Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ajarkan Anak Berpuasa, Ini Caranya

4 Juni 2017   06:06 Diperbarui: 4 Juni 2017   10:30 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat berumur 8 tahun, saya mulai diajarkan untuk berpuasa oleh orang tua saya. Mulanya cukup berpuasa setengah hari. Saya boleh berbuka sewaktu azan Zuhur. Lalu dilanjutkan lagi sampai azan Maghrib.

Ramadhan menjadi sesuatu yang selalu saya tunggu-tunggu. Bukan hanya karena atmosfer positif yang menebar selama bulan suci itu berlangsung, tapi juga karena banyak hal menyenangkan lain yang hanya bisa ditemukan saat Ramadhan. Misalnya, jam pelajaran di sekolah dikurangi, anak-anak diizinkan bermain lebih lama usai shalat Tarawih, dan berbagai kegiatan positif lainnya yang dilakukan bersama-sama.

Kembali soal belajar berpuasa, tahun berikutnya saya sudah belajar puasa penuh. Makin menyenangkan dan menantang. Finally, saya bisa melewatinya. Sering kali Mama dan Papa mengajak saya berbuka puasa di luar. Kebetulan kami sekeluarga pecinta kuliner. Kami suka makan di luar atau mencoba melakukan eksperimen dengan berbagai resep masakan. Baik Mama maupun Papa saya sama-sama suka masak dan suka mencicipi kuliner di berbagai restoran/rumah makan. Sebagai anaknya, saya terbawa gaya hidup mereka.

Tiap kali Idul Fitri tiba, sebelum saya memintanya, orang tua saya sudah membelikan pakaian dan sepatu baru. Orang tua tidak mengiming-imingi saya hadiah untuk memotivasi saya berpuasa penuh, mereka langsung memberikan perhatian spesial dengan memberi sesuatu sebelum saya minta. Saya tidak pernah minta dibelikan sesuatu. Sebab orang tua saya sudah membelikannya sebelum permintaan itu saya ucapkan. Mereka selalu tahu apa yang saya butuhkan dan inginkan. Saya tidak perlu menangis, memberontak, atau memohon-mohon seperti kebanyakan teman-teman saya bila minta dibelikan baju atau hadiah. Di saat mereka sibuk menangis, berteriak, dan memohon pada orang tua mereka, saya sudah mendapatkan itu semua dari orang tua saya. Bahkan sebelum saya memintanya.

Pernah di akhir Ramadhan 2007, saat saya kelas 5, Mama memanggil saya ke ruang tamu. Waktu itu saya baru pulang sekolah. Waktu saya datang, ternyata saya disuruh mencoba beberapa stel pakaian baru yang telah dibelikan Mama dan Papa. Pakaian-pakaian cantik itu sama seperti yang saya inginkan. Langsung saja saya mencobanya. Semuanya pas, lalu saya melangkah mengitari ruang tamu sambil berputar anggun. Memasang pose, dan tersenyum. Mama dan Papa pun ikut tersenyum.

Sekelumit kisah manis itu tetap berulang sejak saya kecil sampai sekarang. Sembilan belas tahun hidup bersama orang tua, saya merasa beruntung dan bahagia. Orang tua tak pernah memberi saya sesuatu yang mengecewakan. Pemberian mereka selalu di atas rata-rata dibanding teman-teman saya yang lain. Baik itu makanan, pakaian, mainan, rekreasi, fasilitas pendidikan, perhatian, kasih sayang, fasilitas penunjang hobi, dan hal-hal lainnya.

Soal mengajari anak berpuasa, saya pun berkaca dari mereka. Setiap Muslim yang sudah dewasa wajib berpuasa. Anak-anak belum diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi, bukan berarti anak-anak tak boleh mencobanya.

Orang tua pastilah ingin menerapkan pengetahuan agama sedini mungkin pada anak-anaknya. Agar anak mereka menjadi pribadi yang baik, religius, dan taat beragama. Sebuah langkah bijak bila orang tua Muslim memperkenalkan dan mengajarkan anak untuk berpuasa bila mereka sudah cukup kuat.

Jika orang tua ingin mengajarkan anaknya berpuasa, contohkan dulu cara puasa yang benar. Jangan ragu memperlihatkan sunnah-sunnahnya, seperti mengakhirkan makan sahur, menyegerakan berbuka, dan berbuka dengan makanan manis. Anak adalah peniru. Mereka akan meniru dan mencontoh apa pun yang dilakukan orang tuanya, termasuk soal ibadah dan ritual agama. Hal paling mendasar untuk mengajari anak berpuasa adalah mencontohkan cara puasa yang baik. Jadilah role model untuk anak.

Di samping itu, ada beberapa cara lain yang dapat dilakukan untuk mengajarkan puasa pada anak. Apa saja caranya?

1. Ajarkan puasa secara bertahap

Ada baiknya anak tak langsung berpuasa penuh dari Shubuh sampai Maghrib. Orang tua perlu memperhatikan kondisi fisik anak. Belum tentu anak langsung kuat berpuasa penuh. Sebagai langkah pertama, ajarkan anak berpuasa setengah hari. Izinkan mereka berbuka saat azan Zuhur, lalu bisa dilanjutkan lagi sampai azan Ashar atau langsung saat azan Maghrib. Lakukan secara bertahap. Jangan memaksakan anak untuk berpuasa full. Biarkan mereka beradaptasi dan berproses.

2. Jelaskan hikmah dan manfaat puasa pada anak

Mengajarkan suatu tata cara ibadah keagamaan tak lepas dari esensinya. Sambil mengajari anak berpuasa, jelaskan pula hikmah dan manfaatnya. Gunakan metode yang menarik dan memotivasi anak. Metode bercerita cukup sukses untuk sebagian besar anak. Anak mudah terangsang dan termotivasi dengan mendengarkan cerita. Dalam poin kedua ini, orang tua perlu menempatkan diri sebagai story teller dan motivator untuk anak. Beri mereka cerita dan motivasi tentang puasa di bulan Ramadhan.

3. Buat momen sahur yang menyenangkan

Anak belum terbiasa bangun jam tiga pagi untuk sahur. Mereka akan mengantuk, merajuk, bahkan tak mau bangun. Siasatilah hal ini dengan menciptakan momen sahur yang menyenangkan untuk anak. Orang tua bisa membuat makanan favorit si anak sebagai menu sahurnya. Namun pastikan makanan yang disiapkan tetap mengandung zat gizi yang cukup. Mengajak anak makan sahur sambil menonton film kesukaannya juga layak dicoba. Putarlah film kesukaan si anak selama sahur.

4. Beri pujian

“My Dear Rossie, kamu puasa full hari ini? Pintar...”

“Honey, puasanya sebulan penuh? Anak Bunda hebat.”

Saat anak bisa berpuasa full dari pagi sampai sore, atau dia berpuasa sebulan penuh, berikan pujian. Jangan segan memuji anak. Anak senang dipuji, dan ia akan termotivasi untuk berusaha lebih baik lagi. Pujian dapat menjadi motivasi untuk anak.

5. Ajak anak berbuka puasa di luar

Mungkin tidak semua orang tua suka makan di luar dengan berbagai alasan. Tapi sesekali mengajak anak berbuka puasa di luar tidak ada ruginya. Justru akan menciptakan kebersamaan dan kehangatan antara orang tua dan anak. Jangan hanya berbuka puasa di rumah. Berilah kesempatan pada anak untuk menikmati rasanya berbuka puasa di luar. Makanan rumahan memang lebih sehat dan hemat, tetapi tak ada salahnya memanjakan lidah anak dengan masakan restoran. Terlebih di bulan suci yang istimewa. Menyenangkan hati anak akan mendapat pahala berlipat-lipat. Selain menyenangkan si buah hati, berbuka puasa di luar juga dapat meningkatkan semangat anak untuk berpuasa esok harinya.

6. Jangan mengiming-imingi hadiah, tapi perlakukan mereka dengan spesial

“Kalo kamu puasanya full, Bunda beliin sepatu yang kamu inginkan.”

“Kamu mau gaun itu? Mami belikan kalau puasanya tamat sampai satu bulan.”

Sebenarnya, mengiming-imingi anak dengan hadiah agar mereka mau puasa penuh kurang tepat. Mungkin orang tua hanya ingin menyemangati anak dalam berpuasa. Anak memang akan semakin bersemangat, namun pikiran si anak telah terbagi. Ia tidak berpuasa sepenuh hati karena Allah, melainkan berpuasa karena menginginkan hadiah yang dijanjikan orang tua. Motif mereka berpuasa yang semula murni karena Allah menjadi rusak.

Dari pada menjanjikan hadiah pada anak, lebih baik perlakukan mereka dengan spesial. Menyediakan menu sahur dan buka yang enak tiap harinya, menemani mereka tadarus Al-Qur’an, Tarawih bersama, dan membelikan mereka pakaian atau mainan yang mereka inginkan sebelum mereka memintanya. Pahamilah apa yang dibutuhkan dan diinginkan anak. Sebelum si anak meminta, berikanlah. Anak yang mendapat perlakuan seperti itu mampu lebih cepat memahami orang lain pula. Mereka lebih peka, pengertian, dan responsif. Sebaliknya, bila anak dibiasakan melakukan sesuatu dengan mengharap imbalan, mereka tidak akan belajar ketulusan. Mereka tidak bisa melakukan sesuatu dengan tulus tanpa pamrih. Perhatian spesial jauh lebih berharga dibanding iming-iming hadiah.

Kompasianer, siap menerapkannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun