Pria tampan berwajah oriental dan bermata sipit itu berlari menaiki lereng bukit. Jas hitamnya berkibaran. Ia harus segera tiba di puncak bukit. Gadis itu tak boleh sendirian, tak boleh.
Di pertengahan jalan, pria itu terjatuh. Lututnya berdarah. Ia bangkit, lalu berlari lagi menuju puncak bukit. Bukan Calvin Wan namanya bila mudah menyerah.
Tiba di puncak bukit, didapatinya gadis itu berdiri sendirian. Berdiri terpaku, dalam gaun hitam panjang yang anggun. Cocok dipakai gadis secantik itu. Selaput iris biru kobaltnya meredup. Bukan karena kantuk, melainkan karena kesedihan.
"Maaf aku terlambat, Silvi." bisik Calvin. Membungkuk, mengecup hangat kening Silvi.
Silvi tak menjawab. Membiarkan Calvin membelai rambutnya, lalu menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinganya. Rambut panjang Silvi kini lebih rapi.
"Mulai sekarang, aku takkan membiarkanmu sendirian lagi."
Dibiarkannya Calvin memeluknya. Sejujurnya, Calvin telah berkorban banyak untuk Silvi. Khususnya waktu dan kesabaran. Seluruh kesabaran yang dimiliki Calvin terkuras untuk Silvi.
Air mata Silvi meleleh. Tidakkah pria ini membuang-buang waktu? Seharusnya ia sudah menikah, namun ia malah merelakan waktunya dihabiskan bersama Silvi.
"Kamu mencintai orang yang salah." desis Silvi.
** Â Â Â
"Kau telah banyak berubah, Cinta."