Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Sepele

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menapaki Jejak Genderuwo Jelang Pilpres 2019

10 November 2018   14:14 Diperbarui: 2 Desember 2018   23:46 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival di Ancol menampilkan sosok ogoh-ogoh dari kesenian Bali yang menggambarkan sosok raksasa. (Foto:(Rifkianto Nugroho/detikcom)

Presiden Jokowi kembali memancing perhatian publik melalui pidato dalam momen pembagian sertifikat untuk masyarakat Tegal, Jawa Tengah. Saat menekankan pentingnya persatuan untuk menjaga kebhinekaan, ia berharap supaya masyarakat tidak terperangkap oleh politikus 'genderuwo' yang doyan menebar ketakutan.

"Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat menjadi, memang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga menjadi ragu-ragu masyarakat, benar nggak ya, benar nggak ya?" katanya. - Detik.com (9/11)

Strategi komunikasi simbolik demonizing the enemy dikenal dalam perspektif psikologi politik. Penggunaan simbol memang mudah dicerna, tetapi dapat kontraproduktif dan menimbulkan efek negatif. Ketersinggungan masyarakat atau kelompok yang merasa diasosiasikan dengan istilah tersebut menciptakan pertentangan yang semakin lebar, sehingga bisa mengurangi dukungan politik dari masyarakat yang justru menjadi korban propaganda. Pertentangan mungkin berkembang semakin tajam dan menyeramkan ibarat pengejawantahan dari simbol itu sendiri. Jika terjadi, propaganda yang semula hendak dilawan malah beranak-pinak.

Selain itu, masyarakat belum matang untuk menelusuri asal-muasal atau setidaknya menerima kondisi yang melatarbelakangi potensi munculnya propaganda sebagaimana yang dimaksud oleh Jokowi. Sosio kultur dan politik yang tumbuh sebelum prakemerdekaan telah menanamkan bibit pertentangan yang selama ini hanya dilipur dengan jargon toleransi dan solidaritas. Gaya patron client para pemimpin yang memperlakukan sebagian besar masyarakat sebagai kelas inferior agar bisa didikte, dikendalikan, dan diperintah juga merupakan faktor utama ketidakmatangan pola pikir masyarakat (mental template).

Pertentangan itu sempat membuncah dalam sidang PPKI untuk merumuskan UUD 1945. Usaha meredakan lewat pengubahan Piagam Jakarta dan penghapusan syarat presiden harus beragama Islam ternyata belum menjadi semangat kebhinekaan. Beberapa kelompok masih memendam kepentingan politiknya. Perlu refleksi dan rekonsiliasi apakah konstitusi republik ini terlahir atas dasar wawasan kebangsaan atau kompromi kekuasaan belaka.

Promosi toleransi beragama yang terus-menerus layaknya menata kehidupan berbangsa dengan gagasan utopis yang tidak akan pernah tercapai pemenuhan. Agama dalah klaim sepihak yang tidak mungkin dipertanggungjawabkan secara logika. Bagaimana mungkin membangun persatuan di atas spirit religiusitas dalam teologi yang saling berseberangan atau meniadakan? Terlebih, agama sepanjang sejarah manusia selalu dimanfaatkan untuk menguasai dan menaklukkan. Politik yang mengooptasi kelompok agama niscaya melahirkan friksi dan konflik.

Apakah masyarakat Indonesia siap menerima realitas itu jika berada di antara kepentingan golongan agama dan bangsa-negaranya? Amat dilematis. Agama membawa paradoks jika diletakkan dalam konteks kebangsaan yang secara natural berbhineka. Klaim sepihak dengan memonopoli kebenaran mendudukkan agama satu merupakan ancaman bagi yang lain. Rayuan nilai-nilai keilahian yang obyektif dan universal merupakan pernyataan ahistoris daripada penyangkalan secara terbuka terhadap kebenaran agama lain.

Konstelasi kepentingan kelompok nasionalis dan agama pun tanpa disadari memelihara demagogi. Rakyat yang tak ayal menjadi korban hasutan demi perebutan kekuasaan. Kemanusiaan terkoyak oleh diskriminasi. Masyarakat cenderung mengedepankan sentimen ketimbang akal sehat. Dan, ini diwariskan dari generasi ke generasi lewat primordialisme yang mengakar atau menjadi tradisi.

Perhelatan demokrasi Indonesia tak lepas dari kondisi itu. Propaganda justru menjamur karena setiap kelompok agama memiliki kapasitas suara dan otoritas dalam sistem pemerintahan yang tidak tegas memisahkan agama dari politik. Terdapat empat indikasi yang menunjukkan betapa propaganda secara massif terjadi jelang Pilpres 2019, antara lain:

Pertama, adanya desakan sistematis dan terstruktur untuk menempatkan ulama dalam kepemimpinan politik atau sekurang-kurangnya mempengaruhi putusan politik.

Setelah beberapa kali sukses menghimpun demonstrasi, PA 212 (GNPF) kemudian membentuk afiliasi antar ulama untuk mendesak Prabowo Subianto dalam kesepakatan politik yang melahirkan Ijtima Ulama II. Langkah ini seakan memberi legitimasi kepemimpinan politik dari umat Islam. Hal berbeda terjadi di kubu Jokowi karena ia sendirilah yang menentukan posisi tawar untuk mengatasi desakan parpol koalisi dengan seolah-olah merangkul Mahfud MD. Untungnya, mantan Ketua MK itu tidak melampiaskan kekecewaannya dengan masuk barisan sakit hati seperti waktu Pilpres 2014.

Kedua, menempatkan ulama dan golongan Islam sebagai pihak yang terzalimi.

Propaganda semacam ini populer di abad ke-20 untuk mendiskreditkan pihak Barat yang dicap musuh Islam. Kelompok ekstrimis dan teroris Arab selalu menggunakannya. Begitu pula di Indonesia, isu kriminalisasi terhadap ulama terus-menerus dihembuskan untuk menyerang kredibilitas presiden dan keutuhan negara. Kubu Prabowo seperti terekam dalam acara ILC (18/9) mengajak umat Islam agar memihak ulama yang terzalimi dengan menjual sosok Habib Rizieq.

Propaganda demikian jauh-jauh hari terbaca jelas oleh mantan Panglima TNI, Moeldoko sebelum menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Ia menengarai cara-cara lama untuk memprovokasi umat Islam pasca kasus penganiayaan yang menimpa tokoh ormas Islam di Jawa Barat sebelum Pilkada serentak 2018. Salah satu keberhasilan propaganda ialah penyerangan peribadatan umat Katolik di Gereja Santa Lidwina, Yogyakarta.

Aksi teror lone wolf itu lagi-lagi hendak dikapitalisasi dengan menyebar keraguan bahwa pihak kepolisian tidak adil dalam pengusutan kedua kasus, yakni penyerangan ulama dan gereja. Penyerangan terhadap ulama dianggap sengaja ditutupi dengan istilah oknum orang gila, sedangkan insiden di gereja disebut terorisme. Propaganda lanjutan berusaha menafikkan terorisme dan ingin menampilkan potret ketidakberpihakan penegak hukum terhadap umat Islam.

Ketiga, menghantui masyarakat dengan narasi kebangkitan PKI.

Contoh terbaru yakni kontroversi "tampang Boyolali" dalam pidato Prabowo saat kunjungannya ke daerah penghasil susu nomor satu di Jawa Tengah itu. Kontroversi yang berbuntut demonstrasi besar masyarakat menolak Prabowo dikapitalisasi oleh pendudukung setianya, Suryo Prabowo dengan menampilkan perolehan suara PKI di Boyolali dalam pemilu 1955. Hal yang tidak relevan diwacanakan ke publik dalam rangka menanggapi penolakan masyarakat Boyolali terhadap Prabowo. Propaganda bertujuan membangkitkan reaksi emosional dan menegasikan peranan rasionalitas.

Keempat, pembelaan kepada perlawanan golongan garis keras yang bertujuan menegakkan khilafah dan mengganti Pancasila.

Kisruh pembakaran bendera HTI oleh oknum Banser yang bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional di Garut dibelokkan menjadi penistaan terhadap tauhid. Imam Besar FPI, Rizieq tak tanggung-tanggung lantas memerintahkan para pengikutnya untuk mengibarkan bendera yang serupa di Indonesia. Padahal, ia sepatutnya tahu bahwa bendera yang ia maksud ialah simbol dari organisasi teroris dan terlarang di Arab Saudi. Results justify the means, salah satu prinsip propaganda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun