Mohon tunggu...
Zuyyina Laksita
Zuyyina Laksita Mohon Tunggu... Penulis

Menulis cerita fiksi, puisi, artikel, dan jurnal.

Selanjutnya

Tutup

Book

Menyapa Luka Lama: Refleksi Diri Melalui "Understanding Your Inner Child"

9 Juni 2025   17:15 Diperbarui: 9 Juni 2025   17:46 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku 'Understanding Your Inner Child' (Doc Pribadi)

Suatu sore, tanpa tujuan jelas, saya menyusuri rak-rak buku di Pasar Literasi Teras Kota BSD. Di antara deretan buku self-improvement, tiga judul menarik perhatian saya: The Art of Stoicism, Letting Go, Letting Grow, dan Understanding Your Inner Child karya Aba Mehmed Aga. Rupanya, tanpa sadar, saya sedang mencari jalan pulang kepada diri sendiri.

Dari ketiga buku tersebut, Understanding Your Inner Child terasa paling personal, bahkan intim. Buku ini seperti cermin yang jernih, memantulkan luka-luka lama yang selama ini saya sangkal keberadaannya. Aba Mehmed Aga menulis dengan pendekatan yang lembut tapi penuh kedalaman, seperti seorang terapis yang tidak menghakimi, hanya menemani.

Pada awalnya, saya ragu. Inner child? Bukankah itu hanya istilah psikologi populer yang sering didramatisir? Saya merasa tidak punya "masalah besar": tidak depresi, tidak mengalami trauma besar, hidup baik-baik saja. Tapi begitu saya membaca bab demi bab, mengenal apa itu inner child, bagaimana cara terhubung dengannya, apa yang sebenarnya ia rasakan dan butuhkan dan saya mulai sadar bahwa saya tidak sepenuhnya baik-baik saja. Saya hanya tidak pernah benar-benar menyelami masa lalu saya.

Salah satu momen paling emosional terjadi saat saya diminta untuk mengingat kembali masa kecil saya. Tanpa sadar, saya kembali ke masa TK, tepatnya masa di mana saya merasa tidak punya teman, tersingkir, dan tidak dipahami. Saya bahkan tidak menyangka bisa menangis hanya karena membaca buku. Tapi itulah kekuatan buku ini: ia tidak menggurui, tapi membimbing. Ia tidak menyuruh kita 'sembuh', tapi mengajak kita menyelami luka dengan keberanian.

Saya teringat bagaimana dulu orang tua saya sering bingung kenapa saya sulit berteman, padahal saya cerdas dan tak memiliki kekurangan fisik. Mereka mengira saya hanya kurang berusaha, sementara saya merasa sudah mencoba segalanya. Namun, tak ada yang mengerti perasaan terasing itu. Hingga akhirnya, saya pun belajar membungkamnya: melupakan, menganggapnya sepele. Dan sekarang saya sadar, yang saya lakukan selama ini hanyalah mengubur luka itu, bukan menyembuhkannya.

Buku ini menunjukkan bahwa inner child bukan sekadar konsep, tapi bagian dari diri kita yang terus hidup. Aba Mehmed Aga mengajak kita untuk menyapa dan merawat anak kecil di dalam diri kita. Dengan cara-cara yang sederhana seperti mendengarkan lagu masa kecil, bermain permainan anak-anak, menonton film yang dulu kita sukai, hingga mandi hujan. Kita bisa perlahan membangun koneksi kembali. Dan yang paling menyentuh: kita bisa minta maaf pada diri kecil itu, berterima kasih padanya, dan berjanji untuk menjaganya.

Kalimat yang paling membekas bagi saya: "Inner child tidak mencari pembenaran, ia hanya ingin dipahami." Dan memang, saat saya mulai berbicara dengan diri kecil saya, bukan dengan penilaian, tapi dengan kasih sayang, rasanya seperti pelukan yang tertunda selama puluhan tahun akhirnya diberikan.

Buku ini bukan hanya memberikan informasi, tapi juga pengalaman emosional. Ia membuka ruang refleksi, sekaligus menawarkan cara-cara praktis untuk terhubung dan menyembuhkan. Dan kabar baiknya: kita semua bisa melakukannya. Karena bagaimanapun bentuk masa lalu kita, kita tetap berhak untuk memeluk dan memaafkan diri sendiri.

Understanding Your Inner Child bukan sekadar buku psikologi yang isinya hanya penjelasan deskriptif saja. Buku ini bukan hanya memberikan wawasan, tetapi juga pengalaman emosional yang mendalam. Ia mengajak saya untuk merenung, merasakan, dan akhirnya menyembuhkan luka-luka lama yang selama ini tersembunyi. Dan yang terpenting, buku ini mengingatkan saya bahwa saya berhak untuk bahagia, berhak untuk mencintai diri sendiri, dan berhak untuk menyembuhkan diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun