Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembangkan Sikap Saling Pengertian, Haruskah?

15 November 2017   05:58 Diperbarui: 15 November 2017   06:02 1865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang sering membangunkan shalat Tahajud? Siapa yang sering menjawab pertanyaan tentang Islam dan Al-quran saat mereka mulai belajar Islam? Siapa yang rutin mengingatkan untuk berbagi di Hari Jumat? Siapa yang paling sering membantu dan berusaha menolong sebaik-baiknya tiap kali ada acara keluarga? Siapa yang tetap rajin berpartisipasi di saat saudara-saudara lainnya hanya bermalas-malasan dan sibuk dengan kekasihnya masing-masing? Siapa yang mau menunggui salah satu anggota keluarga di rumah sakit semalaman setelah operasi? 

Siapa yang menunggu dan menjaganya sepanjang malam tanpa tidur sama sekali dan harus menahan ketakutan karena melihat berbagai penampakan makhluk halus di rumah sakit? Siapa yang sering mengalah dan mengorbankan kepentingan dan acara-acaranya demi acara keluarga? Siapa yang merelakan pesta di hari ulang tahunnya ditukar dengan perayaan kecil dan sederhana di rumah singgah khusus penderita anak kanker yang bernama Rumah Cinta? 

Siapa yang pertama kali tahu tentang Rumah Cinta? Siapa yang peduli pada anak penderita kanker, bersedia menjadi hypnotherapyst, dan sering mengulurkan tangannya untuk menyembuhkan orang yang jiwanya sakit? Saya. Maaf, bukan saudara-saudara saya yang sering dibanggakan dan dibandingkan dengan saya. Sungguh, saya tidak bermaksud riya'. Hanya ingin membuka mata hati yang lain saja.

Soal pernikahan ini pun, saya akan dipastikan sendirian. Pasalnya, saudara-saudara saya yang belum menikah akan membawa pasangan. Saya sudah tahu kalau saya akan sendiri. Sudah saya siapkan jawaban bila ada pertanyaan yang dilontarkan pada saya: "Sudah punya pasangan?" Atau "Cantik-cantik kenapa masih single?" Actually, itulah dua pertanyaan yang paling saya benci. Buat apa wajah dan jiwa yang cantik bila pada akhirnya kesepian dan tersakiti?

Urusan apa pun, saya masih bisa kuat menghadapinya. Kecuali cinta. Hanya urusan cinta yang membuat saya kehilangan kekuatan. Sejak kecil, saya terbiasa tegar menghadapi berbagai kesulitan. Ketika dua tahun lalu saya pernah ditolak pimpinan sebuah universitas ternama di kota bunga, ditolak terang-terangan dan ditolak secara langsung oleh rektornya, saya masih bisa kuat. Saya stay cool saja. Yah, itu memang takdir saya. Mata biru masih menjadi diskriminasi. 

Tapi kalau sudah ada kaitannya dengan cinta, saya menyerah. Benar-benar menyerah. Selama ini, seburuk apa pun cobaan yang menimpa, saya tak pernah punya keinginan sedetik pun untuk menjadi atheis. Saya tidak pernah berniat sedikit pun untuk meninggalkan Allah dan berhenti beribadah. Namun, coba lihat saudara saya. Hanya karena dipatahkan hatinya oleh lelaki jahat, dia pernah menjadi atheis. Meninggalkan shalat dan melupakan Allah. Di balik penampilannya yang anggun dan religius, ada bibit-bibit atheis yang mencemari. Tampilan saya memang tidak religius, saya pun bukan umat yang baik. 

Hanya berusaha menjadi baik. Namun, tidak pernah sedetik pun terpikir oleh saya untuk meninggalkan Allah, berhenti beribadah, dan berbuat baik. Saya selalu rindu Allah. Rindu pelukanNya, ciumanNya, cintaNya, belaianNya, dan saya selalu rindu bermesraan denganNya lewat ritual ibadah yang saya lakukan. Bukan bermaksud menjatuhkan saudara saya sendiri, tapi memang begitulah kenyataannya. Saya berani berterus terang karena memang itulah kenyataannya. Terlebih karena saya sudah lelah dan kehilangan kekuatan.

Nah, dengan segala fakta yang ada, tidakkah keluarga saya mengerti? Mengapa mereka langsung menghakimi tanpa melihat sisi lain dalam diri saya? Sekali lagi saya katakan, lebih mudah mengingat hal-hal negatif. Hal positif sering kali terlupakan.

Sampai sekarang, hati saya masih terasa pedih. Walaupun saya tidak menampakkannya di depan siapa-siapa, namun luka di hati saya masih berdarah-darah. Pelarian saya adalah menulis di Kompasiana.

Kejadian ini membawa saya dalam perenungan panjang. Saya pikir, mengapa sulit untuk menjadi orang yang pengertian? Mengapa orang hanya ingin dimengerti sedangkan mereka tidak mau mengerti orang? Lebih mudah dimengerti dari pada mengerti. Lebih ingin dipahami tapi enggan memahami.

Jujur, yang saya butuhkan saat ini adalah pengertian dan pemahaman. Saya hanya ingin dimengerti, itu saja. Sebagai hypnotherapyst, saya terbiasa mencoba memahami orang lain. Memahami hati, perasaan, dan emosi mereka. Pada keluarga saya pun begitu. Saya mencoba memahami mereka. Tapi sejauh ini, tak ada yang bisa memahami dan mengerti diri saya. Kecuali Allah tentunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun