"Dulu Kulo pernah les komputer Gus."
"Oh. Terus yak opo Iki laptope biar bisa dipake lagi?
"Kalau gus berkenan, nanti saya bantu benerin Gus."
"Oh yaudah. Bawa saja kalau begitu."
Aku kegirangan setengah mati. Bahasa yang ku sampaikan pun campur aduk. Memang, aku ini asli kelahiran tanah Sunda, sudah tiga tahun aku menginjak kaki di tanah jawa, tapi bahasa Jawa alus ku pun masih terbata-bata.
Laptopnya gus Umam pun kubawa pondok setelah aku selesai meneruskan pekerjaan membantu Umik nyai.
Ditengah perjalanan ke pondok, nafasku ter-engah-engah. Bukan karena lelah membantu Umik nyai, melainkan kegirangan antara menahan malu dan rasa haru bisa berbincang-bincang lagi dengan Gus idolaku.
Teriakan cie-cie mbak-mbak santri pun meramaikan gendang telingaku ketika melihatku membawa laptop Gus Umam. Meski sebenarnya diri ini juga tak nyaman karena beberapa santri iri padaku karena selalu menjadi utusan Umik Nyai.
"Wah, kesempatan banget nih buat Aisyah, biar bisa Deket sama Gus Umam, kan." Celetuk Maryam tiba-tiba.
"Mboten mbak. Kebetulan saja." Jawabku singkat.
Memang begitulah kehidupan, entah di dunia pondok atau kerja. Selalu saja ada pihak yang tak suka. Kalau kata Gus Dur mah 'Ada orang suka atau tak suka, ya biarlah. Hidup ini mah jalan saja.