Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bisikan Kelana

11 Desember 2014   19:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31 91 0
Katakan padanya aku pergi….

Ketika saat itu akan tiba. Kunanti saat-saat dimana bulan dan bintang bersatu membentuk birama klasiknya. Saat dimana orion membentuk kesempurnaannya. Dan saat dimana  angin yang membelah ombak di sebuah dermaga tempat kita bertemu dahulu. Malam itu semesta menyanyikan irama sufistik, di balik cahaya rembulan yang bulat penuh, yang menabur cahayanya di hamparan permadani samudera. Malam terakhir untuk kita cicipi sinar sang dewi malam bersama, menatap bintang di arah utara yang berwarna jingga. Kau, rebahkan rambut indahmu di pundak kiriku. Sambil bercerita betapa indahnya ketika kau dan aku tetap bersama. Kau, dengan sedikit terisak tatkala butiran-butiran bening itu jatuh di selaksa pipimu yang cantik itu tetap berpuisi mengagumi keindahan malam itu. Dan, dengan sigap sang ombak menjemput butiran bersatu dengan riak-riak air yang sedari tadi menjilat kakimu yang indah.

Aku tahu. Sampai kapanpun engkau merayu. Membujukku dengan sejuta kasihmu, aku tak akan mampu menarik keinginanku. Biarlah sang dewi beserta ribuan pengawalnya yang akan menemani malam-malammu setelah malam ini. Karena, ini adalah malam terakhir untukku dapat membelai harum rambutku yang tergerai indah.

***

Tujuh purnama telah berlalu, saat kutinggalkan kau sendiri di dermaga itu. Bagaimana keadaanmu sekarang Dinda? Lantas telah kulewati purnama ketujuh, di antara jejak samudera. Ombak melamun dan menghanyutkanku di padang perdu tak berpenghuni dan asing. Di malam saat sabit meruncing, dan gemintang berkilauan bagai riak air dilentikkan lentera mentari senja. Aku masih mengingat manisnya rindu yang kau titipkan padaku lewat angin pengembara yang setia menghantarkan pesanmu untukku. Kau tahu Dinda, bahwa semua yang pernah kita ukir di bawah pohon nipah akan selalu kukenang sampai kapanpun.

Nahkoda kehidupanku kini membawa ke tempat asing yang tak pernah kutahu sebelumnya. Dinda, tahukah engkau bahwa setiap jengkal langkahku di negeri asing ini telah kuukir kata demi kata rinduku padamu. Disini, purnama pun setia menemaniku, sebagai pengganti dirimu. Seperti janjiku yang terdahulu padamu.

Kau ingat lambaian terakhir yang kuberikan? Kau mungkin tak tahu bahwa tetes-tetes bening itu terjatuh bersama dengan gerimis sore itu. Saat kaki langit tampak kejinggaan, ku selipkan sebuah surat padamu yang kutitipkan kepada angin yang saat itu melintas di depanku. Hm…… Engkau tahu aku tak sanggup. Namun, engkau juga pasti tahu bahwa aku tak dapat menghindari perpisahan ini.

Ketika malam makin merajut, bersama dengan tenggelamnya purnama di arah barat daya saat angin muson membawa udara kering di setiap hembusannya. Saat itu, aku telah berada dalam sebuah reinkarnasi alur kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Aku tak dapat memberikan kata-kata lagi untukmu Dinda, karena seketika mulutku terkatup saat ingin kuucapkan sebuah kata untukmu yang kembali akan kutitipkan lewat sang angin yang kini makin berhembus aneh. Tatkala fikiranku kalut, tanyaku kini menggema. Apakah pesanku tersampaikan padamu Dinda? Karena kini angin tak bersahabat lagi padaku.

***

Maccini Baji. Saat bulan separuh.

“Kanda, tak bisakah engkau mengurungkan niatmu untuk tak melangkahkan kakimu meninggalkanku sendiri?”

Tanyamu itu kembali kutangkap. Dan, untuk sekian kalinya tak dapat kujawab tanyamu itu. Aku hanya dapat menyenandungkan sebuah lagu untukmu. Sebuah syair yang sangat engkau sukai. Gumammu kini terdiam tatkala kudendangkan senandung itu. Kau mendekapkan tubuhmu padaku, saat dingin malam menerpa rambutmu yang kembali tergerai indah. Meski rembulan masih separuh, namun cahayanya telah dapat memancarkan bias kecantikanmu yang dapat kunikmati sambil membelai helai demi helai rambut indahmu.

“Kanda, jika kau pergi. Hm… kapan kau akan kembali menemuiku di tempat ini? Pastinya, kau tak pergi untuk selamanya kan?”

Aku tersenyum mendengar tanyamu itu. Kutatap bulan separuh malam ini. Ombak di dermaga menari-nari, saling bercengkrama dengan ikan-ikan kecil yang sesekali menyembur ke permukaan. Rupanya, mereka juga ingin menikmati terangnya bulan separuh malam ini. Aku menatap jauh ke arah laut lepas sampai pandanganku terhalang kaki langit arah barat yang telah gelap sedari tadi. Kucoba ingin menghapuskan risau dalam hatiku. Ingin sekali kujawab semua tanyamu Dinda. Namun, saat ini aku belum menemukan jawabanya. Mungkin, suatu saat kau akan tahu arti semua tanyamu padaku.

***

Di Negeri Terasing. Belasan purnama telah berlalu…..

Aku tak tahu kini aku berada dimana Dinda? Gempuran ombak samudra yang terus mendorong pinisiku ini, makin tak tahu kemana arah tujuannya. Di dalam kelanaku, aku mencoba tetap menitip rindu dan kasihku untukmu, tapi sepertinya angin pun telah lelah menyampaikan pesanku padamu. Ini sudah terlalu jauh dari jangkauan angin malam yang setia membawakan rinduku padamu.

Belasan purnama Dinda. Selama itu aku telah meninggalkanmu, bersama kenangan yang telah kita rajut di bawah bulir-bulir cahaya bulan malam itu. Disaksikan jutaan kerlip bintang malam, dan diiringi nyanyian ombak Dermaga Maccini Baji yang mendendangkan lagu sayu itu untukmu. Aku masih ingat, saat kau menggumamkan sebait lagu kenangan malam itu. Aku begitu menikmati suara merdumu yang berbisik-bisik di telingaku ketika kau rebahkan kepalamu di pundakku.

Lagu itu….

Ya….. Dinda. Kau tahu. Lagu itu. Itu lagu yang setiap hari menemani hari-hariku. Tak bosan-bosan aku mendengarkan bait-bait mesra yang disenandungkannya. Tiap waktu, ketika bayang-bayang matahari mulai tampak. Maka saat itu dendang lagu itu menggema kembali di telingaku. Terus, dan terus. Sampai matahari kembali diperaduannya. Ketika malam menyelinap masih kudengarkan lagu itu. Sampai matahari kembali bertahta.

Belasan purnama Dinda. Bagaimana keadaanmu disana? Tak terasa putaran waktu telah lama memisahkan kita. Tentunya kau senantiasa menungguku bukan? Aku yakin itu. Tapi, aku tak tahu sampai berapa purnama aku akan mengarungi kehidupanku yang seperti ini. Aku ingin kau tahu, bahwa ketika ranum samudra mulai tenang saat itu aku akan kembali padamu. Semoga engkau mendapatkan pesanku ini.

Ingat Dinda. Aku berjanji padamu. Saat masa gemilangku telah kucapai, aku akan datang membawa mahar untukmu. Kan kupinang dirimu dengan segenap cinta dan pengorbananku. Ya…. Itu janjiku Dinda.

Hm… satu tanyamu telah kujawab ditengah samudra ini. Biarlah ombak yang membawa jawaban ini padaku, tatkala angin sudah enggan menyampaikan pesanku ini.

***

Purnama sempurna….. Malam itu…

“Jadi, malam ini adalah malam terakhir kita Kanda? Tak bisakah engkau menunda kepergianmu? Satu purnama saja”.

Kutatap lekat-lekat wajahmu. Permohonan yang tulus telah kau sampaikan padaku. Namun, kutahu kau mengerti maksud kebungkamanku ini. Engkau pun terdiam. Maaf Dinda. Tak dapat lagi aku menunggu. Bukan aku tak ingin berlama-lama denganmu, namun engkau tahu ini harapan terakhirku. Kapal terakhir yang akan segera menjelajah samudera, akan berangkat besok. Dan, setelahnya tak ada lagi kesempatan itu. Kumohon Dinda, jangan ada air mata yang membasahi wajah ayumu. Aku tak mau, kecantikanmu terbias oleh butiran-butiran bening itu. Aku ingin melihatmu malam ini dengan kesempurnaan itu. Aku ingin menyandingkan dirimu  dengan purnama sempurna yang sedari tadi membagikan cahayanya ke bumi. Akupun ingin kau seperti itu saat ini.

Gelora ombak malam. Waktu terus berputar. Kita masih menikmati purnama terakhir malam ini. Semilir angin mamiri kini menambah harunya malam. Saat itu, kau berjanji padaku untuk   menungguku disini. Setiap purnama sempurna. Dan, kugenggam janjimu itu…

***

Dinda…..

Dulu, kita pernah menanam, merajut dan mengukir sajak di dedaunan nipah. Dulu sekali, kau masih kecil saat itu. Mmm, mungkin kau telah lupa, tapi aku ingat, Dinda. Saat itu, aku sempat menggoreskan dua nama kita di antara pepohonan ini. Tapi aku tak tahu lagi dimana pohon itu. Dan aku tak tahu pula apakah dua nama itu masih terukir di sana. Padahal saat itu, aku ingin mengikat janji sebagai panji, bahwa di pohon itulah, aku akan menjadi suamimu kelak saat aku beranjak meninggalkan jejak. Tapi aku tak mengungkapkannya karena ku tahu kau masih belia. Kau masih belum memiliki rasa, seperti rasa yang memenjarakanku dari rona hijau mudaku hingga aku bersemi menjadi pepohonan lindap berwarna coklat. Sesuai janjiku saat itu, meski kau lupa dan tak tahu, aku akan berlayar di selatan, arah datangnya mata angin itu, untuk mencarikan segelintir harapan dan gelitir kerlingan mutiara dari kerang mutiara yang kutambatkan pada Pulau Tupa’biring. Tunggu aku Dinda,  tunggu aku sekejap saja. Disaat bulan purnama, aku akan menuntunmu mencumbui rembulan di dermaga ini.

Dinda. Aku janji. Ini purnama terakhir. Satu purnama lagi, aku akan datang menemuimu membawa segenggam kehidupan baru untukmu. Aku telah menemukan apa yang aku cari Dinda. Kini, aku siap menjamah dirimu ketika ikrar suci itu telah terucap dari bibirku untukmu. Akan aku tanamkan benih cinta itu pada ranumnya kasihmu, saat tak ada lagi penghalang itu.

Dinda, satu purnama lagi. Kini, pinisiku telah berlayar ke timur. Itu artinya, aku akan menemuimu. Aku ingin, saat pinisiku berlabuh di dermaga, engkaulah orang pertama yang kutemui, dengan membawa senyum merekah itu. Dengan membawa segenggam aroma harum yang dulu selalu kau bagikan padaku. Aku rindu itu Dinda…

Ya…. Aku sangat merindukannya.

***

Mengapa engkau menangis Dinda?

Aku telah datang, menepati janjiku padamu. Satu purnama lagi kan????? Aku telah tepati itu untukmu. Tangismu menyibakkan jiwaku Dinda. Aku tahu, aku datang tidak sesuai dengan harapanmu. Gerimis itu hadir lagi, persis saat terakhir kali kita bertemu sebelum hari ini. Aku, yang kini telah berdiri di hadapanmu, setelah belasan purnama kutinggalkan dirimu, tak inginkah kau memelukumu? Melepas segala rindu yang telah bersarang pekat di sudut hatimu. Mengapa kau hanya memandangiku? Inikah yang kudapatkan darimu setelah sekian lama kutitipkan pesan rinduku untukmu?

Baiklah  Dinda, akan kuceritakan satu hal padamu. Tahukah kau yang terjadi padaku?

Ketika angin meredup perlahan, malam yang makin menambah ganasnya sang ombak malam itu. Semua hilang, tertutupi angin muson yang membawa gempuran ombak makin tak terkendali saat itu. Hentakan angin, yang saat itu bermufakat dengan badai makin menerjang pinisiku tanpa ampun. Aku berusaha untuk bertahan. Aku melawan, namun, akhirnya aku tak sanggup lagi. Aku digulung tsunami dan perahuku lantak di jurang karam. Saat itu, hanya kau yang ada di benakku. Akankah aku mampu menyudahi janjiku di purnama selanjutnya, saat aku tak mampu meredam sekarat asinnya lautan yang kuteguk dalam-dalam. Menyumbat jantung dan aliran darahku. Aku bukan jenis ikan yang berdetak dalam gelagak, bergelut dengan serasah asin dan air, meleraikan dahsyatnya perairan laut di gemulainya siripku. Ombak semakin gelap, namun cahaya gemintang tetap bertaburan bagai kerlingan minyak. Halimun mengendap-ngendap, melumatkan ranah yang telah sempat kita injak. Aku menyelinap ke dalam gelap, sekarat. Dan palung hitam menarikku hingga aku melesat ke dalam jurang air yang dahsyat.

Kini, Dinda. Kau tahu apa yang terjadi. Peluk aku Dinda. Aku mohon. Meski, engkau tak mampu lagi menyentuh jiwaku. Engkau menatap lekat-lekat jasadku, yang kini terbaring kaku di hadapanmu.

Dinda, maafkan aku. Ini semua bukan kemauanku. Aku memang kembali untukmu, tapi hanya dengan sebujur bangkai yang telah kaku, dan tak ada gunanya lagi. Kutahu, bukan ini yang kau harap. Tapi, inilah yang kubawa. Kini, jiwaku akan segera kembali ke sana. Aku hanya datang memberikan sepucuk surat untukmu. Dan, akan kukatakan bahwa aku selalu mencintaimu. Semua yang pernah kau dapatkan, anggaplah sebagai bisikan kelana.

***

Seorang perempuan bermandi cahaya bulan, disabuni buih dan riak air, selendangnya tergerai-gerai dilambai debur angin. Sambil menatap ke barat, lindap menatap sayuh sekarat, seolah menanti renggut bulan yang menggantung di atas pulau di seberang Selat Makassar, pulau Tupa’biring. Menantikan seseorang yang dicintainya sejak belasan purnama lalu. Lantas ia hanya mendapati dirinya sendiri dipeluk oleh dinginnya malam dan bias cahaya rembulan.

Masih terngiang jelas di hatinya, kala ia masih berdendang di antara degup cinta, dan pasangannya baru saja pulang dari rutinitas ruaya nokturnalnya di tengah laut, setelah merenggut isi samudera. Lalu dia tersenyum, menisik cinta kembali seperti tatkala mereka bermandi peluh di selisik pagi pertama dahulu.

“Kanda, aku ingin engkau tahu bahwa semua pesanmu telah sampai kepadaku. Tunggulah aku di sana Kanda. Aku akan datang membawa sejuta cinta itu untuk kita nikmati bersama di dermaga ini. Dan, untukmu aku akan datang”.

Angin  itu terdiam. Dia tak mampu berucap apa-apa, saat sang gadis merelakan tubuhnya untuk dilahap Sang Ombak malam itu, tepat satu purnama setelahnya.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun