereka lebih luas dari kebanyakan mahasiswa lainnya.

Sayangnya, pemahaman agama tak diimbangi dengan praktik yang luhur dan nyata. Ilmunya hanya sampai pada teori. Tidak diaplikasikan. Tidak ada outputnya yang teraplikasi dalam penyelenggaraan kegiatan akademik di bawah tanggung jawab mereka.

Lihat saja. Aturan-aturan yang diberlakukan selama kegiatan terlalu ketat dan dipaksakan. Misalnya, mahasiswa dilarang memakai jeans dan kaus. Tidakkah aturan ini terlalu dipaksakan? Menyangkut kebebasan berpakaian, dan tidak melihat kondisi mahasiswa secara keseluruhan. Bagaimana bila ada mahasiswa yang tidak bisa memenuhi aturan itu karena keterbatasan pakaian yang dimilikinya?

Lalu, ada aturan ketika izin keluar di tengah kegiatan, harus meninggalkan kartu mahasiswa. Kartu mahasiswa dianggap sebagai jaminan, penahan agar individu yang bersangkutan tidak kabur. Layaknya dalam sebuah penjara. Narapidana yang izin keluar dengan alasan-alasan urgen harus ada jaminannya. Tidakkah menahan kartu mahasiswa dan menganggapnya sebagai jaminan itu berlebihan?

Aturan berikutnya, toleransi ketidakhadiran hanya satu kali. Ini kurang manusiawi bagi Young Lady. Panitia penyelenggara kegiatan akademik nampaknya tidak memahami situasi dan kondisi mahasiswa. Bagaimana bila ada mahasiswa yang berhalangan hadir lebih dari satu kali karena alasan akademik  atau alasan mendesak lainnya? 

Seperti adanya kuliah pengganti di saat jam pelaksanaan tutorial, rapat organisasi yang tidak bisa ditinggalkan, ajang karantina pemilihan kontes duta atau semacamnya, jadwal terapi bila ada yang sakit berat dan tidak bisa diganti ke lain hari. Tidakkah para pengurus tutorial yang notabenenya mahasiswa itu sendiri, melihat dan memahami teman-temannya sesama mahasiswa? Nah, jika tidak hadir lebih dari satu kali, bisa jadi tidak lulus. Tidak lulus tutorial sama saja tidak lulus MKDU yang bersangkutan.

Satu lagi aturan yang tidak kalah aneh: pengaduan soal nilai tidak boleh dilakukan secara individu, melainkan oleh KM (Ketua Mahasiswa) secara kolektif. Peraturan yang sangat, sangat tidak relevan. Tiap individu punya problemnya masing-masing. Bila pengaduannya ditampung pada satu orang saja, kemungkinan besar akan terjadi miskomunikasi. 

Mengingat setiap mahasiswa punya permasalahan yang berbeda-beda. Parahnya, kesalahan yang sama selalu terulang tiap tahun. Nilai yang diberikan tidak sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mahasiswa. Banyak pula kasus mahasiswa yang tidak lulus lantaran masalah yang sebenarnya sangat kecil dan bisa dicarikan jalan tengahnya. 

Kalau pengaduan soal nilai hanya diserahkan pada satu orang saja, apakah itu artinya mahasiswa yang bermasalah tidak boleh menyampaikan dan berhadapan langsung dengan pengurus tutorial? 

Tidakkah itu sama saja dengan membatasi hak kebebasan berbicara para mahasiswa? Setiap mahasiswa, siapa pun dia, bermasalah atau tidak, berhak berbicara dan mengemukakan pendapat/komplain/aspirasi. Hanya memberikan pengaduan pada KM saja, bila dianalisis lebih jauh, seperti keengganan pengurus tutorial berhubungan dan bersikap fleksibel dengan teman-temannya sendiri sesama mahasiswa. Atau barangkali mereka takut diprotes berjamaah.

Satu lagi peraturan yang layak dikritisi: kelompok pro dan kontra. Format kegiatan tutorial SPAI itu seperti format ILC. Ada kelompok pro dan kontra. Tiap kelas dan jurusan ditentukan, mereka masuk kelompok pro atau kontra. Ini semacam pemaksaan untuk mengikuti kehendak pengurus tutorial. Merekalah yang menentukan, kelas dan jurusan mana yang pro dan kontra. 

Belum tentu mahasiswa dari kelas tersebut pro atau kontra dengan isu yang dibahas. Bisa saja ada yang pro, ada yang kontra. Ini berarti paksaan. Paksaan agar mahasiswa mengikuti keinginan pengurus tutorial, sekalipun harus berperang dengan pemikiran mereka sendiri. Idealisme yang susah payah dipertahankan, lalu dipaksakan untuk beralih. Melanggar kebebasan berpikir dan berpendapat, kan?

Tak hanya aturan-aturan yang dipaksakan. Ada ketidakprofesionalan di sini. Minggu ini, jadwal kegiatan tetiba diubah. Mulanya Hari Rabu, lalu dialihkan ke Hari Sabtu. Pengumumannya pun mendadak sekali. 

Perubahan itu diumumkan beberapa jam sebelum waktu kegiatan yang seharusnya. Seperti halnya kata BCL dalam lagunya, kecewa. Ya, kecewa. Bukan kecewa karena menunggu-nunggu kegiatan tutorial lalu tertunda. Melainkan kecewa karena pengumuman yang begitu mendadak dari pengurus tutorial, sementara mereka sudah melakukan persiapan.

Honestly, Young Lady tidak pernah menantikan kegiatan tutorial. Suasananya tidak kondusif. Terlalu padat dan berisik. Sangat tidak seimbang antara suara pembicara dan audience. Suara-suara para audience nyaris mengalahkan suara pembicara. Bagaimana itu disebut kondusif?

Lelah, kehilangan mood, dan rasa sakit di bagian mata. Begitulah yang selalu dirasakan sehabis kegiatan akademik yang terkesan tidak optimal dan dipaksakan. Satu lagi rasa yang hadir: perasaan asing. Merasa terasing dan terperangkap sepi di tengah keramaian. Sampai-sampai muncul pertanyaan di benak Young Lady cantik: memangnya yang bermata biru tidak boleh Islam? Memangnya yang bermata biru tidak boleh masuk masjid?

Suasana yang tidak kondusif, ditambah lagi kesulitan Young Lady untuk menulis, membuat Young Lady kesulitan menulis resume. Tiap pertemuan, mahasiswa diwajibkan menulis resume dan mengumpulkan hasilnya hari itu juga. Akan tetapi, ada suatu kondisi yang membuat Young Lady tidak bisa menulis dengan cepat dan optimal dalam waktu singkat. Terlebih dengan suasana yang tidak kondusif. Tertekan rasanya karena kewajiban itu.

Finally, coba meminta kebijakan lain. Kelonggaran diberikan, cukup menyimak saja dan mengumpulkan resume tersebut hari berikutnya. Hari berikutnya, resume dikumpulkan. Telah ditulis dengan cantik dan sebaik mungkin. Menulis dalam keadaan lelah tidak mudah.

Kompasianers tahu Young Lady cantik dapat nilai berapa? Jumlah skor diukur dari 1-10. Resume yang telah dibuat dengan baik walau sulit itu, hanya diberi nilai 4. Wow wow wow, dimana adilnya? 4, hanya segitu harga untuk tulisan yang dibuat Muslim cantik bermata cantik yang telah dibuat dengan baik dan maksimal?

Lama Young Lady cantik berpikir dengan cantik. Apa sebabnya? Mungkinkah karena statement pribadi yang dituliskan Young Lady tidak sejalan dengan idealisme para pengurus tutorial? Apakah hanya karena berseberangan pendapat bisa berakibat nilai jelek? Kalau iya, subjektif sekali penilaiannya.

Inilah akibatnya bila menyerahkan urusan kegiatan akademik universitas pada mahasiswa. Subjektivitas lebih tinggi. Sepintar apa pun, mahasiswa takkan bisa objektif dan adil seperti dosen. Dosen saja belum tentu adil, apa lagi mahasiswa. Selama sistemnya belum diubah, praktik-praktik diskriminasi dan kezhaliman masih akan terus terulang.

Pelimpahan kegiatan akademik untuk diurus mahasiswa menimbulkan kesan "penguasa kampus" dan "penguasa mahasiswa" oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung sebagai pengurus tutorial. Mereka mempersulit dan menzhalimi teman-teman mereka sendiri. Ini berbahaya bila terus dibiarkan. Bagi yang memberontak dengan idealisme atau berseberangan, maka siap-siap jadi mangsa empuk. Seharusnya hal ini tak boleh terjadi.

Mental "penguasa kampus" dan "penguasa mahasiswa" dibarengi dengan fanatisme agama yang menakutkan. Terlihat dari kegiatan minggu kemarin yang bertemakan "Rradikalisme dan Ideologi Jihad di Kalangan Muslim". 

Young Lady cantik ketakutan selama mengikuti kegiatan diskusi. Bagaimana tidak, diskusi tersebut berbahaya. Bagi individu yang tidak bisa memilih dan memilah, dapat memicu bibit-bibit terorisme. Materi radikalisme sangatlah sensitif. Lalu dibahas dengan statement-statement yang mengerikan dan cenderung memacu keinginan kuat untuk menjadi radikal bagi yang tak punya prinsip. Dari sana terlihat bahwa kegiatan tutorial dan kroni-kroni perancang kegiatan tersebut, cenderung mengarahkan pada Muslim fanatik. Dan itu tidak benar, sudah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya, yang lembut dan penuh kasih.

Ok fine. Young Lady memang tidak berhijab, tidak pernah dan tidak mau ikut kajian Islam mana pun. Tapi Young Lady masih berpegang pada agama, dan memilih belajar agama secara mandiri. 

Pikir Young Lady, dari pada ikut kajian Islam, lebih baik belajar Islam secara mandiri, menunjukkan keindahan Islam lewat interaksi dan sikap dalam kehidupan nyata, serta konsisten berbagi setiap minggu di Hari Jumat. 

Menunjukkan keindahan nilai-nilai Islam pun sering ditunjukkan Young Lady lewat tulisan-tulisan cantik di Kompasiana, dan lewat buku-buku yang ditulis Young Lady. Sebab kebanyakan kajian keislaman hanya menang teori, tapi praktiknya nol sama sekali. Bagi yang tidak mampu menyeleksi, ikut kajian keislaman semacam tutorial SPAI dapat membahayakan pikiran dan hati mereka.

Buat apa paham ilmu agama namun tak diaplikasikan dalam kehidupan nyata? Buat apa mengerti Islam namun sikapnya sama sekali tidak mencerminkan pribadi yang Islami dan memesona secara Islam? 

Buat apa tampil syar'i dan Islami tapi bersikap dan menilai sesuatu tanpa nurani? Buat apa menguasai segala sesuatu tentang Islam tetapi hatinya culas dan keji? Buat apa jadi Muslim fanatik tapi ujung-ujungnya radikalis dan intoleran? Buat apa sering ikut kajian keislaman tetapi perilaku masih minus dan jauh dari Islam yang penuh kasih? Sia-sia, sungguh sia-sia.

Tiap orang punya cara dan style sendiri untuk berislam dan menunjukkan keindahan nilai Islam yang dipeluknya. Kegiatan semacam tutorial ini bisa menjadi positif, bisa pula negatif. Positif bila mengajarkan kebaikan dan teorinya dapat dipraktikkan. Negatif bila mengandung unsur pemaksaan dan menumbuhkan bibit-bibit terorisme serta radikalisme. Tutorial SPAI dapat dikatakan negatif karena ada unsur kewajiban, yang bisa berarti pemaksaan. Tak semua orang Islam suka ikut kajian keislaman. Dan tidak semua orang Islam memiliki paham yang sama.

Meski demikian, meski banyak yang mengecewakan, Young Lady masih bersyukur. Masih merasa beruntung. Coba, mahasiswa mana yang melewatkan enam jam menunggu waktu tutorial SPAI sambil jalan-jalan dan makan enak di luar? 

Plus disponsori waktu dan fasilitas langsung dari orang tua. Young Lady beruntung, kan? Bahkan mungkin yang menobatkan diri sebagai pengurus tutorial, tak punya fasilitas dan kehidupan seberuntung yang dimiliki Young Lady.

Kalau nilai diukur dari angka 0-10, Young Lady akan berikan nilai 10 untuk tutorial SPAI dalam soal teori dan penguasaan ilmu agama. Namun nilai 0 untuk hati nurani. Teori menang, hati nurani tak ada. Pemaksaan dan sikap represif mengalahkan nurani. Semua itu lantaran pengaruh fanatisme yang terlalu kuat. Mirisnya, ini terjadi di lembaga pendidikan. Dimana seharusnya lembaga pendidikan menjadi institusi yang netral, objektif, adil, dan mengajarkan kasih, toleransi, dan altruisme.

Kompasianers, ini Hari Jumat. Waktunya Young Lady cantik turun ke jalan dan membuat orang-orang yang terpinggirkan tersenyum dengan sedikit makanan lezat yang dibagikan. Dari pada ikut kajian yang cenderung radikal dan egosentris, lebih baik berbagi. Manfaatnya langsung terasa pada orang yang memerlukan, begitu pula berkahnya. Iya kan?

**    

Paris van Java, 16 Maret 2018

Tulisan cantik dari Muslim cantik bermata biru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun