Vita baru saja dipromosikan menjadi manajer di departemen yang penuh dengan junior-junior yang berpengalaman sesuai background study mereka, ada juga beberapa senior yang dominan dan telah lama bekerja. Hari pertama di kantor baru terasa canggung. Di rapat pertama, dia bisa merasakan pandangan sinis dari timnya, yang seolah-olah meragukan kemampuannya. Banyak yang menganggapnya orang luar yang tak tahu apa-apa. Bahkan saat memberikan instruksi, dia merasa banyak yang mencibir di belakang. Vita tahu bahwa mendapatkan rasa hormat dari tim yang sudah lama bekerja bersama bukanlah hal yang mudah, dan ia harus bekerja ekstra keras untuk membuktikan dirinya.
Namun, alih-alih merasa terintimidasi, Vita memilih untuk tetap teguh. Setiap kali dimarahi oleh atasan karena hasil yang tidak memuaskan atau dikritik tajam oleh timnya, dia tidak membalas dengan emosi. Vita tahu bahwa seorang manajer harus menunjukkan ketangguhan mental, tidak mudah baperan apalagi meleyot dan lumer seperti karamel. Setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri. Dalam rapat-rapat yang penuh tekanan, Vita lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, berusaha memahami masalah yang ada dan mencari solusi yang terbaik.
Seiring berjalannya waktu, Vita mulai menyadari bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang memberi perintah, tetapi juga tentang membangun hubungan yang lebih dalam dengan timnya. Ketika tim mulai mencibirnya, Vita tidak membalas dengan sikap defensif. Sebaliknya, dia berusaha untuk membuka komunikasi dan memberi kesempatan bagi tim untuk berbicara dan berbagi kekhawatiran mereka. Vita mengedepankan pendekatan kolaboratif dan empatik, yang perlahan-lahan mengubah atmosfer kerja yang tadinya kaku menjadi lebih terbuka dan saling mendukung.
Lama kelamaan, gaya kepemimpinan Vita yang lebih empatik dan mendengarkan mulai menghasilkan hasil positif. Tim yang awalnya ragu, kini mulai merasa dihargai dan diperhatikan. Vita, yang awalnya dianggap sebagai manajer baru yang tidak tahu banyak, kini dipandang dengan rasa hormat. Namun, Vita menyadari bahwa untuk membawa tim ke arah yang lebih baik, dia perlu memberikan visi dan arah yang jelas.
Vita memutuskan untuk menggagas sesi strategis bersama tim, di mana mereka bisa berdiskusi tentang tujuan jangka panjang dan bagaimana setiap individu bisa berkontribusi. Dalam sesi tersebut, Vita memperkenalkan visi dan misi yang lebih besar untuk departemen mereka.
"Visi kita adalah menjadi bagian integral dari kesuksesan perusahaan dengan memberikan kontribusi dalam inovasi dan efisiensi. Misi kita adalah untuk meningkatkan kualitas kerja kita setiap hari, bekerja secara kolaboratif, dan melampaui ekspektasi perusahaan," kata Vita dengan tegas.
Vita juga menjelaskan bagaimana visi dan misi tersebut selaras dengan strategic goals perusahaan, seperti meningkatkan kepuasan pelanggan, efisiensi operasional, dan mendorong inovasi berkelanjutan. Dia ingin timnya memahami bahwa setiap tindakan mereka memiliki dampak langsung terhadap pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan. Dengan cara ini, Vita tidak hanya membangun rasa saling percaya, tetapi juga memberikan arah yang jelas.
Setelah visi dan misi tersebut dicanangkan, Vita merumuskan target-target yang lebih konkret dan terukur. Salah satunya adalah meningkatkan efisiensi operasional tim sebesar 10% dalam tiga bulan. Setiap anggota tim diberi tanggung jawab yang jelas, dan mereka memahami bagaimana kontribusi mereka akan membantu perusahaan mencapai tujuan yang lebih besar.
Vita juga memastikan bahwa setiap langkah menuju target tersebut tetap realistis dan dapat dicapai. Untuk itu, dia melakukan evaluasi rutin dan memberikan umpan balik kepada tim. Vita percaya bahwa memberi penghargaan terhadap pencapaian kecil sangat penting untuk menjaga semangat dan motivasi tim. Setiap kali ada kemajuan, dia tak lupa mengucapkan terima kasih dan memberi pujian yang tulus.
Namun, tantangan terbesar datang saat tim dihadapkan dengan proyek besar yang sangat mendesak dan penuh tekanan. Tenggat waktu yang ketat membuat sebagian anggota tim mulai kehilangan semangat dan motivasi. Vita melihat ketegangan itu dan tahu bahwa dia harus segera turun tangan. Alih-alih memberi tekanan lebih, Vita mengajak timnya berkumpul diluar kantor, di sebuah kafe dekat stasiun kereta tua, untuk berbicara lebih santai.
Di sana, Vita membuka percakapan dengan penuh empati. "Saya tahu kalian lelah, dan tekanan ini bukan hal yang mudah. Tetapi saya yakin, jika kita bekerja bersama, kita bisa menghadapinya", ujarnya. Momen tersebut bukan hanya tentang strategi atau target, tetapi tentang memperkuat hubungan dan memberi dukungan moral kepada timnya. Vita sadar dia harus mengalokasikan waktu, pikaran, dan biaya pribadi, namun ia yakin semua itu bakal tergantikan dengan kesuksesan timnya.
Dari situ, Vita terus membimbing timnya dengan memberi mereka ruang untuk berbicara, sambil menjaga agar semua tetap fokus pada tujuan bersama. Dengan pendekatan yang semakin kolaboratif dan terbuka, Vita berhasil membangun tim yang solid, di mana setiap anggota merasa diberdayakan untuk memberikan yang terbaik. Melalui kepemimpinan yang tangguh dan penuh empati, Vita tidak hanya mengubah atmosfer kerja menjadi lebih produktif, tetapi juga membuktikan bahwa seorang manajer yang baik harus mampu membangun visi yang jelas dan memastikan tim berjalan bersama menuju tujuan yang lebih besar.
"Hmmm...Transformational Leadership, sekarang aku baru tahu seperti ini rupanya. Aku bahagia telah mampu memperjuangkannya dalam tim aku", lirih Vita bicara, dengan mata penuh asa memandang selembar foto teman-teman satu timnya.
Baca:Â Pengertian dan dimensi Transformational Leadership
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI