Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembangkan Sikap Saling Pengertian, Haruskah?

15 November 2017   05:58 Diperbarui: 15 November 2017   06:02 1865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa bilang menulis dengan cantik itu hanya mencari kepuasan batin? Tidak hanya itu, Young Lady menulis cantik juga untuk pelarian. Pelarian dari rasa kesepian, frustrasi, perasaan tidak berguna, tidak dicintai, dan tidak dimengerti. Saat membuat artikel cantik ini, Young Lady merasa dua kali lipat lebih kesepian dari sebelumnya. Maaf jika artikel cantik ini menyinggung perasaan beberapa pihak. Sungguh, Young Lady tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Hanya sekadar ungkapan isi hati dan refleksi atas apa yang telah terjadi. Mendadak Young Lady jadi ingin nyanyi lagunya Glenn Fredly yang judulnya Akhir Cerita Cinta.

Ini semua gegara peristiwa kemarin. Saat keluarga disibukkan dengan persiapan pernikahan yang akan berlangsung bulan depan, tetiba saja salah satu anggota keluarga mengundang calon menantu untuk datang ke acara pernikahan itu. Kebetulan acaranya akan diadakan di kota kelahiran saya. Bukan di kota bunga tempat saya tinggal pastinya. Semua sudah setuju. Si calon menantu yang notabenenya kekasih salah seorang saudara saya, setuju saja. Ok, all clear.

Sesaat saya berpikir-pikir. Apakah ajakan dan undangan ini tidak terlalu berlebihan? Biar bagaimana pun, laki-laki itu masih jadi "calon". Belum sah menjadi suami saudara saya. Mengapa harus diajak? Toh dia bukan siapa-siapa. Tepatnya belum menjadi bagian dari keluarga besar.

Saya paham, undangan ini sebagai bentuk penghormatan bagi si calon. Artinya ia sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga. Sungguh, saya paham maksudnya baik. Saya coba mengingatkan, apa tidak sebaiknya dipikir kembali untuk mengundangnya? Bagaimana pun juga, dia masih orang luar. Nantinya takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Apa yang saya terima sebagai balasan? Kemarahan besar dari keluarga saya. Iya Kompasianer, saya diserang oleh keluarga saya sendiri hanya karena laki-laki itu. Saya sebut dia laki-laki, karena kata 'pria' terlalu halus untuknya. Makna 'laki-laki' jauh lebih rendah dari 'pria'.

Saya dianggap iri. Mereka menganggap saya tidak bisa ikut senang dengan kebahagiaan orang lain. Tuduhan aneh-aneh dan tak pantas mereka layangkan pada saya.

Kompasianer, sungguh saya tidak bermaksud begitu. Saya tidak pernah iri. Logikanya begini. Jika saya iri, sudah dari dulu saya hancurkan hubungan saudara saya dengan pasangannya. Adanya mata yang tersembunyi bisa menuntun saya untuk berbuat jahat kalau mau. Namun saya tidak sejahat itu. Saya selalu mendukung dan mendoakan, seperti apa pun jadinya. Saya sama sekali tidak bermaksud iri atau menghalang-halangi. Kompasianer percaya maksud Young Lady, kan? Sungguh, maksud baik ini malah disalahartikan.

Sakit hati saya diperlakukan begitu. Pedih hati saya. Ingin rasanya saya menangis saat itu juga, namun saya tidak mau menunjukkan air mata saya pada siapa pun. Terlebih mata saya sakit saat itu. So, saya hanya diam. Tidak mengatakan apa-apa. Saat berusaha menjelaskan rasionalisasinya pun, percuma saja.

Mereka tak tahu betapa rapuhnya hati saya. Baiklah, terserah apa penilaian mereka. Bila mereka menilai saya iri dengan kebahagiaan orang lain, itu hak mereka. Yang penting Allah dan saya sendiri tahu, bahwa saya tidak pernah sedikit pun bermaksud iri.

Perasaan saya tak menentu. Hati saya pedih. Kalau hati saya sudah terlanjur pedih, akan sulit sekali sembuhnya. Saya tahu kondisi hati saya sendiri, tahu seberapa kekuatan dan kelemahannya. Itu sebabnya saya sulit percaya orang lain, karena ingin menjaga hati saya sendiri dari kemungkinan luka yang lebih dalam. Yang saya percayai seratus persen hanya Allah dan diri saya sendiri. Selebihnya, saya memilih tidak terlalu percaya. Bahkan terhadap keluarga dan orang terdekat saya sekali pun. Saya tidak ingin terlalu percaya.

Bukannya bermaksud mencari pembenaran atau mengingat-ingat kebaikan diri sendiri. Tapi, tidakkah keluarga saya melihat apa yang telah saya lakukan sebelum menilai negatif diri saya? Apa mereka sudah lupa? Benar kata seorang pria yang telah menemani dan membantu saya kembali lagi ke Kompasiana: lebih mudah mengingat hal negatif. Bagaimana dengan hal positif? Mudahkah dilupakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun