Mohon tunggu...
Lamria F. Manalu
Lamria F. Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Hukum

Berbagi Informasi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Anak Melalui Revisi UU Perkawinan

8 November 2019   22:38 Diperbarui: 8 November 2019   22:57 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lampost.co

 Apakah Anda sudah membaca revisi UU Perkawinan yang telah disahkan? Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2019 lalu itu memiliki latar belakang serta tujuan penting, khususnya terkait perlindungan anak. Mari, kita tilik lebih jauh.

Definisi Anak 

Jika kita membaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), maka kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud anak adalah belum berumur 18 (delapan belas tahun). Kemudian, bila kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.

Hal ini senada dengan Convention on The Rights of The Child yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1999 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Children (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Hak Anak

Pembahasan tentang hak anak tak bisa terlepas dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak anak merupakan salah satu hak dasar yang diatur dalam Bagian Kesepuluh, yaitu Pasal 52-66. Pada Pasal 57 ayat (1) dikatakan bahwa setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perlindungan Anak

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dalam UU Perlindungan Anak dikatakan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam UU Perlindungan Anak juga dinyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun tujuan perlindungan anak adalah untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Karena itu, perlindungan anak adalah hal penting yang membutuhkan perhatian serius. Tidak cukup hanya dengan regulasi, melainkan juga membutuhkan campur tangan sebuah lembaga yang dalam hal ini adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI adalah lembaga yang bertugas secara khusus untuk mengawasi perlindungan anak di Indonesia. Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU Perlindungan Anak, melalui Keppres Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/. Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, yaitu: "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi."

Selanjutnya, dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk UU untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap UU  RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perlindungan Anak Melalui Revisi UU Perkawinan

Presiden telah menugaskan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Hukum dan HAM melalui Surat Presiden bernomor R-39/Pres/09/2019 untuk membahas perubahan UU Perkawinan.

Revisi UU hanya berfokus pada Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini tidak sesuai dengan definisi anak menurut UU Perlindungan Anak.

Pembedaan batas usia antara pria dan wanita dalam UU ini merupakan diskriminasi bila dilihat dari Pasal 28B UUD 1945 Ayat (1) dan (2). Karena itu, melalui revisi UU Perkawinan, batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur pria, yaitu 19 tahun.

Upaya menaikkan batas umur minimal perkawinan bagi wanita melalui revisi UU Perkawinan ini bukanlah tanpa alasan. Seorang wanita yang dari segi usia masih tergolong anak, dianggap belum matang secara jiwa dan raga untuk melakukan perkawinan dan dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik serta menghindari perceraian. Dengan menaikkan batas umur minimal bagi wanita, laju kelahiran juga akan rendah sehingga mengurangi angka kematian ibu dan anak.

Intinya, setiap anak (pria atau wanita) memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Hal ini harus sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Dapat kita simpulkan, pengesahan revisi UU Perkawinan merupakan langkah penting dalam upaya perlindungan anak di Indonesia, terutama untuk mencegah perkawinan anak. Alasannya adalah, perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak.

***

Sumber: 

1. SATU

2. DUA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun