Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Pengajar Kimia

Seorang suka ngajarin kimia, demen nulis , plus hobi bikin konten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bergerak Menuju Matahari Pagi

5 Januari 2020   09:48 Diperbarui: 5 Januari 2020   09:56 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah pagi. Matahari masih malu-malu menampakkam diri. Selepas sholat shubuh aku keluar dari rumah. Pagi ini seperti biasa aku memilih berolah raga. Kemarin sih aku memilih berlari-lari kecil hari ini kakiku sedikit pegal jadi kuganti saja lah sepertinya.

Udara masih segar. Beberapa orang yang berpapasan denganku banyak yang menatap tak biasa. Kalau saja tidak kuajak senyum mereka pasti terus menatap tak berkedip sepertinya. Tapi tak ada yang tak membalas senyumanku. Apa mungkin masih manis seperti yang dulu?

Entah berapa meter sudah kulewati. Gerakannku tak bisa cepat. Beberapa orang ada juga yang menyapaku,sayangnya aku lupa mereka itu siapa. Padahal aku tak lupa memakai kacamata. Tapi tetap saja tak bisa mengingat namanya. Kalau santai aku berhenti dulu untuk menyalaminya.

Sepertinya aku akan tiba di pasar yang kutuju. Persediaan sayuran di kulkas sudah menipis nyaris seminggu sekali aku pasti berbelanja ke pasar.

Semua pedagang sudah kenal denganku. Bangga juga bisa terkenal meskipun cuma di pasar. Tanpa sempat meminta biasanya mereka sudah langsung memberikan sayuran yang aku minta.

Aku tak pernah menawar harga. Menurutku tega sekali meminta potongan harga hingga setengah seperti emak-emak yang lain. Iya kalau dagangan mereka habis, kalau sisa kasihan kan untung mereka tak seberapa. 

Bukan berarti aku banyak uang tapi membeli dengan harga yang mereka minta bagiku amalan. Malah terkadang mereka memberi lebih belanjaanku. Meskipun ditolak mereka sering memaksa.

Siang ini aku mau memasak pepes tahu saja. Pepes tahu kesukaan suamiku. Semalam waktu ku tawarkan dia mengangguk setuju. Ah, rasanya jadi ingin mengajaknya lagi.

Dulu kalau ke pasar aku biasa pergi bersama suamiku. Sambil jalan-jalan berpegangan tangan layaknya orang pacaran. Aku memang manja sekali padanya. Meskipun tak lajim dilihat aku biasa gelendotan. Kadang-kadang minta digendong saat pulang.

Sayangnya suamiku kini tak bisa ke mana-mana dan tak  berdaya  karena penyakitnya, sehingga tahun-tahun belakangan ini dia hanya diam di rumah. Penyakit gula mengakibatkan penglihatannya hilang.

Maka selain tak ku tak bisa jalan berdua, kalau aku pergi maka tak bisa lama-lama karena kasihan meninggalkannya sendirian. Kalau makan minum sih gampang asal disediakan yang repot kalau ke kamar mandi perlu ada orang yang menuntunnya berjalan.

Jika aku pergi begini maka suamiku kutinggalkan saja di rumah. Bukan jahat, memang dia yang minta katanya kalau di dalam terasa pengap lebih baik menghirup udara di luar.

Selesai juga semua acara belanja. Semua sayuran sudah masuk kantong belanjaan. Segera saja kubalik kanan untuk pulang. Setelah pamit sana sini aku pun melesat pulang. Kembali kakiku lincah di atas sesuatu yang kupijak. Sebelah kaki mengambil awahan agar bisa bergerak maju sesuai harapan.

"Dadah Neneeek! Hati-hati dijalan!" Sebuah teriakan dari Odon, tukang daging ayam melepasku pulang.

Aku tertawa terkekeh-kekeh menghadapi godaan mereka para tukang dagang di pasar yang sepertinya banyak seusia anakku yang sekarang entah berada di mana, dan aku tak tahu masih ingat atau tidak masih memiliki aku, ibunya yang sudah berusia 75 tahun. Aku tak tahu juga apakah mereka kangen pada suamiku, ayahnya yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua dariku.

Ah sudahlah tak perlu kupikirkan lebih dalam. Toh kebahagiaan orang tua jika melihat anaknya bahagia. Anggaplah mereka semua tengaj berbahagia. Nikmati saja kesahatan dan cinta yang kupunya.

Setelah mengatur nafas tuaku, Aku pun lalu bergerak di atas skate board yang kubeli dari tukang loak 5 tahun yang lalu dengan riang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun