Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ramadan Tahun Lalu, Seorang Teman Kembali ke Pangkuan Illahi

31 Mei 2017   06:46 Diperbarui: 31 Mei 2017   09:58 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Begitu besar kasih sayang Allah pada umat Islam. Buktinya, tiap tahun umat Islam mendapat hadiah istimewa: bulan Ramadhan. Hadiah spesial pemberian Allah pada semua orang yang beriman pada-Nya.

Mengapa Ramadhaan istimewa? Sebab di bulan ini, Allah mencurahkan kasih sayang berlimpah. Amal kebaikan dilipatgandakan, dosa diampuni, pintu neraka ditutup rapat, dan pintu surga dibuka lebar-lebar. Pada bulan ini pula, setan dibelenggu untuk menghalangi mereka menggoda manusia. Roh-roh dalam kubur juga bergembira. Selama Ramadhan, roh-roh dalam kubur yang tersiksa akan terbebas untuk sementara waktu dari penyiksaan.

Ada satu malam di bulan Ramadhan yang sangat luar biasa. Malam itu dinamakan Lailatul Qadar. Bila kita beribadah di malam Lailatul Qadar, pahalanya sama dengan seribu bulan. Hebat sekali, bukan?

Banyak peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam yang terjadi di bulan Ramadhan. Di antaranya Fathul Makkah, atau pembebasan Makkah dan penghancuran berhala-berhala. Al-Qur’an juga diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan. Momen turunnya Al-Qur’an disebut Nuzulul Qur’an. Terjadi tanggal 17 Ramadhan. Bulan Ramadhan pun menjadi waktu terjadinya perang Badar, perang Zallaqah di Portugal, dan perang Yakhliz pada masa dinasti Ottoman. Satu lagi peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Ramadhan adalah pembebasan Spanyol (Andalusia).

Selalu membahagiakan menyambut datangnya Ramadhan. Sama seperti 1,3 milyar umat Islam di seluruh dunia, saya pun senang menyambut datangnya bulan suci yang satu ini. Jika bulan Ramadhan tiba, seakan seluruh dunia ikut bergembira. Muslim maupun non Muslim ikut merasakan aura positif dari bulan Ramadhan. Bulan kesembilan dalam kalender Hijriyah ini mempunyai daya magis untuk membuat orang-orang bergembira.

Meski demikian, bukan berarti bulan Ramadhan selalu menyajikan peristiwa membahagiakan. Ada pula sedih yang datang di bulan suci. Saya mengalaminya tahun lalu. Ramadhan tahun lalu, salah seorang teman saya kembali ke pangkuan Illahi. Dia meninggal karena serangan jantung. Kematiannya terjadi setelah ia berbuka puasa bersama keluarganya.

Malam itu, pertengahan Ramadhan. Saya sibuk menemani Mama saya berbelanja, setelah itu saya sendiri menyiapkan kado untuk teman sesama anggota paduan suara yang berulang tahun. Rencananya, saya igin memberinya surprise tepat pukul dua belas nanti.

Begitu sibuknya sampai saya tidak mengecek ponsel sama sekali. Berjam-jam kemudian saya baru sempat membukanya. Luar biasa, ada seratus dua chat dari group kelas. Begitu dibuka, bertebaran ucapan Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un dan bela sungkawa. Bingung dan bertanya-tanya, saya scroll sampai ke atas. Ternyata ada berita duka. Salah satu teman sekelas saya meninggal. Langsung saja saya kaget dan tak percaya. Awalnya, saya pikir ini hoax. Namun setelah ditelusuri, ternyata berita itu benar.

Saya tak bisa tidur malam itu. Terus teringat dia yang baru saja meninggal. Mengenang anak perempuan itu dalam benak saya.

Dia anak yang baik. Sebenarnya, dia satu sekolah dengan saya. Namun saya baru mengenalnya setelah kami satu jurusan di kampus. Dia telah lama tahu tentang saya sejak kami satu sekolah. Bahkan menurut ceritanya, dia sering melihat saya tiap kali shalat di masjid sekolah. Dia ingin berkenalan dengan saya, tapi minder. Kenapa harus minder? Toh saya senang berteman dengan siapa saja. Dia juga sering memperhatikan saya setiap kali saya pergi ke kelasnya. Kebetulan sahabat yang satu organisasi dengan saya satu kelas dengan dia. Praktis, saya sering ke kelasnya untuk menemui sahabat saya.

Akhirnya kami saling kenal setelah duduk di bangku kuliah. Dia teman yang baik dan menyenangkan. Dia sering menemani saya di balkon, tempat favorit saya di kampus, meski saat itu saya sedang ingin sendirian. Walau saya tidak pernah terbuka padanya, tapi dia selalu tahu saat saya sedang sedih. Saya tak pernah menceritakan masalah saya padanya. Dia yang lebih banyak bercerita. Dia sering memanggil saya dengan sebutan “Cantik”.

“Makasih, Cantik.”

“Mau kemana, Cantik?” Begitu katanya.

Waktu dia terlibat konflik dan di-bully, saya yang menenangkan dan menghiburnya. Saya meyakinkan dia jika dia masih punya teman. Terkadang saya heran, mengapa teman-teman sekelas harus menjauhi dan mem-bullynya? Padahal dia tidak salah.

Bulan Ramadhan tiba bertepatan dengan liburan akhir semester genap. Saya tak menyangka, saat UAS itulah pertemuan terakhir saya dengannya. Terakhir dia bercerita, dia akan mengisi liburannya dengan mengajar di sebuah TK. Teman saya itu memang menyukai anak-anak. Sifatnya keibuan, membuat ia dekat dengan anak kecil. Saya mendukung niat baiknya itu.

Kembali ke malam meninggalnya dia, saya hanya tidur sedikit sekali. Saya terus memikirkan dan mendoakannya. Keesokan paginya, saya melayat ke rumahnya. Saya tahu alamat rumahnya, namun belum pernah berkunjung. Hampir setahun berteman, saya belum sempat main ke rumahnya. Saya kenakan gaun hitam, lalu bergegas pergi.

Tiba di lokasi, saya terkejut dan bertambah sedih. Bagaimana tidak, saya baru tahu kalau rumahnya berada di dalam gang sempit. Mobil pun tidak bisa masuk. Alhasil, mobil diparkir di jalan raya dan saya lanjutkan dengan berjalan kaki. Sempat saya berpapasan dengan beberapa teman satu almamater. Kami saling sapa dan bersalaman.

Sewaktu saya sampai di rumahnya, ternyata teman saya sudah dimakamkan. Beberapa tetangga menyalami saya dan bertanya,

“Geulis, temannya Fitri nya?”

Mereka sangat ramah dan memberi jalan pada saya. Keadaan rumahnya membuat saya makin tersentuh. Tak pernah saya duga jika dia tinggal di rumah sekecil itu.

Di dalam, saya temui ibunya. Sang ibu tidak ikut ke pemakaman. Beliau sedang berbaring di kasur tipis yang diletakkan di lantai. Ekspresinya begitu sedih dan shock.

“Makasih ya Neng, sudah mau datang.” kata si ibu.

Selanjutnya, beliau meminta saya mendoakan anaknya. Saya hanya mendengarkan dengan terharu. Saya berhasil tidak menangis waktu itu. Bila saya menangis, pasti sang ibu akan bertambah sedih.

Itulah potongan kenangan sedih yang saya alami Ramadhan tahun lalu. Kini Ramadhan kembali datang. Saya harap tak ada kesedihan atau kehilangan lagi. Dan saya selalu berharap, teman saya itu khusnul khatimah serta mendapat tempat terbaik di sisi Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun