Mei 2022 lalu, aktivis lingkungan Muslim dari seluruh Indonesia berkumpul di Jawa Timur untuk kongres nasional ketiga organisasi eko-sosialis Islam FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, atau Front Islam untuk Kedaulatan Sumber Daya Rakyat). Delegasi dari enam belas cabang regional kelompok berkumpul untuk berkonsultasi tentang strategi untuk kampanye pengorganisasian dan advokasi lokal seputar perlawanan ketidakadilan lingkungan yang disebabkan oleh apa yang mereka identifikasi sebagai 'ekspansi kapitalis'.
Orientasi ideologis FNKSDA sering memunculkan pertanyaan tentang apa artinya menjadi Muslim dan sosialis. Kelompok ini dibangun di atas dan berkontribusi pada tradisi pemikiran Islam Kiri berusia seabad di Indonesia, tetapi silsilah campuran ini masih mengumpulkan keraguan dan kritik yang meluas, terutama dari mereka yang melihat Islam dan Kiri sebagai dua tradisi yang secara fundamental tidak kompatibel. Gesekan ini diwarnai dengan cara yang tidak kecil oleh warisan pembunuhan massal anti-komunis Indonesia pada tahun 1965-66 dan tiga dekade berikutnya di bawah kediktatoran yang didukung AS.
Tetapi bagi aktivis FNKSDA, pengorganisasian anti-kapitalis dianggap sebagai upaya yang diperlukan untuk meneruskan nilai-nilai Islam dan melindungi cara hidup religius yang mereka lihat terancam oleh kekerasan dan kehancuran yang ditimbulkan oleh ekspansi kapitalis yang sedang berlangsung. Dalam konteks ini, aktivisme sosialis menjadi praktik Islam yang saleh.
Kapitalisme Ekstraktif sebagai Masalah Islam
Kongres nasional FNKSDA yang saat itu diselenggarakan di sebuah sekolah asrama Islam di Puger, sebuah kota nelayan di pantai selatan Jawa Timur dan situs advokasi kelompok kala itu. Endapan batu kapur yang besar di daerah itu telah membawa penambangan semi-legal, pabrik semen, polusi, dan konflik berulang antara perusahaan-perusahaan ini dan komunitas lokal. Di Puger dan tempat lain, FNKSDA telah aktif dalam mendukung perjuangan lokal melawan kerusakan lingkungan di tangan ekstraksi, produksi, dan pengembangan kapitalis.
Sebagian besar cabang FNKSDA regional terlibat dalam setidaknya satu perjuangan serupa di wilayah mereka. Cabang-cabang di Jawa Tengah juga dulu sangat aktif dalam kasus-kasus besar di desa Wadas. Di sana, polisi telah meneror penduduk desa dalam upaya untuk mengusir mereka secara paksa, memberi jalan bagi tambang yang direncanakan untuk mendapatkan batu yang dibutuhkan untuk membangun bendungan di dekatnya. Perlawanan penduduk desa, didukung oleh FNKSDA dan kelompok advokasi lainnya, telah mengumpulkan perhatian media nasional dan kampanye media sosial skala besar (#WadasMelawan) yang menyatakan solidaritas dengan penduduk desa.
Bagi aktivis FNKSDA, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek-proyek dan industri ini berjalan seiring dengan proses akumulasi modal dan proletarisasi. Di Wadas, penduduk desa yang akan diusir dari tanah leluhur mereka ditawari kompensasi finansial untuk membeli tempat tinggal baru di luar lokasi proyek bersama dengan janji pekerjaan di tambang---mendorong mereka ke dalam apa yang disebut Karl Marx sebagai 'tentara cadangan tenaga kerja'.
Aktivis FNKSDA juga menekankan kerugian spiritual yang melekat dalam proses mengubah petani mandiri menjadi pekerja upah industri potensial, karena praktik Islam yang terkait erat dengan tanah dan mata pencaharian pertanian mereka menghilang secara tiba-tiba. Misalnya, upacara tahunan Nyadran yang dipraktikkan di banyak desa Jawa tengah sebelum bulan Ramadhan umumnya melibatkan pemeliharaan kuburan pendiri desa leluhur dan mengucapkan terima kasih atas hasil panen tahun ini (atau di daerah pesisir, tangkapan). Peristiwa ini juga sering disebut sebagai 'sedekah bumi'. Ketika pertanian dan hutan dihancurkan untuk diubah menjadi tambang, para aktivis menekankan bahwa tradisi ini akan segera mengikuti jejak pertanian dan perhutanan yang juga menghilang.
Eko-sosialisme dan Islam Sebagai Pergerakan Akar RumputÂ
FNKSDA dibentuk pada tahun 2013 oleh aktivis lingkungan Muslim yang kecewa dengan sikap permisif terhadap industri ekstraktif dan pencemar yang ditunjukkan oleh kelompok Islam arus utama, khususnya Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Para pendiri FNKSDA, meskipun berafiliasi dengan NU, menyatakan kekecewaan atas kegagalan kepemimpinannya untuk mengadvokasi atas nama konstituennya, yang sebagian besar terdiri dari komunitas pedesaan yang paling terpengaruh oleh pertumbuhan industri yang merusak. Para elit NU malah sebagian besar mengikuti garis Presiden Joko Widodo, yang telah menjadikan proyek pengembangan infrastruktur (dan industri ekstraktif bersamaan mereka) sebagai agenda utama kepresidenannya.
Bagi FNKSDA, perjuangan kontemporer melawan kapitalisme dan perusakan lingkungan sangat cocok dengan tradisi aksi politik Islam Indonesia. Segera setelah berdirinya kelompok tersebut pada tahun 2013, mereka mengeluarkan pernyataan berjudul 'Resolusi Jihad II' yang menyerukan umat Islam dan kepemimpinan NU untuk bergabung dalam perjuangan melawan 'kapitalisme ekstraktif'. Melalui pernyataan ini, FNKSDA mengambil mantel perjuangan revolusioner Islam yang dipelopori oleh pendiri NU, Hasyim Asy'ari, yang pada tahun 1945 mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai 'Resolusi Jihad', menyerukan perjuangan bersenjata populer untuk melestarikan Republik Indonesia yang masih muda dalam menghadapi agresi kolonial Belanda.