Masuk fase proposal, di situlah aku akhirnya sadar kenapa banyak orang bilang skripsi itu bukan cuma soal nulis, tapi juga soal mental.
Bab I masih aman lah, cuma pengantar, latar belakang, tujuan, yang penting banyakin kata-kata biar keliatan berbobot. Tapi begitu nyemplung ke Bab II? Waduh, rasanya kayak dilempar ke jurang teori tanpa tali. Harus nyari jurnal terbaru, baca teori SDLC, model Waterfall, ngebandingin pendapat Somerville sama Pressman, pokoknya bikin kepala cenat-cenut tiap malam.
Aku jadi pelanggan setia Google Scholar. Malam-malam, orang lain udah tidur, aku masih melek depan laptop. Lampu kos cuma nyala redup, badan pegel, mata sepet, laptop Acer mulai panas kayak kompor, tapi layar Word masih aja kosong. Aku ngedumel sendiri:
"Ya Allah, kapan kelar ini Bab II..."
Ada kalanya aku pengen nyerah. Tapi tiap inget perjuangan dari awal, aku mikir, "Masa baru Bab II aja udah tumbang? Ayolah Ifa, masa depan lo nggak boleh berhenti di sini."
Perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa. Kata-kata yang tadinya susah keluar, lama-lama ngalir juga. Jurnal yang awalnya bikin pusing, akhirnya bisa kupakai buat nguatkan teori. Sampai akhirnya... proposal itu selesai juga. Walaupun penuh coretan revisi dari dosen, tapi at least, jadi!
Dan tibalah hari paling menegangkan:Â seminar proposal.
Pagi-pagi aku udah nggak bisa makan. Deg-degan parah, tangan dingin kayak es, jantung berasa lomba marathon. Aku masuk ruangan, dosen penguji udah siap dengan wajah seriusnya.
Presentasi berjalan. Suara aku sempet gemeter, tapi aku maksa terus maju. Slide demi slide akhirnya kelar. Lalu, satu pertanyaan yang bikin aku kaget datang:
"Kenapa kamu pakai barcode, bukan RFID?"
Hening sejenak. Dalam hati aku panik: "Waduh, aku baca RFID cuma sekilas doang kemarin..."
Tapi aku tarik napas panjang, terus jawab dengan segala kemampuan yang aku punya. Nggak sempurna, mungkin belepotan, tapi setidaknya aku bisa berdiri dan ngadepin.
Begitu seminar selesai, aku keluar ruangan dengan senyum tipis. Rasanya kayak baru aja menang duel sama boss level di game RPG. Capek, keringetan, tapi puas.
"Alhamdulillah, survive juga ternyata."Bab 4 -- Revisi yang Nggak Ada Ujungnya
Nah, setelah sempro, perjuangan beneran dimulai. Dosen pembimbing kasih catatan panjang. Ada yang teknis, ada yang detail banget.