Mohon tunggu...
Laela Sofrotun Nida
Laela Sofrotun Nida Mohon Tunggu... Guru - Santri Nurul Furqon - Mahasiswa Universitas Brawijaya

Hanya sekedar berbagi. Semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Gusku, Tambatan Hatiku

7 Juni 2020   22:48 Diperbarui: 7 Juni 2020   23:17 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar ujaran itu, aku mencoba tenang seraya kusunggingkan senyum tipis padanya. Tak ingin jika api dibalas pula dengan api, yang ada malah jadi kebakaran. Ku abaikan saja tak perlu dibawa ke dalam hati.

Laptopnya Gus Umam pun kutaruh di dalam lemari. Ku abaikan sementara hingga mungkin malam hari baru terjamah. Mengingat setelah ini, masih ada kegiatan mengaji kitab dan setoran hafalan pada Umik nyai.

Ada rasa yang datang entah darimana, berawal dari sebuah kekaguman yang lama terpendam hingga tak sadar rasa ini semakin menjadi-jadi. Sebagai santri, akupun sadar diri. Mana mungkin santri biasa macam aku menyanding seorang putra kyai. Maka dari itu, kubiarkan rasa ini ada tanpa kupupuk. Aku sering mengutuki diri sendiri mengapa rasa ini tumbuh. Namun, salahkah aku jika nyatanya Tuhan yang menitipkan rasa itu padaku.

Arah jam dinding menunjukan angka setengah 11 malam, itu pertanda kegiatan mengaji telah usai lalu berlanjut dengan istirahat. Tubuhku begitu lelah, pikiranku pun begitu penat, tapi masih ada satu tugasku belum ku jamah. Kuambil segera laptop Gus Umam. Pelan-pelan ku otak-atik meski kantung mataku hendak mengajaknya terpejam.

Satu jam berlalu. Akhirnya selesai sudah tugasku. Laptopnya kembali normal seperti sedia kala.
"Gus Umam pasti seneng. Mungkin inilah caraku membuatnya bahagia. Mesti bukan aku alasannya."Batinku

Semakin malam, pikiranku mulai tidak terkontrol. Bayang-bayang Gus Umam kerapkali datang tanpa permisi, ia terasa begitu melekat dalam ingatan. Segala tingkah lakunya padaku membekas begitu saja dalam lamunan. Siluet parasnya begitu tampan memanjakan mata. Suara merdunya nyaring mendamaikan dunia, apalagi ketika kalam-kalam Tuhan dilantunkan. Akhlaknya yang begitu bijaksana menjadikan beliau begitu berwibawa. Apalagi kelancaran hafalan Al-Qur'an beliau yang menambah keistimewaan tersendiri, menjadikan mbak-mbak santri dibuatnya terpesona. Dimana-mana beliau ramai dibincangkan, wajar hampir semua santri juga mengidolakan.

Lantas tingkahlaku beliau padaku kerap membuatku merasa berbunga-bunga. Aku pernah diberi olehnya sebuah buku pada waktu hari ulang tahunku. Selain itu, beliau kerap menanyakan kabarku pada sahabatku. Lalu, wanita mana yang tidak goyah perasaan nya jika seolah-olah diberi harapan terus menerus, apalagi oleh seseorang yang telah lama dikagumi. Sebenarnya
memang beliau sengaja membuatku merasa istimewa atau aku yang cepat menganggapnya ini beda?

Sejak aku selalu menjadi utusan Umik Nyai, sejak itu pula aku seringkali bertemu dengan beliau di 'Ndalem'. Pernah beberapa kali pergi bersama di acaranya keluarganya Kyai. Pertemuan yang acap kali menjadikan beberapa frekuensi interaksiku dengan Gus juga menjadi rekat. Sebagai wanita yang perasa, aku bisa membaca dari sorot matanya beliau padaku. Ada sebuah harapan yang ia letakkan disana. Meski disisi lain, aku selalu berusaha membuang jauh-jauh pikiran kotor itu. Tidak pantas seorang 'aku' berfikir aneh-aneh dengan beliau. Perasaanku itu tak perlu ku pupuk, biarkan ia layu, lalu mati dengan sendirinya.

Keesokan harinya setelah usai setoran hafalan, aku bergegas ke 'ndalem' untuk menyerahkan laptopnya Gus Umam. Tak tik tuk langkahku kupelankan ketika menyusuri lorong belakang ndalem Umik Nyai. Belum sempat ku masuk ruang tengah 'ndalem'. Langkahku kuhentikan mendadak karena tanpa kusengaja, aku mendengar sedikit perbincangan Umik Nyai dengan Gus Umam. Sungguh bukan maksudku lancang seperti ini. Apa daya diri ini sudah terlanjur mendengar perbincangan beliau. Gus Umam yang memesona itu ternyata telah di jodohkan dengan putri Kyai Raden Rahmat salahsatu pengasuh pondok ternama di kota Malang. Begitulah inti yang kutangkap atas permintaan keluarga Kyai. Hatiku sungguh seperti dicabik-cabik, goresannya begitu melukai hingga ulu hati, tapi memang aku harusnya sadar diri. "Sudahlah, jangan berharap terlalu tinggi. Kamu sangat jauh maqomnya dengan beliau." Bisikku dalam hati.

Setelah usai perbincangan, kuberanikan diri menghadap Gus Umam untuk menyerahkan Laptopnya. Dengan rasa yang tengah terpukul, kucoba menetralisir gerak-gerik tubuh dan wajahku agar tak terlihat sedih.

"Assalamualaikum, Ngapunten umiknyai. " Sapaku pelan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun