Mohon tunggu...
Laila Safira
Laila Safira Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Sukses Dunia Akhirat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisakah Pesantren Mempertahankan Sifatnya yang Tradisional namun Tetap Modern?

9 Maret 2020   08:25 Diperbarui: 9 Maret 2020   09:22 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kesantaian mereka di TPS menunjukkan bahwa diantara sesama pemilih tidak perlu ada konflik ataupun beban politik,meskipun calon legislatif yang akan mereka pilih berbeda,selain kesadaran untuk aktif memberikan suaranya sangat kuat, rakyat pedesaan sebagai pemilih terbanyak juga tampak sangat cerdas. Hasil penghitungan suara KPU menunjukkan bahwa sekitar 90% rakyat pedesaan memilih hanya 9 partai politik yang dibolehkan untuk mempunyai wakil DPR di pusat

Selain itu,ada pula pandangan pesantren tentang kedudukan perempuan,penggambaran situasi kehidupan perempuan saat ini memang tidak sekelam pada masa masa lampau yang jauh,suatu periode masa ketika kehidupan secara hampir sempurna dibawah dominasi kaum laki-laki dan keberadaan nya tidak lebih dari fungsi pelengkap di semua sektor kehidupan yang dikuasai laki-laki.

Islam,sebagai sistem ajaran dan salah satu agama yang dianut sebagian besar penduduk dunia,tidak terkecuali dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan kritis yang berada gugatan terhadap pandangan konserfatif agama tentang perempuan yang terlanjur dipahami secara taken for granted sebagai kebenaran wahyu yang bersifat final.

Asumsi teologis jender ini membuat implikasi yang sangat serius pada sikap-sikap berikutnya. Secara umum teks yang bersinggungan dengan eksistensi perempuan. 

Pemahaman dan praktik keagamaan yang mempunyai basic untuk kemajuan jender tentang dunia perempuan mengandung elemen-elemen diskriminatif,termasuk diskrimanatif terhadap perempuan,harus di pandang sebagai produkpemikiran, dengan tidak mengabaikan segi positif nya sebagai kontributor khazanah pemikiran yang pernah ada yang dipengaruhi konteks budaya patriarkis yang mengitarinya dan bukan merupakan ajaran agama dalam pengertian yang di kehendaki sang pencipta.

Pemberdayaan perempuan di lingkungan pesantren pada umumnya,terkait dengan kesadaran "Minimum" mereka bahwa perempuan, seperti juga laki-laki mempunyai hak untuk maju dan berkembang. Contoh paling umum yang bisa dijumpai adalah bahwa sebagian besar kalau tidak semua pesantren terdapat santri perempuan yang seperti santri laki-laki,diberikan akses untuk mengikuti berbagai kegiatan tambahan bagi aktualisasi diri mereka berbagai kegiatan pelatihan seperti: kepsramukaan, kepemimpinan,pidato,dan sebagainya. Lebih dari itu,para pengasuh pesantren juga memberikan dorongan kepada santri perempuan agar kelak dapat tampil sebagai pemimpin masyarakat di lingkungan sosialnya masing-masing.


Kesadaran minimum seperti di kemukakan diatas juga tercermin pada wawancara yang dilakukan terhadap semua pengasuh,fungsionaris atau kiai pesantren yang menjadi sampel penelitian ini. Tingkat kesadaran antar pesantren yang berbeda dan kuatnya belenggu patriarkal syari'at islam membuat rendahnya partisipasi atas perempuan. Meskipun Muhammadiyah dan NU memberi peran khusus perempuan dalam Aisyiah dan Fatayat NU bagi masing-masing organisasi. 

Di pesantren berperan penting sebagai ustadzah(guru ngaji TPQ),juga memilikiperan lebih khusus di pondok putri. Pemisahan yang tegas antara pondok putra dan pondok putri menjadi pembagian pelajaran santri,sebagai pengetahuan mereka,ketika terjadi kekerasan,perempuan lebih banyak menjadi korban konflik di keluarga maupun masyarakat.

Kompilasi Hukum Islam(KHI),landasan hukum keluarga masih jauh dari pemihakan terhadap perempuan,perempuan juga menjadi korban ketika terjadi pembiaran negara atas konflik-konflik dan kekerasan sosial. 

Pesantren juga menjadi kultur kultur damai,bangsa yang ramah,menjunjung tinggi harmoni dan toleransi,itulah nulukan bangsa kita,kalau kita bandingkan dengan malaysia,Islam disana justru tampak lebih sejuk,dan sangatlah ramah. 

Pemerintahan negeri jiran itu bersikap tegas terhadap segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Konflik kepentingan pun tidaklah mengeras menjadi politisasi islam di tengah masyarakat. Dan, publik Malaysia sadar tidak mentolerir segenap aneka kekerasan atas nama agama, sehingga tidak muncul kelompok-kelompok islam tertentu yang membenarkan dirinya melakukan aksi pengrusakan dan main hakim sendiri terhadap orang lain. Jadi jangan heran,kalau sebagian mereka pindah ke indonesia menyebarkan teror dan benih --benih kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun