Namun, tantangan terbesar datang saat tim dihadapkan dengan proyek besar yang sangat mendesak dan penuh tekanan. Tenggat waktu yang ketat membuat sebagian anggota tim mulai kehilangan semangat dan motivasi. Vita melihat ketegangan itu dan tahu bahwa dia harus segera turun tangan. Alih-alih memberi tekanan lebih, Vita mengajak timnya berkumpul diluar kantor, di sebuah kafe dekat stasiun kereta tua, untuk berbicara lebih santai.
Di sana, Vita membuka percakapan dengan penuh empati. "Saya tahu kalian lelah, dan tekanan ini bukan hal yang mudah. Tetapi saya yakin, jika kita bekerja bersama, kita bisa menghadapinya", ujarnya. Momen tersebut bukan hanya tentang strategi atau target, tetapi tentang memperkuat hubungan dan memberi dukungan moral kepada timnya. Vita sadar dia harus mengalokasikan waktu, pikaran, dan biaya pribadi, namun ia yakin semua itu bakal tergantikan dengan kesuksesan timnya.
Dari situ, Vita terus membimbing timnya dengan memberi mereka ruang untuk berbicara, sambil menjaga agar semua tetap fokus pada tujuan bersama. Dengan pendekatan yang semakin kolaboratif dan terbuka, Vita berhasil membangun tim yang solid, di mana setiap anggota merasa diberdayakan untuk memberikan yang terbaik. Melalui kepemimpinan yang tangguh dan penuh empati, Vita tidak hanya mengubah atmosfer kerja menjadi lebih produktif, tetapi juga membuktikan bahwa seorang manajer yang baik harus mampu membangun visi yang jelas dan memastikan tim berjalan bersama menuju tujuan yang lebih besar.
"Hmmm...Transformational Leadership, sekarang aku baru tahu seperti ini rupanya. Aku bahagia telah mampu memperjuangkannya dalam tim aku", lirih Vita bicara, dengan mata penuh asa memandang selembar foto teman-teman satu timnya.
Baca:Â Pengertian dan dimensi Transformational Leadership
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI