Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Gusku, Tambatan Hatiku

7 Juni 2020   22:48 Diperbarui: 7 Juni 2020   23:17 132 3

Wajahku seketika menunduk, pipi mungilku sontak memerah ketika ku sadari ia mengetahuiku sedang pergoki tingkahnya yang sedari tadi sibuk mengotak-atik bagian laptop yang sedang rusak. Dia menatapku. Tatapan kami sama-sama bertemu. Namun secepat kilat aku langsung menunduk. Meneruskan kembali pekerjaanku yang baru saja diutus Bunyai menyetrika baju-baju beliau. Ada rasa degup yang semakin tidak terkontrol, aku takut. Kalau-kalau dia bakal mendengar detak jantungku yang semakin tidak beraturan. Jangan sampai dia tahu isi perasaanku selama ini. Aku serasa mati kutu di hadapannya. Dia mendekatiku, lantas bertanya dengan suara lembut.

"Syah, dari tadi kamu sepertinya ngeliatin aku terus. Iso ta mbenerin laptopku, kyok e kok nge-hang ae."

Deg. Ternyata benar dugaanku. Gerak-gerikku sedari tadi terciduk beliau. Wajahku serasa tertusuk tak karuan menahan malu. Akupun mencoba menjawab tenang, meski sebenarnya aku gugup sekali.

"Nggeh Gus, InsyaAllah. Cobi kulo tingali riyen" Jawabku pelan.

Untung saja, dulu aku pernah les komputer. Hal-hal semacam ini sudah menjadi asupan harianku. Setelah beberapa menit kucoba otak-atik, lalu kutemukan kemungkinan-kemungkinan permasalahannya.

"Gus, Njenengan nek ndamel laptop sering disalap ten bantal utawi kasur ta?

"Loh iyo, Nduk."

"Oh kalau gitu, mungkin niku penyebab e. biasanya  gejala awal dimulai niku saat laptop mulai restart secara tiba-tiba. Niku leres ta mboten Gus?

"Iyo, Nduk"

 "Laptop yang cepat panas diakibatkan karena aktifitas yang menggunakan tempat ringan seperti bantal, kasur atau karpet berbulu.
Dan hal tersebut membuat sirkulasi udara baik yang keluar atau masuk terganggu, sehingga udara panas yang ada dalam laptop tidak bisa keluar dan tetap berada di dalam yang menyebabkan perangkat hardware laptop ikut panas. Ngoten gus.

"Hoalah. Kok pinter kamu nduk."

"Dulu Kulo pernah les komputer Gus."

"Oh. Terus yak opo Iki laptope biar bisa dipake lagi?

"Kalau gus berkenan, nanti saya bantu benerin Gus."

"Oh yaudah. Bawa saja kalau begitu."

Aku kegirangan setengah mati. Bahasa yang ku sampaikan pun campur aduk. Memang, aku ini asli kelahiran tanah Sunda, sudah tiga tahun aku menginjak kaki di tanah jawa, tapi bahasa Jawa alus ku pun masih terbata-bata.

Laptopnya gus Umam pun kubawa pondok setelah aku selesai meneruskan pekerjaan membantu Umik nyai.

Ditengah perjalanan ke pondok, nafasku ter-engah-engah. Bukan karena lelah membantu Umik nyai, melainkan kegirangan antara menahan malu dan rasa haru bisa berbincang-bincang lagi dengan Gus idolaku.

Teriakan cie-cie mbak-mbak santri pun meramaikan gendang telingaku ketika melihatku membawa laptop Gus Umam. Meski sebenarnya diri ini juga tak nyaman karena beberapa santri iri padaku karena selalu menjadi utusan Umik Nyai.

"Wah, kesempatan banget nih buat Aisyah, biar bisa Deket sama Gus Umam, kan." Celetuk Maryam tiba-tiba.

"Mboten mbak. Kebetulan saja." Jawabku singkat.

Memang begitulah kehidupan, entah di dunia pondok atau kerja. Selalu saja ada pihak yang tak suka. Kalau kata Gus Dur mah 'Ada orang suka atau tak suka, ya biarlah. Hidup ini mah jalan saja.

Mendengar ujaran itu, aku mencoba tenang seraya kusunggingkan senyum tipis padanya. Tak ingin jika api dibalas pula dengan api, yang ada malah jadi kebakaran. Ku abaikan saja tak perlu dibawa ke dalam hati.

Laptopnya Gus Umam pun kutaruh di dalam lemari. Ku abaikan sementara hingga mungkin malam hari baru terjamah. Mengingat setelah ini, masih ada kegiatan mengaji kitab dan setoran hafalan pada Umik nyai.

Ada rasa yang datang entah darimana, berawal dari sebuah kekaguman yang lama terpendam hingga tak sadar rasa ini semakin menjadi-jadi. Sebagai santri, akupun sadar diri. Mana mungkin santri biasa macam aku menyanding seorang putra kyai. Maka dari itu, kubiarkan rasa ini ada tanpa kupupuk. Aku sering mengutuki diri sendiri mengapa rasa ini tumbuh. Namun, salahkah aku jika nyatanya Tuhan yang menitipkan rasa itu padaku.

Arah jam dinding menunjukan angka setengah 11 malam, itu pertanda kegiatan mengaji telah usai lalu berlanjut dengan istirahat. Tubuhku begitu lelah, pikiranku pun begitu penat, tapi masih ada satu tugasku belum ku jamah. Kuambil segera laptop Gus Umam. Pelan-pelan ku otak-atik meski kantung mataku hendak mengajaknya terpejam.

Satu jam berlalu. Akhirnya selesai sudah tugasku. Laptopnya kembali normal seperti sedia kala.
"Gus Umam pasti seneng. Mungkin inilah caraku membuatnya bahagia. Mesti bukan aku alasannya."Batinku

Semakin malam, pikiranku mulai tidak terkontrol. Bayang-bayang Gus Umam kerapkali datang tanpa permisi, ia terasa begitu melekat dalam ingatan. Segala tingkah lakunya padaku membekas begitu saja dalam lamunan. Siluet parasnya begitu tampan memanjakan mata. Suara merdunya nyaring mendamaikan dunia, apalagi ketika kalam-kalam Tuhan dilantunkan. Akhlaknya yang begitu bijaksana menjadikan beliau begitu berwibawa. Apalagi kelancaran hafalan Al-Qur'an beliau yang menambah keistimewaan tersendiri, menjadikan mbak-mbak santri dibuatnya terpesona. Dimana-mana beliau ramai dibincangkan, wajar hampir semua santri juga mengidolakan.

Lantas tingkahlaku beliau padaku kerap membuatku merasa berbunga-bunga. Aku pernah diberi olehnya sebuah buku pada waktu hari ulang tahunku. Selain itu, beliau kerap menanyakan kabarku pada sahabatku. Lalu, wanita mana yang tidak goyah perasaan nya jika seolah-olah diberi harapan terus menerus, apalagi oleh seseorang yang telah lama dikagumi. Sebenarnya
memang beliau sengaja membuatku merasa istimewa atau aku yang cepat menganggapnya ini beda?

Sejak aku selalu menjadi utusan Umik Nyai, sejak itu pula aku seringkali bertemu dengan beliau di 'Ndalem'. Pernah beberapa kali pergi bersama di acaranya keluarganya Kyai. Pertemuan yang acap kali menjadikan beberapa frekuensi interaksiku dengan Gus juga menjadi rekat. Sebagai wanita yang perasa, aku bisa membaca dari sorot matanya beliau padaku. Ada sebuah harapan yang ia letakkan disana. Meski disisi lain, aku selalu berusaha membuang jauh-jauh pikiran kotor itu. Tidak pantas seorang 'aku' berfikir aneh-aneh dengan beliau. Perasaanku itu tak perlu ku pupuk, biarkan ia layu, lalu mati dengan sendirinya.

Keesokan harinya setelah usai setoran hafalan, aku bergegas ke 'ndalem' untuk menyerahkan laptopnya Gus Umam. Tak tik tuk langkahku kupelankan ketika menyusuri lorong belakang ndalem Umik Nyai. Belum sempat ku masuk ruang tengah 'ndalem'. Langkahku kuhentikan mendadak karena tanpa kusengaja, aku mendengar sedikit perbincangan Umik Nyai dengan Gus Umam. Sungguh bukan maksudku lancang seperti ini. Apa daya diri ini sudah terlanjur mendengar perbincangan beliau. Gus Umam yang memesona itu ternyata telah di jodohkan dengan putri Kyai Raden Rahmat salahsatu pengasuh pondok ternama di kota Malang. Begitulah inti yang kutangkap atas permintaan keluarga Kyai. Hatiku sungguh seperti dicabik-cabik, goresannya begitu melukai hingga ulu hati, tapi memang aku harusnya sadar diri. "Sudahlah, jangan berharap terlalu tinggi. Kamu sangat jauh maqomnya dengan beliau." Bisikku dalam hati.

Setelah usai perbincangan, kuberanikan diri menghadap Gus Umam untuk menyerahkan Laptopnya. Dengan rasa yang tengah terpukul, kucoba menetralisir gerak-gerik tubuh dan wajahku agar tak terlihat sedih.

"Assalamualaikum, Ngapunten umiknyai. " Sapaku pelan

"Wa'alaikumsalam nduk Aisyah, sini sini ada apa?" Tanya umik nyai.

"Ini umik, mau ngasih laptopnya Gus Umam yang kemarin rusak." Jawabku

"Ooo... Yaudah taruh meja sini aja nduk, Gus lagi di kamar, Ndak mau di temui, lagi PMS nduk." Terang Umik nyai sambil terkekeh.

"Oh nggeh mik. Mosok tiyang jaler PMS, mik." Jawabku seraya menahan tawa.

"Entahlah Gus mu itu, memang agak susah dibilangin". Jelas Umik.

"Oh nggeh sampun mik, kulo balik ke pondok dulu nggeh mik." Terangku ijin pamit.

Aku berpikir keras, mengapa Gus Umam marah dengan perjodohan itu. Apakah Gus benar-benar menolak keinginan keluarga Kyai ataukah Gus memang memiliki pilihannya tersendiri? Siapa sebenarnya wanita yang ada dihatinya Njenengan Gus? Apakah aku benar-benar kau letakkan di hatimu, atau hanya sekedar candaan yang cepat berlalu. Siapapun itu Gus, doa-doa kebaikan dariku akan selalu terpatri untuk Panjenengan. Seperti kata Sapardi Joko, Aku mencintaimu, oleh karena itu aku takkan berhenti mendoakanmu.

"Gus, aku sering mendoakanmu melebihi diriku sendiri, karena mendoakanmu sama saja artinya dengan mendoakan diriku, ketika aku mendoakan dirimu bahagia, dan dengan kehendak Tuhan kau dapat bahagia, meski bahkan bila kebahagiaan mu tidak lantaran doaku, aku akan tetap merasa kalau kebahagiaan mu berasal dr doaku, dan dengan itu aku berkeyakinan jika doaku diijabahi." Andai kau mendengar isi hatiku, Gus.

















KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun