Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Coba Sejenak Kita Membaca Sunyi Mereka (Para Tunarungu)

10 Mei 2015   03:36 Diperbarui: 13 Agustus 2015   19:55 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_416364" align="aligncenter" width="614" caption="Ibu Rina tak bisa melihat, mendengar dan bicara tetapi dengan semangat dan ketekunan mampu membuat baju juga tas."][/caption]

Siapa yang tidak pernah mengeluh? Pasti kita pernah bertanya ke Tuhan Maha Pencipta, kenapa seperti ini? Mengapa harus begini? Ketika kita putus dengan pacar, kita merasa hidup itu kadang tak adil, ketika kita tinggal orang yang kita sayangi, kita menganggap Tuhan tak sayang pada kita. Ketika kita ada masalah dikerjaan kita sering kali mengeluh kenapa keadaan harus seperti ini?

Tetapi cobalah kita sejenak melihat ke bawah diselah selah langkah kita menuju ke atas. Di sisi kita ada saudara kita, yang secara fisik terlahir tidak seperti kita. Dia tak bisa melihat, tak bisa bicara, tak bisa mendengar, tetapi dengan kondisi seperti itu dia tetap semangat menjalani hidup. Tetap bersyukur telah terlahir ke dunia meski dia tak diinginkan oleh pemilih rahim yang melahirkannya.

Dia bernama Rina, tunarungu dan tak bisa melihat yang tetap gigih berjuang dalam ketidaksempurnaan dan tidak mau hidup dalam belaskasihan. Dia ingin membuktikan dia bisa, Tuhan menciptakannya bukan tanpa tujuhan. Dia bisa bekerja dengan kondisi fisik yang kurang dan bisa berkarya seperti orang-orang normal lainnya.

Ibu Rina dengan mata tak bisa melihat mampu membuat pakaian, tas dari benang rajut dengan rapi dan bagus. Dia memiliki kesabaran dan ketelatenan begitu juga dalam menghadapi kehidupan ini. Dibuang keluarganya karena kondisi fisiknya, tak membuatnya dendam tetapi memberinya motivasi jika dengan kesabaran dan bersyukur hidup itu indah meski sunyi dan tak besinar. Namun dia mampu menghadirkan matahari dalam dirinya untuk kita, untuk orang orang yang sempurna secara fisik. Jika Ibu Rina saja mampu bertahan dengan kondisinya dan ikhlas menerima Takdir_Nya, mengapa kita tidak ? Mengapa kita harus putus asa dan mudah menyerah?

Ibu Rina ditemukan oleh Ibu Pat Sulistyowati seorang penyandang disabilitas sekaligus guru bahasa isyarat. Meski usia Ibu Pat sudah 66 tahun tetapi masih semangat untuk mengajari keterampilan para tunarungu seperti Ibu Rina.

“Sebelum saya mati. Saya ingin menjadi orang yang berguna dan inilah yang saya bisa lakukan agar para tunarungu dapat bekerja.” Ujar Ibu Pat yang sudah menggeluti kegiatan ini dari tahun 1991. “Dulu banyak para tunarunggu yang ada disini, kami banyak menerima orderan tas dari Pt kreatif Indonesia. Bisa sampai 50 per minggu tetapi tahun 1998, Indonesia krisis kegiatan dan usaha kami tersendat.”

“Meski sekarang tidak banyak yang belajar dan tinggal disini, tetapi jika ada yang membutuhkan tempat tinggal dan tenaga juga ilmu saya tidak segan dan dengan tangan terbuka menerimanya.”

Ya, selain Ibu Rina. Ada Santi, tunarungu yang belajar dengan Ibu Pat. Santi yang dulunya bekerja berjualan kue kering sekarang sudah bisa menjahit, membuat tas. Santi yang rumahnya tak jauh dari rumah Ibu Pat sudah belajar dengan Ibu Pat selama 2 tahun dan sekarang sudah mahir dalam menjahit dan membuat tas dari sisa-sisa kain yang tak terpakai.

Santi, 31 Tahun merupakan dua bersaudara, Ibunya berjualan klontong sedang Ayahnya seorang tukang, dia tak ingin merepotkan kedua orang tuanya, Ia ingin mandiri dan bisa cari penghasilan buat kebutuhannya sendiri. Awalnya dia belajar di tempat Ibu Pat, kedua orang tuanya tak setuju, tetapi ketika tahu apa yang dilakukannya orang tuanya mengijinkan. Senin dan Jumat dia datang ke tempat Ibu Pat, Sabtu-minggu dia mengurus keluarganya karena dia dua bersaudara dan adiknya dapat beasiswa di UI.

[caption id="attachment_416365" align="aligncenter" width="614" caption="Santi seorang tunarungu memperlihatkan hasil karyanya yaitu tas. dia sudah dua tahun belajar menjadi dengan Ibu Pat."]

14312025371514287034
14312025371514287034
[/caption]

Sekarang Santi sudah tak merasa kesepian sebab di samping tempatnya kurus baru saja dibuka Finger Talk Café yang mempekerjakan para tunarungu. Café  yang beralamatkan Jalan Pinang No. 37 RT 001 RW 014 Tangerang Selatan, Banten ini sengaja merekrut para tunarungu dan sekarang sudah ada 5 tunurungu yang bekerja di café yang tadinya bagian dari rumah Ibu Pat.

Dissa Syakina Ahdanisa, menggagas café ini cukup lama dan merupakan cita citanya dari kecil ingin membatu para tunarungu tetapi café ini bisa buka bukan hal yang gampang, Dissa awam dengan komunitas deaf susah masuk dalam pergaulan mereka. Tapi akhirnya dia bertemu dengan Ibu Pat yang mewarkan sebagian rumahnya menjadi café dan merekomdasikan beberapa tunarungu. Butuh waktu lima bulan untuk bisa bertemu dan menyatukan seluruh karyawannya di café ini.

[caption id="attachment_416367" align="aligncenter" width="614" caption="Pekerja di Finger Talk Café ini semuanya tunarungu dan itu tak membuat mereka minder tetapi sebaliknya semangat untuk membuktikan jika mereka bisa."]

1431202834646170134
1431202834646170134
[/caption]

Cara pendekatan satu dan yang lain berbeda. Dan akhirnya Dessa mampu meyakinkan lima deaf untuk bergabung. Mereka datang dari beberapa dearah dan punya keahlian berbeda. Frisca datang dari bali, Fatri Nurul Andriyani, 20 tahun berstatus fresh graduate dari salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Bandung minim pengalamannya dalam dunia kerja.

Menyatukan para tunarungu juga tidak mudah sebab bahasa isyarat yang digunakan berbeda. Bali cenderung  seperti Amrik, sedang bandung memiliki gerakan tersendiri begitu pun yang berasal dari Jakarta.


Dissa menyadari usahanya ini bukanlah mudah dan pekerjaannya semakin bertambah. Dia harus bisa menemukan pola kerja yang pas, untuk itu dia harus belajar bahasa isyarat dan memahami sifat sifat mereka dan bagaimana berkomunikasi baik dengan mereka.

Usaha Dissa membuka Finger Talk Café patut kita apresiasikan, bukan hal mudah tunarunggu mencari pekerjaan. Tak ada salahnya kita datang dan mencoba melihat kesunyian tunarungu dari dekat. Kita akan melihat dunia mereka tak sunyi seperti yang kita kira. Dalam tubuh mereka, diri mereka memiliki semangat yang berteriak lantang. Mereka bisa…. Mereka bisa mandiri…

Jika kita merasa sunyi, dunia ini tak adil, cobalah datang ke Finger Talk Café, mungkin tempatnya jauh untuk kita yang tinggal di jakarta tetapi kita akan bisa mendengar tidak seperti biasanya ingin didegar.

Semoga Finger Talk Café berkembang dan bertahan lama dan buka cabang di jakarta..!

[caption id="attachment_416368" align="aligncenter" width="369" caption="Dissa Syakina Ahdanisa pendiri Finger Talk Café yang menjadi cafe pertama dengan Pramusaji Tunarungu"]

1431203052907522104
1431203052907522104
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun