Mohon tunggu...
Dilano Machiatto
Dilano Machiatto Mohon Tunggu... Menyukai hal-hal yang baru

Iam a teacher, designer and researcher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Intellectual Trap, Ketika Professor Budi Kehilangan "Budi"

5 Mei 2022   00:44 Diperbarui: 5 Mei 2022   00:56 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu netizen dikejutkan oleh postingan Facebook seorang yang katanya "berintelektual tinggi" pimpinan salah satu kampus di Kalimantan. Postingan tersebut mengundang banyak kecaman netizen karena dinilai berbau Rasial dan Xenophobia. Belakang menteri polhukam pun ikut angkat bicara terkait kegaduhan yang diakibatkan oleh oknum rektor tersebut. Menurut prof Mahfud, apa yang ditulis oleh rektor itu sama sekali tidak mencerminkan jabatannya sebagai guru besar di lembaga pendidikan tingkat tinggi.

Adalah Prof. Ir. Budi Santosa Purwokartiko, Phd pemilik akun yang memposting tulisan kontroversial itu. Pria kelahiran Klaten 53 tahun yang lalu tersebut saat ini menjabat sebagai rektor Institut Teknik Kalimantan (ITK) periode 2018-2022 serta tercatat sebagai tim penguji beasiswa LPDP kementrian keuangan. Bukan hanya itu riwayat akademik prof Budi juga tidak main-main, lulus dari ITB tahun 1992 beliau melanjutkan program master dan doktoralnya di Universitas Oklahoma, Amerika Serikat. 

Sekembalinya ke Indonesia ia didapuk menjadi Guru Besar Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dengan bidang keahlian Data Mining, Optimasi dan Metaheuristik, Operations Research, dan Manajemen Proyek.

Selain itu, beliau juga banyak diundang sebagai narasumber dan dosen tamu di berbagai universitas. Aktif sebagai tim penasihat pengurusan akreditasi prodi dan juga pernah menjadi anggota tim evaluasi kinerja perguruan tinggi swasta. Sederet jabatan serta kesibukan beliau menandakan bahwasanya Prof Budi bukanlah orang sembarangan di dunia perguruan tinggi . 

Ia meniti karir akademik sedari nol hingga akhirnya menjadi guru besar. Tahun 2002 menjadi tahun yang gemilang bagi Prof Budi, papernya yang berjudul "Novel Smart Engineering System Design" meraih predikat Best Paper Award pada ajang International Conference on Artificial Neural Networks in Engineering di Missouri, Amerika Serikat.

Melihat rekam jejak akademis prof Budi kita dapat menyimpulkan bahwa beliau merupakan intelektual yang seharusnya bisa menjadi aset bangsa. Namun sungguh sangat disayangkan, rangkaian kalimat yang beliau tulis di akun facebooknya 27 April lalu meruntuhkan image yang ia bangun selama ini. Meskipun tulisan tersebut kini telah ia hapus, dan bahkan akun Facebook miliknya pun ia telah tutup namun masyarakat sudah terlanjur tersakiti oleh kalimat-kalimat yang diketik oleh jari-jari beliau. Tak sedikit pula dari netizen yang ingin agar kasus ini diangkat ke ranah hukum.

sumber; facebook.com
sumber; facebook.com

Petaka itu sebenarnya tidak serta merta bermula dari postingan beliau tentang "manusia gurun" beberapa waktu lalu. Namun, pria yang mengagumi Ade Armando dan Deni Siregar ini diketahui sering mengeluarkan statemen-statemen yang menyindir kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Seorang intelektual yang seharusnya bisa lebih bijak menyikapi polarisasi yang terjadi di dunia maya ternyata malah terjerumus menjadi pelakunya. 

Tak hanya itu, jejak digital juga merekam bahwa beliau pernah berkomentar tentang kitab suci (Al-Qur'an) yang menurutnya hanya berisi dongeng zaman dahulu sehingga ia lebih tertarik dengan buku-buku sains. Padahal Alquran bukanlah kitab dongeng, juga bukan kitab sains. Lebih dari itu, kitab suci Al-Qur'an mencakup semua hal yang kita butuhkan dalam mengelola dunia ini. 

Bahkan seorang ilmuwan asal Perancis, Maurice Bucaille dalam karyanya "La Bible Le Corant Et La Science" membuktikan bahwa fenomena-fenomena sains yang terjadi abad ini ternyata sudah tertulis di Al-Qur'an sejak 14 abad silam. Mempertentangkan Al-Qur'an dengan sains jelas membuktikan bahwa bacaan Prof Budi tentang Islam masih sangat minim.

sumber; twitter.com
sumber; twitter.com

Nampaknya tulisan kontroversial prof Budi pada status FBnya beberapa waktu lalu berangkat dari premis di atas. Premis yang mempertentangkan antara agama dengan sains. Bahwa orang yang sering mengucapkan kalimat-kalimat InsyaAllah, Barakallah, Syiar dan Qodarullah dan sebagainya serta orang yang menutup kepalanya seperti manusia gurun (baca; berjilbab) merupakan ciri orang yang tidak open minded terhadap perkembangan zaman dan sains. 

Jelas sekali anggapan tersebut cacat logika, dan sangat aneh jika statemen tersebut keluar dari guru besar ilmu teknik yang seharusnya berfikir logis. Kenyataan saat ini membuktikan bahwa tidak ada kaitannya antara kecenderungan seseorang untuk mengikuti ajaran agama (menutup aurat) dengan menurunnya prestasi dia.

Penulis melihat apa yang terjadi pada Prof Budi merupakan fenomena "Intellectual Trap" atau jebakan intelektual. Dimana seseorang yang merasa berada dipuncak "kepintarannya" tergelincir jatuh dan melakukan hal-hal yang "bodoh". 

David Robson dalam bukunya "Intellegence Trap; Why Smart People Make Stupid Mistakes..." menceritakan bahwa awalnya ia mengira semakin pintar seseorang secara akademis maka semakin ia bisa berfikir dengan baik. Namun, semenjak menjadi jurnalis sains, pakar psikologi dan ahli neurosains ia berpendapat, " I noticed the latest research was revealing some serious problems with these assumptions. Not only do general intelligence and academic education fail to protect us from various cognitive errors; smart people may be even more vulnerable to certain kinds of foolish thinking." Pada intinya, makin pintar seseorang ternyata semakin mungkin ia terjatuh pada kesalahan-kesalahan yang bodoh.

Sumber; Doc pribadi
Sumber; Doc pribadi

Kesalahan-kesalahan yang dimaksud oleh David Robson bukanlah kesalahan yang dilakukan tanpa sadar atau sengaja. Namun kesalahan yang diciptakan oleh konstruksi berfikir yang salah, utamanya karna tidak bisa memilah dan memilih informasi yang berseliweran di era post truth seperti saat ini. Dari postingan-postingan yang pernah ditulis oleh Prof Budi dapat dipastikan beliau merupakan "korban" dari polarisasi cebong-kadrun yang terjadi di media sosial. 

Hal tersebut dibuktikan dari pilihan kata "manusia gurun" yang ia pakai untuk menggambarkan manusia yang tidak menerima perkembangan zaman. Senada dengan sebutan "Kadal Gurun" yang dilontarkan oleh para buzzer saat menggambarkan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah yang dinilainya kolot, jumud dan tidak menghargai perbedaan.

Intellectual Trap, menurut David Robson tidak hanya membuat para kaum intelektual tersebut tergelincir melakukan hal-hal bodoh saja, namun juga berusaha untuk menjustifikasi kesalahan tersebut dengan argumentasi-argumentasi yang justru membuat mereka semakin terlihat bodoh. 

"Intelligent and educated people are less likely to learn from their mistakes, for  instance, or take advice from others. And when they do err, they are better able to build elaborate arguments to justify their reasoning, meaning that they become  more and more dogmatic in their views. Worse still, they appear to have a bigger  'bias blind spot', meaning they are less able to recognise the holes in their logic." 

Hal ini juga terjadi pada Prof Budi pada saat dimintai klarifikasinya oleh salah satu media online lokal di Kalimantan Timur. Alih-alih mengakui kesalahannya, beliau malah justru berkelit dengan alasan yang tidak logis, berikut cuplikannya;

Media;
Bapak ada menyebut tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Pernyataan ini dinilai banyak pihak sebagai rasis dan xenopohbia, kebencian golongan tertentu. Bagaimana penjelasan bapak? 

Prof Budi;
"Ya itu tidak ada kebencian. Saya sebut manusia gurun karena kalau di gurun harus menutup badan ya, biar tidak kena panas, angin, debu, pasir. Manusia gurun kan tidak identik dengan suku atau agama tertentu. Jadi tidak ada maksud merendahkan agama atau suku tertentu. Orang Jawa banyak yang baik. Cina juga. Arab juga."

Padahal, tidak perlu menjadi sarjana jika hanya ingin mengetahui bahwa maksud dari "manusia gurun" yang ditulis oleh Prof Budi adalah kaum muslimah yang berhijab. Kenapa? Karna pada kalimat-kalimat sebelumnya jelas beliau menyindir kelompok yang sering menggunakan kata-kata langit, Insyallah, barakallah, Qodarullah dan lain-lain. Hal ini nampaknya berkaitan dengan isu yang sempat viral Februari lalu, yaitu isu bahwasanya beasiswa LPDP dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa tarbiyah yang berjilbab lebar. Walaupun belakang anggapan tersebut tidak berdasar dan tidak dapat dibuktikan secara valid.

Di akhir klarifikasinya beliau menegaskan bahwasanya dia juga seorang muslim dan memiliki putri yang berkerudung, jadi tidak mungkin beliau bermaksud merendahkan wanita yang berhijab melalui tulisan tersebut. Menurut penulis, yang demikian hanyalah kalimat pembelaan beliau saja. Jika beliau benar-benar seorang muslim yang paham agamanya, pasti mengetahui keutamaan adab. Setinggi apapun ilmu beliau, tanpa adab hal itu tidak akan berharga sama sekali baik disisi Allah maupun di mata manusia yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam Islam adab lebih diutamakan dibandingkan ilmu.

Namun adab seorang intelektual kadang terhalang oleh kesombongannya sendiri.  Sombong akan ilmu atau posisi yang dimilikinya. Inilah intellectual Trap berikutnya yaitu sifat takabbur. Indikasi tersebut tergambar pada kalimat prof Budi ketika merendahkan orang-orang yang sering melafalkan kata-kata langit sebagai kaum yang close minded. Benar kata Rasulullah saat ditanya oleh sahabat tentang definisi takabbur, yaitu "Bathorul Haq wa Ghomtunnas.." artinya menolak kebenaran dan merendahkan manusia lainnya. 

Dari kasus Prof Budi ini seharusnya kita bisa mengambil banyak pelajaran, khususnya bagi para penuntut ilmu. Yakni, bahwasanya semakin banyak pengetahuan yang kita kuasai seharusnya membuat kita semakin takut kepada Allah. Semakin tinggi titel atau gelar yang tersemat maka semakin kita merasa rendah di hadapan Allah 'Azza Wajalla. Karna jika hanya mengandalkan ilmu, tentu Iblis lah yang paling berilmu karna ia tercipta lebih awal dibanding manusia. Namun karna ketiadaan adabnya (sombongnya) di hadapan Allah, membuat Iblis tergelincir kedalam kehinaan yang abadi. Ilmu yang ia milikipun tidak dapat menolongnya. Wallahu'alam

Kurniadi Sudrajat
(Guru SD/Anggota Bid Pendidikan dan Pelatihan RPI)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun