Mohon tunggu...
Aditya Idris
Aditya Idris Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Alumni Jurusan Matematika Statistik Angkatan 2009 (S.Si)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karang di Pulau Cinta

15 Desember 2014   19:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di pantai yang tak jauh dari tempat itu, sepasang anak manusia sedang asyik bermain. Kegembiraan menyelimuti mereka, jauh dari rasa cemas, susah maupun hal-hal yang menjepit hidup. Keduanya bermain kuda-kudaan dari upih pinang yang ditarik di atas pasir landai. Panas matahari yang menyengat tak berpengaruh pada mereka.

“Kencang Bang. Lebih kencang lagi. Ayo tarik kencang-kencang!” Sorak perempuan, gadis rupawan berumur enam tahun. Anak laki-laki berwajah tampan berumur sembilan tahun yang berada di depan memacu lebih kencang larinya. Beban penumpang yang duduk di atas upih itu seakan tak dirasakannya.

Tiba-tiba gadis itu terpekik.

“Aduh!”

“Tiara!” Teriaknya lalu memburu ke tempat si gadis dengan cemas. Betapa tidak. Karang, demikian nama anak laki-laki itu melihat Mutiara, terbaring miring di pasir tak bergerak.

“Tiara. Tiara. Bangun Dik. Kenapa kau?”

Wajahnya menyiratkan kecemasan dan kegelisahan.

“Dik. Bangun.”

Mutiara berontak. Bangun dengan cepat, lalu membungkuk di hadapan Karang, yang terkejut, menatap bodoh dibohongi. Mutiara tertawa lepas memandangi wajah bodoh Karang. Karang, yang masih belia itu ikut tertawa. Saling cubit mencubit. Sambil memandangi ombak yang terus bernyanyi riang.

Karang mencintai Mutiara. Meski usia mereka masih belia, namun mereka saling mengikat janji setia. Bersama selamanya. Sepasang nama terukir di pohon itu. Nama mereka berdua. Sebagai tanda kesetiaan mereka.

***

Begitulah masa kanak-kanak di kampung nelayan. Damai, mesra, dan indah. Pagi sekolah, siang bermain, senja membantu orang tua menjemur jala atau jaring, membersihkan sampan, menolong membawakan dayung atau peralatan lain yang menjadi senjata orang tua mereka mencari nafkah. Maghrib pergi ke surau lalu mengaji menambah ilmu agama. Selesai sholat Isya mereka pulang bersama-sama sambil bercanda gurau. Permainan yang mereka adakan ada-ada saja. Tak pernah putus. Tak pernah kehilangan bahan, sampai mereka berpisah satu demi satu ke rumah masing-masing.

Namun, agak berbeda dengan Karang. Setiap malamnya harus menikmati hempasan ombak dan dinginnya malam, untuk menafkahi ibu dan tiga orang adik perempuannya. Sejak ayahnya meninggal tersapu badai empat tahun yang lalu, mau tidak mau Karang harus melepaskan masa kanak-kanaknya dan beralih untuk menggantikan pekerjaan sang ayah yang telah dahulu menemui Sang Khalik.

Kayu rasak setengah lengan tersusun rapi dan sama tinggi menjadi pagar mengelilingi rumah panggung yang terletak sekitar 110 meter dari bibir pantai. Di kiri kanan rumah tertata baik. Tanaman kecil mengawal setia pohon yang rimbun. Pada halaman depan sebatang sauh berbuah lebat menaungi bangku-bangku tempat duduk melepaskan lelah. Arah belakang terlihat sebuah jaring didampingi galah-galah panjang dari bambu dan kayu sebesar lengan terentang di atas jemuran kayu menandai kehidupan nelayan. Di atas pelataran belakang yang membatasi dapur dengan rumah induk tergantung pula jala dan jaring baru serta ada yang belum selesai dijalin.

Di rumah peninggalan ayahnya itu, Karang, ibu dan adik-adiknya menyambung kehidupan sepeninggal tumpuan hidup mereka. Kini, beban itu diserahkan sepenuhnya pada Karang. Karena, dialah anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Karang harus pula menanggung biaya sekolah adik-adiknya. Dia tidak mau, adik-adiknya kehilangan masa depan sepertinya. Telah dia ikrarkan dalam hatinya, bahwa adik-adiknya harus berhasil. Menjadi seorang wanita terhormat kelak, dengan menyandang gelar pendidikan yang tinggi. Agar lelaki segan dan hormat pada mereka.

***

Mutiara. Sang gadis yang sangat disayangi Karang. Pesona kecantikannya sudah sangat terasa, meski usianya masih sangat belia. Bersama Karang, dia dapat menemukan kebahagiaan masa kecilnya. Nasibnya tak jauh beda dengan apa yang dialami Karang. Ayahnya pun meninggal diterjan keganasan laut malam saat itu bersama dengan ayah Karang. Ketika itu, Mutiara belum dapat berfikir apa-apa. Tiara pun menjadi anak yatim yang malang.

Sejak saat itulah, Karang berjanji dalam hatinya untuk menjaga Mutiara, semampu yang dia bisa. Menjaganya. Mengajari dia hal ikhwal tentang hidup dan kehidupan. Dan, tentunya agama. Mutiara pun telah dianggap adik olehnya.

Karang. Meski menjadi tumpuan keluarganya. Tiap malam harus menantang ombak di laut lepas, namun ilmu agama tak lepas darinya. Surau satu-satunya di pulau itu adalah saksinya. Suara Adzan yang menggema itu adalah suara indah miliknya. Tak kalah ketika dia melantunkan ayat-ayat suci dari Sang Khalik. Begitu indah.

Apabila Karang mengumandangkan adzan sudah pasti pula Mutiara duduk menanti dan menatap abangnya tanpa kedip. Mutiara tahu, bahwa hanya Karang tumpuannya. Tiara manja, sayang dan terlalu bangga dengan Karang. Biasanya mereka pulang dari surau ketika selesai mengaji di malam hari dengan penerangan lampu damar dan suar dari daun kelapa tua ataupun obor bambu. Sering pula Tiara memanja dengan meminta Karang menyanyi untuknya. Karang tak menampik mendendangkan lagu yang menjadi spesipik permainan mereka.

Ketika malam menghampiri larut, saat itulah Karang harus menempuh perjuangan untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya. Dinginnya malam tak mematahkan semangat bocah tanggung ini untuk menerjang laut yang siap memberikan kehidupan dan juga kematian pada siapapun.

***

Hari-hari terus berjalan sesuai kodrat yang telah digariskan Tuhan. Perahu-perahu nelayan tetap melancar mengikuti gelombang laut yang berkejaran berebut dahulu mendahului menerkam pantai. Bila malam, kedinginan akan terasa nyaman, ketika bulan memancar tersenyum mendengar senandung nelayan, mengisi kekosongan menanti pancing disentak atau jaring diangkat. Dari kejauhan lampu-lampu damar kecil terlihat berkelip, melambai, terlihat begitu menawan, damai dan tentram.

Hari-hari yang terik berjalan panjang dengan hembusan angin kering menyengat. Perahu-perahu tetap terbuai diayun ombak mengantar cerita kehidupan para nelayan. Pasir bertambah putih dengan panas memanggang tapak manusia yang berjalan di atasnya.

Suara ombak berdebur menandakan pasang yang terdengar sayup menyampaikan bahwa pasang telah mulai datang. Tak ubah detak jantung manusia yang mengeras bila suatu yang menakutkan atau kebimbangan datang menerpa.

Matahari bersinar terang menyinari laut beralun tenang. Perjalanan waktu tak pernah disadari manusia. Ikan-ikan di kedalaman laut juga berganti. Dari telur menjadi bibit, bibit menjadi ikan, menjadi sumber penghasilan. Ombak berburu mengejar pantai tak pula kunjung berputar. Berpacu dahulu-mendahului, berserak ketika kehabisan tenaga, lalu kembali ke tengah. Umurpun bertambah seiring pergantian masa yang merangkak terus.

Malam itu kembali Karang kembali melaut. Hatinya sangat bahagia. Mungkin karena malam itu, sang mutiara hati menemani malamnya sebelum dia melaut. Sungguh kagum Tiara padanya. Di usianya yang masih sangat belia, dia berjuang menghidupi keluarganya. Membiayai sekolah adik-adiknya. Dia tak peduli pada diri sendiri dan masa depannya. Dia hanya menginginkan kebahagiaan adik-adiknya kelak.

Malam itu purnama sempurna. Keduanya bermain-main pasir. Ombak pasang seakan-akan mengganggu, sekaligus menambah keceriaan mereka. Malam itu, Karang dan Mutiara, sepasang anak kecil yang tengah bercanda bersama. Sungguh indah.

***

Segumpal awan hitam berputar-putar menikam laut, menimbulkan lonjakan air membusa ke udara. Ombak yang tercipta oleh pusaran angin dari berbagai arah, bertemu dan melompat tinggi, kemudian jatuh ke bawah berubah menjadi gelombang yang bergulung-gulung. Suara angin bersiur mendendangkan irama tak pernah putus. Sambung menyambung dengan iringan irama raung air menyanyikan lagu kemarahan. Tak ada kelembutan, tiada keramahan, menjauh dari kedamaian. Semua berebut menampilkan kekuatan.

Ditengah amukan alam sebuah sampan kecil dengan seorang penumpang, terhumbalang ke sana kemari. Seorang pemuda tampan, dengan tubuh sedang itu, juga menunjukkan keperkasaannya. Keperkasaan agar tidak begitu saja ditekan alam yang makin menggila. Badannya telah basah. Mata perih tersiram air asin. Dengan segenap usaha dia mempertahankan diri agar tidak kalah. Kalah berarti maut. Sampan dikendalikan berliku-liku. Lincah, gesit penuh perhitungan dan pengalaman. Tapi, untuk berapa lama? Entahlah. Laut terus berontak seakan berusaha menelan mangsa.

Karang masih berjuang melawan keganasan alam malam itu. Baginya, ini adalah pilihan. Pilih pasrah dan mati, atau berjuang untuk tetap hidup.Dalam fikirannya kini, terlintas wajah-wajah orang yang dicintainya. Ibu, adik-adiknya, dan tentu saja Mutiara. Karang terus berjuang mempertahankan nyawanya. Dia tak ingin bernasib seperti ayahnya. Dia juga tak mau berhenti sebelum sampai pada batasnya.

Karang kini berada di tengah amukan gelombang karena lari dari kenyataan. Lari membawa suak atas cintanya yang berada di Pulau cinta itu. Dia kini menjauh membawa kebahagiaan hidupnya. Dari sosok raksasa malam. Karang akhirnya tak sanggup lagi. Senyum mengembang dari bibirnya ketika ombak besar itu menerkamnya.

***

Kehidupan tidak terus mengalir monoton. Klimaks-klimaks menegangkan lahir mencipta kisah tangis, tawa, keseraman. Buana merangkak lesu, cerita anak manusia tak pernah membisu.

Bulan bergelung dalam selimut mega kelam. Embun singgah dan tertidur di kelopak bunga-bunga tanpa mengucapkan salam lebih dulu. Teras rumah tingkat dua yang diterangi cahaya lampu lima belas watt seperti kelabu dan menyimpan misteri. Prihatin kepada dia yang diguncang tanda tanya tak terjawab. Mimpi yang menghampiri sejuta teka-teki. Mimpi yang menimbulkan takut dan rindu.

Mimpi dihempaskan, dibenamkan dan dilambung tinggi gelombang ganas. Badai berputar dahsyat. Langit hitam. Lidah-lidah maut melambai membujuk pergi. Lalu hilang, kosong tak berkesan.

Mutiara kini hanya dapat menangis. Meratapi kepergian abang, sekaligus sang pujaan hatinya. Dia tak dapat berkata-kata lagi. Kehilangan orang yang dicintai untuk kedua kalinya. Tak ada lagi senyum mengembang di wajah Mutiara. Candanya kini bagaikan pasir putih yang terhempas air laut, hilang seketika tanpa meninggalkan bekas. Wajah Karang masih tetap terbayang-bayang di pelupuk matanya. Wajah Karang enam belas tahun yang lalu. Wajah Karang ketika masih anak-anak. Dia berkali-kali merangkai sosok wajah Karang saat ini.

“Bagaimana Karangku saat ini?” Tanyanya dalam hati. Gadis cantik itu tak pernah lagi tersenyum sejak saat itu. Sejak ketika berita tenggelamnya sampan milik Karang meringis hatinya. Kepergian Karang begitu menyakitkan kalbunya. Tak ada tanda-tanda akan kepergian Karang waktu itu. Sosok cilik masa lalunya itu, betul-betul menenggelamkan cinta dan hidupnya. Senyum itu hilang. Senyum itu kini tiada lagi.

Karang. Mana janjimu? Aku masih setia menunggumu. Meski sekarang aku tak tahu engkau di mana? Apa gunanya ukiran nama kita di pohon itu. Apa gunanya lambang kasih sayang kita itu? Karang. Kini aku telah dewasa. Datanglah padaku. Aku menunggumu. Menunggumu segera meminang diriku. Menjadikanku permaisuri hatimu. Aku sudah tak sabar menanti kehadiranmu di hadapanku. Membawa setangkai indah kasih sayang dan cintamu untukku. Tidakkah kau sadari. Enam belas tahun aku menunggumu. Aku tak akan berpaling sampai kapanpun. Karang, aku menunggumu. Menunggumu di pulau cinta ini. Pulau kebahagiaan kita.

***

Matahari beringsut setapak demi setapak menuju ke peristirahatan di ujung barat. Kaki langit menyambut dengan pelukan penuh gairah sehingga terpancar rona merah yang indah. Tak kekal seperti itu. Terkadang sepasukan awan hitam, semufakat dengan bayu menutup surya. Angin tertawa memamerkan keperkasaan. Hutan ikut berteriak, dimeriahkan pohon-pohon dari yang kecil sampai yang besar menari membiarkan rambut dan bajunya koyak serta terlempar tak menentu. Air di laut menggeliat disusul air yang terjun membasahi bumi.

Kabut senja tiba-tiba bertebaran menjauh dari sinar-sinar kemerahan di ufuk senja. Langit tersenyum menyempatkan manusia melaksanakan kegiatan yang berbagai bentuk. Tak berselang lama suara adzan berkumandang meliuk-liuk tinggi rendah dengan merdu dan nyaman di telinga.

Penduduk pulau itu berbondong-bondong ke arah mesjid Al- Ikhlas yang dahulu hanya surau kecil. Begitupun dengan Mutiara. Kebiasaannya sejak kecil kini membawanya melangkah ke mesjid itu untuk menunaikan kewajibannya pada Sang Penguasa Bumi. Hari itu, ada berita yang membawa kegembiraan bagi penduduk.

Kini suara adzan maghrib yang mereka banggakan sejak dahulu berkumandang, dilantunkan oleh seorang pemuda gagah dari luar kota sana. Tak heran jika mereka membanjiri shalat Maghrib berjamaah hari itu, sekaligus menyempatkan diri berbincang atau sekedar menyapa pemuda gagah itu.

Pemuda gagah itu amat sopan, ramah dan berwibawa. Nada bicaranya begitu halus. Sungguh bijaksana dia. Penduduk yang hadir saat itu begitu senang. Begitu pula dengan pemuda gagah itu. Sepertinya, dia telah mengenal lama tempat itu.

“ Assalamu alaikum Tiara?” Sapa pemuda itu pada Mutiara. Tiara kaget mendengar pemuda itu mengetahui namanya.

“ Kaget? Aku datang menepati janjiku padaku. Nama yang terukir di pohon itu adalah lambang cinta kita. Aku tahu sekian lama kau menungguku. Akupun merindukanmu di perantauanku sana. Kini, aku akan segera meminang dirimu. Menjadikanmu permaisuri hatiku. Aku telah datang membawa setangkai indah kasih sayang dan cintamu untukmu. Tidakkah kau sadari. Akupun merindukan Mutiaraku. Kekasihku, pujaan hatiku. Janjiku kini kupenuhi. Aku datang menghampiri dirimu di pulau cinta kita”.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun