Strategi Kebijakan dan Solusi
Untuk mengatasi paradoks pendidikan tinggi, dibutuhkan reformasi yang menyeluruh dan terstruktur. Beberapa langkah strategis dapat ditempuh:
Reformasi Sistem Seleksi PTN: Sistem seleksi perlu diperbarui agar lebih peka terhadap faktor sosial-ekonomi. Selain nilai akademik, perlu ditambahkan variabel sosio-ekonomi dalam proses penilaian. Misalnya, memberikan bobot lebih pada nilai akademik siswa dari sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), asalkan mereka memenuhi standar minimum.
-
Optimalisasi Program Afirmasi: Program KIP Kuliah harus diperluas secara signifikan. Alokasi penerima harus ditingkatkan hingga mencakup minimal 30% dari total mahasiswa PTN. Selain itu, skema pencairan dana harus dipermudah dan disesuaikan dengan kebutuhan riil mahasiswa, termasuk memberikan tunjangan biaya hidup yang lebih memadai.
Penguatan Sekolah Menengah di Daerah: Pemerintah harus memprioritaskan peningkatan kualitas sekolah di daerah miskin dan pedesaan. Hal ini mencakup distribusi guru berkualitas, perbaikan sarana dan prasarana, serta penyediaan akses ke teknologi digital yang setara dengan sekolah di perkotaan.
Subsidi Biaya Hidup dan Fasilitas: Pemerintah dapat menyediakan asrama mahasiswa bersubsidi, program transportasi bersubsidi, dan tunjangan makan bagi mahasiswa miskin. Kolaborasi dengan sektor swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) juga perlu didorong untuk memperluas jangkauan beasiswa dan fasilitas penunjang.
Perbaikan Tata Kelola UKT: Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap sistem verifikasi UKT di seluruh PTN. Digitalisasi dan keterbukaan data verifikasi UKT dapat meminimalisasi kesalahan administrasi dan memastikan bahwa mahasiswa membayar sesuai dengan kemampuan finansial keluarga mereka.
Paradoks pendidikan tinggi di Indonesia mencerminkan persoalan struktural yang serius. PTN yang seharusnya menjadi sarana pemerataan justru cenderung menguntungkan kelompok menengah-atas, sementara kelompok miskin tetap termarginalkan. Hambatan dalam seleksi, biaya kuliah, serta beban ekonomi pasca diterima memperparah kesenjangan akses, menjadikan pendidikan tinggi sebagai benteng eksklusif.
Jika kondisi ini dibiarkan, pendidikan tinggi hanya akan menjadi instrumen reproduksi kelas sosial, bukan mobilitas sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi menyeluruh melalui perbaikan sistem seleksi yang lebih adil, optimalisasi program afirmasi yang lebih inklusif, dan dukungan ekonomi yang komprehensif bagi mahasiswa miskin. Dengan demikian, pendidikan tinggi dapat kembali ke tujuan hakikatnya: sebagai sarana keadilan sosial dan pembangunan bangsa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 194
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI