Beberapa tahun lalu, sempat mencuat pemberitaan mengenai "jembatan Indiana Jones" di Lebak, Banten. Kisah singkatnya, jembatan yang menghubungkan dua kecamatan tersebut, mengalami kerusakan.Â
Untuk menuju sekolah anak-anak mesti bertaruh nyawa, dengan mengandalkan sisa-sisa tali kawat jembatan agar bisa menyeberang. Kalau tidak, mereka harus menempuh jalur alternatif yang berkilo-kilo meter jauhnya, sementara tidak ada angkutan umum di lokasi tersebut.Â
Jadi mereka memilih untuk bergelantungan seperti itu setiap hari. Sampai akhirnya pemerintah membangun jembatan yang benar-benar layak. Terima kasih untuk media dan netizen yang mampu membuat pemerintah "tergerak".
Di sejumlah tempat di tanah air, kita sering mendengar berita mengenai jembatan penghubung dua desa yang mengalami kerusakan dan akhirnya terputus karena tergerus aliran sungai dan arus banjir. Dan kerusakan tentu tak seketika bisa diperbaiki, jembatan tak seketika bisa dibangun. Banyak warga yang masih menanti dan berharap semoga perbaikan jembatan mereka bisa segera memperoleh anggaran.
Dalam minggu ini, saya membaca berita yang cukup mengejutkan. Warga dua kampung di Jakarta, menginginkan agar jembatan yang menghubungkan kampung mereka diputus. Apa penyebabnya? Karena seringnya terjadi tawuran antar kampung melewati jembatan tersebut. Bawa senjata tajam pula. Opo tumon? Warga yang tawuran, jembatan yang jadi korban.
Seandainya para siswa "alumni" dari "jembatan Indiana Jones", dan para warga desa yang masih berharap cemas jembatan mereka segera diperbaiki, mendengar kabar jembatan yang hendak diputus tersebut, tentu mereka tak habis pikir. "Kami bertahun-tahun merindukan jembatan. Sementara kalian sudah dikasih jembatan malah hendak meruntuhkannya", begitu mungkin pikir mereka.
Konflik bisa terjadi karena perbedaan. Perbedaan etnis, agama, ras, dan juga tingkat ekonomi. Tapi konflik juga bisa terjadi karena persamaan. Sama-sama mengalami kesulitan ekonomi. Sama-sama banyak waktu menganggur. Sama-sama kurang aktivitas positif. Sama-sama ingin melampiaskan kesumpekan hidup. Sama-sama susah tapi tidak sama-sama senang.
Semoga saja bisa diperoleh solusi terbaik, ketimbang membongkar jembatan. Kalau dari besi mending masih bisa dirosok, kalau dari beton dan semen, hanya jadi puing. Puing kegagalan untuk merawat kerukunan.
Apakah setelah jembatan dirobohkan nantinya konflik akan benar-benar berhenti? Atau hanya berubah dari tawuran fisik menjadi "latihan melempar", dari batu, paving block, hingga petasan?
Tak sampai seratus meter dari jembatan yang hendak dibongkar ini, ada jembatan lainnya. Apakah para peserta tawuran hanya akan sekedar berpindah jalan, dan tawuran masih berlanjut?
Para pimpinan MPR, pimpinan DPR, pimpinan DPD, anggota Wantimpres, pengelola BPIP, tengoklah ke jembatan ini. Telusurilah, susurilah, apakah benar ini adalah potret dari bangsa ini sekarang?