Mohon tunggu...
Laras sandyputri
Laras sandyputri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Potensi Utama

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedaulatan Indonesia di Ruang Udara pada Kerjasama ASEAN Open Sky dari Perspektif Hukum Internasional

23 Juli 2021   09:26 Diperbarui: 23 Juli 2021   10:16 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

  • Hubungan Antara Kedaulatan Ruang Udara Indonesia Dengan Kebijakan Asean Open Sky

Wilayah dari suatu negara merupakan titik awal dalam menyelesaikan hampir semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan internasional dan mempunyai tiga dimensi yaitu daratan, perairan dan ruang udara. Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Setiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara.

Suatu negara dikatakan berdaulat, maka makna yang terkandung adalah negara tersebut mempunyai kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai. Pembahasan mengenai kedaulatan negara ruang udara dimulai dengan munculnya dalil Hukum Romawi yang berbunyi "Cujus est solum, ejus est usque ad coelom", yang artinya barang siapa mengasai tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai kelangit dan segala apa yang berada di dalam tanah. Sebagaimana yang diketahui menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara.  Jika wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut.

Berdasarkan prinsip dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 194442, pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat mematuhi hukum serta regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan. Hal tersebut memiliki makna walapun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut, namun khusus permasalahan kedaulatan negara di ruang udara bukan menjadi alasan untuk tidak mengakui kedaulatan di wilayah ruang udara masing-masing negara. Rumusan tentang kedaulatan ruang udara pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, tidak menunjukan secara eksplisit sampai pada ketinggian berapa negara mempunyai kekuasaan atas delimitasi wilayahnya (Baiq, 2017). Hal tersebut menimbulkan banyak penafsiran-penafsiran berbeda, yang dimana pada saat Konvensi tersebut dilaksanakan, dunia penerbangan masih dalam tahap pengembangan dan teknologi masih belum memadai. Kebutuhan akan status hukum ruang udara bukan merupakan persoalan yang mendesak, walaupun dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 merupakan usaha untuk memastikan kepastian hukum tentang adanya hak kedaulatan ruang udara suatu negara.

Konsep kedaulatan negara di ruang udara tersebut telah diatur dalam perundang undangan Indonesia, serta meyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya. Sehingga, ruang udara tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan politik yang berbentuk tiga dimensi. Kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan kebijakan dari Open Skies, yang memiliki implikasi dengan bertambahnya jalur udara (airways) dan semakin padatnya arus lalu lintas (traffic) yang melewati wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia.

Indonesia bereaksi dengan melakukan strategi-strategi yang diperlukan baik secara lingkup domestik maupun internasional, untuk meminimalisir potensi ancaman terhadap wilayah kedaulatan ruang udara. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan dalam industri tersebut menyusul kemunculan banyak maskapai baru yang menambah padat jumlah pemain dalam bisnis ini. Oleh karena itu selama departemen-departemen terkait kebijakannya hanya terfokus pada pencapaian target masing-masing, maka industri penerbangan sulit berkembang. Dalam hal ini kebijakan tersebut mengenai kebijakan ASEAN open sky yang telah disetujui oleh Indonesia. Oleh sebab itu, sejauh mana persiapan yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi kebijakan tersebut. Untuk melihat persiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky 2015 (Irma D, 2018).

Di dalam wilayah kedaulatan yang mutlak atas wilayah udaranya, suatu negara berhak mengatur dan mengelola ruang udaranya bebas dari intervensi negara lain. Pemanfaatan wilayah udara secara maksimal juga merupakan implementasi dari kedaulatan Negara Republik Indonesia yang utuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Prinsip- prinsip kedaulatan atas wilayah udara secara mutlak dan penuh ini setidaknya juga diakui dalam perjanjian Multirateral ASEAN Multilateral Agreement on Air Services yang mendukung kebijakan ASEAN open skies dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa negara-negara peserta agreement telah meratifikasi Konvensi Chicago 1994 dan konvensi tersebut masih berlaku secara efektif bagi mereka.

Jika Konvensi Chicago 1994 masih berlaku secara efektif, maka Indonesia harus tetap mempertahankan prinsip cabotage pada kebijakan ASEAN open skies. Karena konsep ini merupakan salah satu bentuk manifestasi kedaulatan negara di udara secara penuh dan utuh serta pemanfaatannya bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Disamping tetap mempertahankan prinsip cabotage sebagai konsep manifestasi kedaulatan yang penuh dan utuh, pemerintah Indonesia dalam hal pemanfaatan wilayah udaranya harus memaksimalkan potensi yang didapat dari penerapan kebijakan ASEAN open skies ini. Wilayah ruang udara dengan cukup juga merupakan implementasi dari kedaulatan Negara Republik Indonesia yang tetap dan eksklusif atas kedaulatan ruang udaranya (Bambang, 2010).

  • Kerjasma ASEAN Open Sky dalam Perspektif Hukum Internasional

Aturan tentang hak lintas udara terdapat di peraturan yang berlaku secara internasional dan juga nasional. Aturan internasional bersumber dari Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944. Sebelum kedua konvensi tersebut, terdapat hukum kebiasaan internasional mengenai hak lintas udara. Negara-negara seperti Inggris, Perancis, dan Jerman pasca Perang Dunia Kedua memiliki aturan masing-masing tentang hak lintas pesawat negara lain di atas wilayahnya. Secara spesifik, hak lintas udara di dalam Konvensi Paris 1919 diatur dalam Pasal 2 Konvensi Paris 1919 dengan nama hak lintas damai. Namun, pasal tersebut dinilai diskriminatif, karena hanya berlaku bagi pesawat udara sipil dan hanya bagi negara anggota Konvensi Paris 1919. Dalam Konvensi Chicagoo 1944, aturan tentang hak lintas udara diatur dalam Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 yang membedakan penerbangan internasional berjadwal dengan penerbangan internasional tidak berjadwal.

Sedangkan di Indonesia, aturan nasional yang mengatur tentang hak lintas udara terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Asean Open Sky merupakan konsep liberalisasi penerbangan, terkhusus penerbangan sipil yang berlaku secara internasional, dengan dasar hukum Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 dan secara nasional diatur dalam Pasal 90 UU 1/2009 (Mochtar, 2003).  ASEAN Open Sky menciptakan  peluang dan sekaligus  ancaman  bagi negara negara anggotanya, namun  melalui perjanjian biltaeral dan multilateral yang dibuat diantara negara negara  tersebut  diharapkan  ancaman  akan  berubah  menjadi  keuntungan  untuk  seluruh pihak yang  terlibat.  Hal  tersebut  terlihat  dari konsekwensi penerapan  kebijakan Open Sky seperti yang diatur dalam Konvensi Chicago 944, bahwa setiap negara  peserta (maskapai penerbangan) akan memperoleh hak yang sama yaitu

  • Hak maskapai penerbangan suatu negara untuk terbang di atas wilayah udara negara lain tanpa mendarat.
  • Hak untuk mengisi bahan bakar atau melakukan perawatan pesawat lengkap dalam perjalanan ke negara lain.
  • Hak untuk terbang menuju negara lain
  • Hak untuk terbang dari negara lain ke negara asal maskapai penerbangan tersebut.
  • Hak untuk terbang antara dua negara di luar negara asal maskapai tersebut, selama penerbangan dimulai dan berakhir di negara asal maskapai penerbangan.
  • Hak untuk terbang antar dua negara dengan persinggahan nonteknis (bukan untuk mengisi bahan bakar atau perawatan).

Bentuk kerja sama yang kini banyak terjadi antar negara adalah kerja sama untuk meliberalisasi jasa transportasi udara, baik secara parsial maupun secara penuh. Mencakup Hukum Internasional dalam ruang udara yang bersumber dari Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 salah satu dari bentuk kerja sama yang kini tidak asing lagi di dunia penerbangan adalah ASEAN Open Sky, yang bertujuan untuk meliberalisasi jasa transportasi udara secara penuh. Dalam kerja sama ASEAN Open Sky dengan Indonesia, terdapat sekumpulan aspek kebijakan yang dilakukan secara berbeda, misalnya deregulasi kapasitas dan penghapusan kendali pemerintah atas harga yang ditetapkan, sehingga berdampak pada melonggarnya peraturan-peraturan dalam industri jasa transportasi udara. Strategi open sky ini sendiri dapat dilakukan oleh negara-negara baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Secara khusus, open sky mendorong terjadinya kompetisi yang makin ketat antara maskapai-maskapai penerbangan, memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga untuk dapat melayani rute-rute yang ada diantara dua negara dan memberi keleluasaan bagi para maskapai untuk mengembangkan rute-rute dan jaringan layanan yang ingin maskapai-maskapai tersebut pilih (Tampubolon, 2013).

  • Pengaruh dan Dampak dari ASEAN Open Sky di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun