Ya…. Aku sangat merindukannya.
***
Mengapa engkau menangis Dinda?
Aku telah datang, menepati janjiku padamu. Satu purnama lagi kan????? Aku telah tepati itu untukmu. Tangismu menyibakkan jiwaku Dinda. Aku tahu, aku datang tidak sesuai dengan harapanmu. Gerimis itu hadir lagi, persis saat terakhir kali kita bertemu sebelum hari ini. Aku, yang kini telah berdiri di hadapanmu, setelah belasan purnama kutinggalkan dirimu, tak inginkah kau memelukumu? Melepas segala rindu yang telah bersarang pekat di sudut hatimu. Mengapa kau hanya memandangiku? Inikah yang kudapatkan darimu setelah sekian lama kutitipkan pesan rinduku untukmu?
Baiklah Dinda, akan kuceritakan satu hal padamu. Tahukah kau yang terjadi padaku?
Ketika angin meredup perlahan, malam yang makin menambah ganasnya sang ombak malam itu. Semua hilang, tertutupi angin muson yang membawa gempuran ombak makin tak terkendali saat itu. Hentakan angin, yang saat itu bermufakat dengan badai makin menerjang pinisiku tanpa ampun. Aku berusaha untuk bertahan. Aku melawan, namun, akhirnya aku tak sanggup lagi. Aku digulung tsunami dan perahuku lantak di jurang karam. Saat itu, hanya kau yang ada di benakku. Akankah aku mampu menyudahi janjiku di purnama selanjutnya, saat aku tak mampu meredam sekarat asinnya lautan yang kuteguk dalam-dalam. Menyumbat jantung dan aliran darahku. Aku bukan jenis ikan yang berdetak dalam gelagak, bergelut dengan serasah asin dan air, meleraikan dahsyatnya perairan laut di gemulainya siripku. Ombak semakin gelap, namun cahaya gemintang tetap bertaburan bagai kerlingan minyak. Halimun mengendap-ngendap, melumatkan ranah yang telah sempat kita injak. Aku menyelinap ke dalam gelap, sekarat. Dan palung hitam menarikku hingga aku melesat ke dalam jurang air yang dahsyat.
Kini, Dinda. Kau tahu apa yang terjadi. Peluk aku Dinda. Aku mohon. Meski, engkau tak mampu lagi menyentuh jiwaku. Engkau menatap lekat-lekat jasadku, yang kini terbaring kaku di hadapanmu.
Dinda, maafkan aku. Ini semua bukan kemauanku. Aku memang kembali untukmu, tapi hanya dengan sebujur bangkai yang telah kaku, dan tak ada gunanya lagi. Kutahu, bukan ini yang kau harap. Tapi, inilah yang kubawa. Kini, jiwaku akan segera kembali ke sana. Aku hanya datang memberikan sepucuk surat untukmu. Dan, akan kukatakan bahwa aku selalu mencintaimu. Semua yang pernah kau dapatkan, anggaplah sebagai bisikan kelana.
***
Seorang perempuan bermandi cahaya bulan, disabuni buih dan riak air, selendangnya tergerai-gerai dilambai debur angin. Sambil menatap ke barat, lindap menatap sayuh sekarat, seolah menanti renggut bulan yang menggantung di atas pulau di seberang Selat Makassar, pulau Tupa’biring. Menantikan seseorang yang dicintainya sejak belasan purnama lalu. Lantas ia hanya mendapati dirinya sendiri dipeluk oleh dinginnya malam dan bias cahaya rembulan.
Masih terngiang jelas di hatinya, kala ia masih berdendang di antara degup cinta, dan pasangannya baru saja pulang dari rutinitas ruaya nokturnalnya di tengah laut, setelah merenggut isi samudera. Lalu dia tersenyum, menisik cinta kembali seperti tatkala mereka bermandi peluh di selisik pagi pertama dahulu.