Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak-anak Sampan Pun Pewaris Sah Negeri Ini

3 April 2020   19:31 Diperbarui: 6 April 2020   06:00 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tetap belajar. Sumber: Yayasan Kajang.

Mata yang jernih dan tajam.
Mata yang jernih dan tajam.
Perkenalan Bunda Densy dengan masyarakat Orang Suku Laut pun sebenarnya belum lama. Baru dimulai sejak enam tahun lalu, yakni di tahun 2014. Pada saat itu ia kebetulan ditempatkan di Pulau Pena'ah sebagai seorang guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Saat ia sedang mengajar anak-anak kecil warga desa, setiap pagi Bunda Densy selalu mendengar keriuhan di luar. Suara ramai itu ternyata berasal dari tepi pantai. Di sana ia mengamati, setiap pagi selalu ada sampan berderet-deret dengan anak-anak kecil bermain-main di atasnya. Sebagian anak-anak itu tampak membantu orangtuanya menjual ikan.

Karena usia anak-anak itu adalah usia sekolah, Bunda Densy tak bisa menahan keheranannya. Ia bertanya pada Pak Kades (Kepala Desa) Pena'ah, "Mengapa anak-anak kecil itu tak sekolah?"

"Oh... karena mereka anak-anak Orang Suku Laut," jawab Pak Kades singkat.

Jawaban itu membuatnya semakin bingung.

"Memangnya kenapa kalau mereka anak-anak Orang Suku Laut? Apakah itu membuat mereka tak berhak sekolah?"

Wajah anak Suku Laut.
Wajah anak Suku Laut.
Tak ada jawaban yang dapat memuaskan hatinya saat itu, tetapi itulah pertama kalinya Sang Semesta memperkenalkannya pada Orang Suku Laut. Tak pernah terbayang di benaknya bahwa di kemudian hari hidupnya akan terlibat begitu erat dengan masyarakat Orang Suku Laut.

Setelah Bunda Densy tahu bahwa anak-anak Suku Laut itu berada di bawah wilayah sang kepala desa, maka ia pun mencoba mendesak Pak Kades, "Pak, saya ingin anak-anak kecil itu juga bisa bersekolah di sini. Mereka kan termasuk warga Bapak."

Pak Kades tampak terkejut. Ia tak bisa memutuskan begitu saja.

"Coba Ibu rundingkan dulu dengan para wali murid lainnya, apakah mereka bersedia anak Orang Suku Laut ikut bersekolah di sini."

Perundingan dengan para wali murid ternyata berjalan alot. Sebagian besar berkeberatan anak-anak mereka bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Orang Suku Laut. Alasan-alasan yang diajukan pun tak masuk akal, seperti: penampilan fisik Orang Suku Laut yang berkulit hitam itu tak sepadan dengan mereka, kebiasaan Orang Suku Laut yang jarang mandi membuat bau amis ikan melekat di tubuhnya, atau Orang Suku Laut itu secara alami masih kental dengan mistis dan mejik yang menakutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun