Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Sepele

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arogansi Ahok Paksakan Reklamasi Potensial Disintegrasi

6 April 2016   18:32 Diperbarui: 6 April 2016   18:43 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konsekwensi negatif yang ditimbulkan dari kebijakan Ahok guna reklamasi Teluk Jakarta berdampak luas. Tidak saja ekosistem pesisir terancam oleh pelaksanaan reklamasi yang menyimpang, mata pencaharian dan kehidupan sosial masyarakat sekitar terisolir. Tidak sedikit peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Bahkan, pelanggaran itu menciptakan peluang kolusi antara korporasi pengembang dan penyelenggara negara.

Beberapa hal di atas disampaikan oleh Walhi, perhimpunan nelayan tradisional, budayawan Betawi Ridwan Saidi, serta pakar hukum dan tata ruang dalam program ILC TV One (5/4). Kehadiran Menteri KKP, Susi Pudjiastuti semakin memperjelas bahwasanya pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta tidak mengantongi rekomendasi dari kementeriannya, khususnya terkait AMDAL.

Selain itu, pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta tidak didahului dengan rencana zonasi. Ahok baru mengusulkan raperda RZWP-3-K kepada DPRD DKI setelah menerbitkan izin pelaksanaan. Izin prinsip yang ia perpanjang semasa menjabat gubernur plt juga tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Reklamasi Pulau G yang digarap oleh PT Muara Wisesa Samudra misalnya, perusahaan tidak menaati prasyarat dalam izin prinsip yang mereka dapat sejak era kepemimpinan Fauzi Bowo.

Rencana zonasi diatur dalam mekanisme reklamasi yang menganut dua aturan hukum spesifik, yakni UU No. 27 tahun 2007 dan Perpres No. 122 tahun 2012. Peraturan tersebut mengatur izin lokasi reklamasi berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K). Pasal 1 ayat (10) Perpres No. 122 mendefinisikan rencana zonasi adalah

Rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap – tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Karena itu, Pemprov DKI melakukan kesalahan fatal. Pertama, pemberian izin reklamasi tanpa berdasarkan rencana zonasi. Kedua, pembiaran terhadap kegiatan reklamasi pengembang ketika izin pelaksanaan belum diperoleh. Pengembang memulai kegiatan reklamasi meskipun hanya mengantongi izin prinsip. Kesalahan Pemprov DKI mengindikasikan upaya menutupi aktivitas ilegal reklamasi dengan usulan raperda rencana zonasi.

Sebagai pejabat publik yang bersumpah untuk menjalankan perundang-undangan, Ahok telah gagal. Kebijakan reklamasi yang seyogyanya memberikan manfaat bagi masyarakat tanpa merusak alam ternyata jauh panggang dari api. Dan, itu terjadi karena ambisi pembangunan yang sekedar memuaskan korporasi.

Selanjutnya, perselisihan kewenangan perizinan reklamasi antara Gubernur Ahok dan Menteri Susi berujung pada argumentasi yang absurd. Bappeda DKI malah mendistorsi kewajiban hukum untuk tidak tunduk pada konstitusi dengan membela Ahok dan kebijakannya. Bukankah pemanfaatan seluruh kekayaan alam harus kembali pada UUD 1945 pasal 33? Untuk itu, negara mengatur kewenangan pengelolaan daratan dan perairan kepada pemerintah pusat. Contohnya soal tanah, pemerintah pusat yang mengatur kebijakannya. BPN dibentuk atas dasar itu. Lantas, bagaimana soal reklamasi?

Peraturan perundang-undangan mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk menangani reklamasi dengan batas kewenangan masing-masing. Akan tetapi, pembagian kewenangan itu tidak berdiri sendiri. Ada sinergitas dari kedua pemangku kepentingan yang integral dengan otoritas negara. Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Kebijakan publik yang memisahkan diri dari otoritas negara berarti mengancam kedaulatan dan persatuan.

Dalam hal ini, Bappeda DKI menyatakan Menteri KKP tidak berwenang atas reklamasi Teluk Jakarta karena pasal 16 Perpres No. 122 tahun 2012 membatasi kewenangan menteri atas Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Mereka berpendapat hanya Gubernur DKI yang berwenang sesuai Keppres No. 52 tahun 1995. Sedangkan, DKI Jakarta termasuk Kawasan Strategis Nasional berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Bappeda DKI menimpali pernyataannya dengan menyebut kewenangan Menteri KKP sebatas beberapa pulau di Kepulauan Seribu, salah satunya Pulau Onrust. Secara logika, mereka melakukan strawman fallacy. Argumentasi mereka menyimpangkan klaim pada salah satu bagian pembentuknya. Klaim merupakan kalimat deklaratif yang terkandung dalam Ketentuan Umum Perpres No. 122 tahun 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun