Konflik di Gaza sejak Oktober 2023 telah memunculkan krisis kemanusiaan global dengan dampak yang masif. Tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel telah menewaskan lebih dari 60 ribu jiwa, menghancurkan infrastruktur sipil, hingga melumpuhkan sistem kesehatan dan pendidikan Gaza. Rakyat Gaza tidak hanya dibunuh dengan senjata, tetapi juga dengan senjata kelaparan (weapon of starvation) melalui blokade total terhadap akses pangan, air bersih, dan bantuan kemanusiaan (Kafeety, 2025).
Di tengah tragedi kemanusiaan ini, dunia internasional menunjukkan reaksi yang berbeda-beda.Â
Banyak negara secara tegas mengecam Israel dan memberikan pengakuan terhadap Negara Palestina sebagai bentuk solidaritas moral, sementara sebagian lainnya bersikap ambigu dan berhati-hati. Salah satu negara yang menonjol dalam dilema ini adalah Australia---negara demokrasi liberal yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, namun terikat pada kepentingan geopolitik dengan sekutunya, Amerika Serikat. Ini mempertanyakan apakah sikap Australia terhadap genosida di Gaza benar-benar berlandaskan pada nilai kemanusiaan, atau justru merupakan refleksi dari kalkulasi kekuasaan dan kepentingan strategis di panggung global?
Hingga saat ini, tercatat 157 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, termasuk Australia (Tempo.com, 2025). Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB ke-80 pada September 2025, Perdana Menteri Anthony Albanese menyerukan gencatan senjata (casefire), pembebasan sandera, dan penyaluran bantuan kemanusiaan ke Gaza. Ia juga menegaskan bahwa Hamas tidak boleh berperan dalam pemerintahan Gaza di masa depan. Albanese juga mengumumkan pengakuan resmi Australia terhadap Negara Palestina, seraya mengutip Piagam PBB untuk menegaskan komitmen negaranya terhadap perdamaian dan hak asasi manusia (Winata, 2025). Namun, dalam pidatonya, Albanese tidak sepenuhnya menyalahkan Israel, melainkan menekankan pentingnya "keamanan kedua belah pihak". Sikap ini menunjukkan upaya Australia menjaga keseimbangan antara citra moral dan kedekatan strategisnya dengan negara-negara Barat.
Dari perspektif power, kebijakan luar negeri Australia merefleksikan strategi balancing antara kepentingan moral dan geopolitik. Australia memiliki kepentingan besar menjaga stabilitas Indo-Pasifik, terutama melalui kemitraan AUKUS bersama AS dan Inggris untuk menahan pengaruh Tiongkok. Karena itu, dukungan terhadap kemanusiaan dan two-state solution dikemas secara hati-hati agar tidak mengguncang keseimbangan geopolitiknya. Pengakuan Australia terhadap Negara Palestina pada September 2025 dapat dibaca sebagai manuver diplomatik untuk mempertahankan kredibilitas moral di tengah tekanan publik domestik yang meningkat. Demonstrasi besar di Jembatan Pelabuhan Sydney menuntut pemerintah bersikap tegas terhadap Israel (McIlroy & Bardy, 2025). Langkah ini juga menghindarkan Australia dari tudingan standar ganda Barat, sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan moral sering kali lahir dari tekanan politik internal dan kebutuhan menjaga legitimasi internasional.
Sementara itu, Presiden Indonesia Prabowo Subianto dalam pidatonya di UNGA menegaskan posisi tegas Indonesia terhadap genosida di Gaza, menyerukan agar dunia tidak berdiam diri atas pelanggaran kemanusiaan terhadap rakyat Palestina. Ia juga menegaskan dukungan Indonesia terhadap two-state solution sebagai jalan menuju perdamaian yang adil, dengan tetap menjamin keamanan Israel demi stabilitas kawasan. Dengan demikian baik Indonesia maupun Australia sama-sama menempatkan two-state solution sebagai dasar perdamaian meskipun dengan penekanan berbeda. Indonesia menonjolkan aspek moral dan kemanusiaan, sedangkan Australia menitikberatkan pendekatan diplomatik dan stabilitas kawasan.
Namun, jika ditinjau lebih dalam, konsep two-state solution yang digadang sebagai jalan tengah masih rapuh dan tidak menjamin keadilan bagi rakyat Palestina. Wacana ini berisiko melegitimasi dominasi Israel atas Palestina dalam bingkai "perdamaian," tanpa upaya nyata mengembalikan seluruh hak rakyat Palestina. Tidak ada wacana yang secara utuh menuntut pemulihan hak-hak bangsa Palestina, bahkan lembaga-lembaga internasional pun tidak pernah menyerukan penghapusan pendudukan Zionis atas seluruh wilayah Palestina.
Dari pidato Albanese tampak bahwa sikap Australia terhadap konflik Gaza tidak sepenuhnya digerakkan oleh nilai kemanusiaan, melainkan oleh kalkulasi kekuasaan dan kepentingan strategis. Pengakuan terhadap Palestina dan dukungan terhadap two-state solution menjadi instrumen diplomatik untuk menjaga citra moral tanpa mengorbankan hubungan dengan sekutu Barat, terutama Amerika Serikat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI