Mohon tunggu...
Tugu Lasara
Tugu Lasara Mohon Tunggu...

Petani Nomaden

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Desa yang Mandiri dan Aktif

28 November 2014   16:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_378807" align="alignnone" width="780" caption="Sumber : Malinau.go.id"][/caption]

Aparatur dan masyakarat desa diajak aktif dalam pembangunan daerahnya. Ada Pembagian kekuasaan dan wewenang untuk menentukan kebutuhan dan keinginan dari desa demi kemajuan bersama. Sebagai praktek nyata semboyan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kabupaten Malinau di Provinsi Kalimantan Utara membalik kebiasaan birokrasi yang sudah terbangun puluhan tahun di Negeri ini. Sang Bupati Dr. Yansen, TP, M.Si, rela berbagi kekuasaan dengan aparatur desa dan warganya untuk mempercepat pembangunan daerahnya. Masyarakat desa dimotivasi dan diarahkan agar dapat berkreasi dan berinovasi untuk mewujudkan pemerintahan desa yang mandiri dalam pembangunan.

Pemerintah kabupaten (Pemkab) Malinau mengubah mental, cara berpikir dan kerja aparatur dan masyarakat desa. Aparatur yang malas atau bahasa keren hari ini lebih suka dilayani. Kata Menteri PAN dan RB, Yuddy Chrisnandi, era birokrasi priyayi sudah berakhir. Di Malinau sudah sejak tiga tahun lalu, aparatur pemerintahan harus aktif melayani dengan tulus masyarakatnya.

Melalui buku Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, Bupati Malinau bertutur tentang pengalamannya membangun daerah tertinggal dengan visi dan misi yang tak biasa. Ia mengusung program Gerakan Desa Membangun (Gerdema). Ia tak sungkan mengurangi peran dan kekuasaan dalam jabatannya sebagi bupati yang banyak dijuluki sebagai raja kecil. Namun, ia memilih mendelegasikan semua itu secara berjenjang kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kecamatan, hingga desa.

Melalui Gerdema, Pemkab Malinau memberikan kepercayaan dan membina desa untuk menentukan arah dan keinginan pembangunan daerahnya. Desa bisa menginventarisir sendiri segala kebutuhan dan prioritas kerjanya untuk menggenjot kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya yang masih berpikiran konservatif. Menurut Yansen, masyarakat desanya hidup dengan sederhana asal semua kebutuhan sehari-hari terpenuhi itu sudah cukup. Mereka percaya kebutuhan hidup ada di alam Malinau yang kaya. Padahal, kemajuan daerah tak cukup dengan semua itu tapi masih membutuhkan akselerasi perekonomian dari masyarakatnya.

Sebagai wilayah terpencil, Malinau sadar harus membuka isolasi daerah-daerahnya dari dunia luar. Pembangunan desa dimulai dengan pemecahan masalah pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang terbaik, penyedian listrik untuk kebutuhan masyarakat dan industri, perbaikan aspek teknologi, produksi, permodalan dalam pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industri, peningkatan disiplin dan kinerja Pegawai Negeri Sipil, dan tentu saja, semuanya tanpa korupsi dan mempertahan “Malinau sebagai daerah hijau untuk konservasi”.

Dengan mendekatkan diri kepada masyarakat, Bupati Malinau mendengar, merasakan, dan mengetahui kebutuhan masyarakatnya. Malinau memancang empat pilar untuk memecah sekelumit permasalahan yang ada. Pertama, pembangunan infrastruktur dengan realisasi pembangunan jalan, jembatan, dan sarana transportasi untuk menghidupkan sektor produksi. Kedua, membangun SDM dengan keseimbangan swasta dan PNS, serta mencontoh pembentukan SDM pada Jepang pasca bom Hirosima dan Nagasaki.

Tak cukup itu saja, Malinau membangun daerahnya melalui ekenomi kerakyatan. Kekayaan alam melimpah tentu pemkab hati-hati dalam membuka arus investasi untuk menghindari dampak negatif, seperti kerusakan lingkungan dan hanya menjadikan masyarakatnya sebagai buruh. Malinau pun membentuk perusahaan daerah untuk pengolahan rotan yang membuka lapangan pekerjaaan. Sementara itu, peran sektor swasta tak ditinggalkan. Perusahaan besar dengan investasinya yang besar dijadikan “bapak asuh” untuk perusahaan lokal. Tak lupa, pemkab menghidupkan sektor ekonomi kreatif.

Semua itu tentunya membutuhkan sistem pemerintahan yang baik dan kuat. Strateginya,memfokuskan mekanisme kerja SKPD dalam memberikan perhatian kepada desa. Kedudukan desa dalam pembangunan semakin jelas melalui Undang-Undang (UU) nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Dalam UU tersebut, desa diberikan kewenangan mengurus pemerintahan dan kepentingannya atas prakarsa dari masyarakatnya.

Lebih dari itu, Malinau memberikan otonomi penuh kepada desa. Desa menjadi pusat pemerintahan, kegiatan pembangunan, dan pelayanan publik. Masyarakat menjadi bersemangat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang sudah lama hilang dari kebudayaan Indonesia, seperti siskamling dan gotong royong pembangunan fasilitas umum.

Peran masyarakat desa bisa terlihat dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Mereka mendapatkan keleluasaan dan hak untuk mengajukan item-item kebutuhan dalam upaya membangun daerahnya. Semuanya akan diakomodir dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tentu dengan memperhatikan aspek aksesibilitas, konektivitas pengembangan wilayah, pengembangan produk unggulan.

Malinau menggabungkan pola perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning) dan dari bawah ke atas (top-down planning). Malinau tak ingin pemerintahnya hanya menjadi “tukang perintah”, dan membuat masyarakat desa “gigit jari” karena tak kebagian peran dalam pembangunan. Disaat wakil rakyat di Senayan meributkan siapa pengusung dan partai paling peduli terhadap desa dengan mengusulkan uang untuk desa senilai Rp1 miliar. Malinau sudah memulai menyuntikkan dana ke desa secara bertahap; Rp200-500 juta, kemudian menjadi Rp900 juta , dan sekarang Rp1,2 miliar.

Uang itu bukan untuk dihamburkan begitu saja. Uang itu digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan masyarakat Malinau. Dalam identifikasi Yansen menyebutkan masyarakat Malinau tidak miskin sekali karena ada alamnya yang telah menyediakan semuanya tapi memiliki kemiskinan dalam ilmu pengetahun dan teknologi dan mental. Semua solusi sudah dilaksanakan, yakni model kesia-siaan dan pemborosan. Model tersebut tak mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan karena

Yansen mencibir semua model itu dengan beberapa istilah; ibarat membangun irigasi di padang pasir, memelihara kemiskinan, dan bercermin pada filosofi monyet. Semua model tersebut sebenarnya sudah memiliki program dan strategi tapi tak melihat ciri khas masyarakat dan daerah padahal satu sama lain itu berbeda. Penyeragaman strategi itu malah membuat tak produktif dan memelihara pengangguran.

Tak mau berpangku tangan, Yansen mengusung strategi dengan percaya kepada masyarakatnya dan mendelegasikan 33 kewenangan kepada kecamatan dan 31 urusan kepada daerah. Kewenangan yang diserah melalui proses pembinaan dan pendampingan dari pemerintah kepada aparatur dan masyarakat desa. “Penyerahan kewenangan dan urusan substansinya dapat mengubah tatanan masyarakat desa, termasuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran,”tulis Yansen.

Kewenangan dan insentif yang diberikan kepada desa telah menggeliatkan kehidupan aparatur dan masyarakat desa. Tingkat disiplin apartur desa yang tadinya masuk kantor sekadarnya sekarang sudah mencapai 61,68%. Peran masyarakat yang rendah melonjak dengan suntikan dana yang terus meningkat dan tanpa intervensi pemkab. “Program-program disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat,”ujar Yansen menerangkan pencapaiannya yang tertuang dalam buku Revolusi dari Desa.

Khusus penggunaan dana yang besar, Pemkab Malinau tak memberikan secara “gratis”. Pemkab bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yansen secara terang mengungkap ketidakpuasaannya terhadap hasil opini baik dari BPK karena angka kemiskinan di Malinau masih 26%. “Opini baik dari BPK dalam hal pengelolaan keuangan daerah, tidak serta merta menunjukkan pencapaian pembangunan yang baik,”ujarnya.

Pemkab Malinau menerapkan sistem pengawasan preventif dan refresif. Penggabungan dua sistem pengawasan tersebut untuk mencegah dari awal potensi penyelewengan dan berani menindak ketika terjadi penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara. Peran pemerintah dalam Gerdema adalah mendorong, membina, dan memampukan pemerintahan desa untuk membangun kapasitas dirinya menjalankan gerakan pembangunan di desa.

Dari penjelasan tentang revolusi desa dan slogan Gerdema sebanyak 180 halaman, Yansen belum mengekspolorasi secara detail potensi wilayahnya Gerdema pun belum maksimal bertutur mengenai peran masyarakat dan aparatur desa dalam program-program yang diusung Pemkab Malinau. Juga perkembangan sektor ekonomi dan peran serta masyarakat, swasta, dan pemerintah tak dijelaskan.

Semua tak bisa hanya program diatas kertas tapi realitas perubahan kesejahteraan masyarakatnya. Semua kesuksesan tak bisa dihitung dengan waktu dan angka-angka statistik. Mari kita tunggu hasil dari kinerja Gerdema dari Bupati Kabupaten Malinau, Yansen, dan masyarakatnya.

Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Karya : Dr. Yansen, TP., M.Si,

Jumlah halaman: XXVIII+XIV+ 180 halaman

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Tahun Terbit : 2014

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun