Jakarta, Sabtu 12 Juli 2025 Al-Mahdi Nawasena telah menyelenggarakan kegiatan Webinar yang bertemakan "Belajar dari Kasus Cidahu: Menjadi Mayoritas yang Menjaga Minoritas". Isu ini diangkat dari fenomena intoleran yang terjadi di Kampung Tangkil, Cidahu, Sukabumi Jumat 27 Juni 2025. Melalui platform ZOOM Meeting, sejumlah 37 peserta dari pukul 10:30-12:08 WIB turut meramaikan dan aktif dalam Webinar siang ini. Tema yang diangkat kali ini untuk menjawab kebebasan beragama. Terutama pembahasan ini berfokus pada kasus intoleran yang telah terjadi di Cidahu. Dan juga, webinar ini menghadirkan dua narasumber; Mahdiah dan Reihana Az-Zahra. keduanya berstatus Mahasantri di Ma'had Aly Pondok Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta.
Mahdia, selaku narasumber pertama memulai dengan mengangkat data kasus intoleran yang telah terjadi di Indonesia. "Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) 2024 menunjukkan Jawa Barat berada di bawah rata-rata nasional. Setara Institute mencatat 1.998 kasus pelanggaran kebebasan beragama antara 2014--2024. Pada tahun 2024 saja, terjadi 73 aksi intoleransi oleh warga, 50 kebijakan diskriminatif oleh negara, dan 42 gangguan terhadap rumah ibadah". Â Kemudian Mahdiah melanjutkan pembahasan melalui perspektif Konstitusi dan Hukum.
"Negara memiliki tanggung jawab  untuk menegakkan prinsip kesetaraan dalam perlindungan hak-hak warga tanpa adanya diskriminasi. Juga dalam Undang-undang Dasar tahun1945 pasal 29, menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Pernyataan ini juga didukung oleh Undang-undang tahun 1999 nomor 19 mengenai hak asasi manusia (HAM)". Tidak berhenti di situ, Mahdiah juga mengutip ayat Al-Qur'an seperti Q.S. Al-Anbiya (21): 107 dan Q.S. Al-Hajj (22): 40 sebagai penguat argumentasi kebebasan beragama dari perspektif Teologi Islam.
Setelah pemaparan materi dari narasumber pertama, pemaparan materi dilanjutkan oleh narasumber kedua yaitu Reihana Az-Zahra. Reihana mulai menjelaskan manusia dan hak-haknya dari sudut pandang Maqasid al-Syari'ah. Ia mengawali penjelasannya dengan poin pertama yaitu Hifz al-Nafs, yakni perlunya menjaga jiwa dan raga, baik dalam kondisi yang berbahaya maupun yang tampak aman. "Misalnya," jelas Reihana, "kita lebih memilih untuk diam apabila diri kita dihina oleh orang lain, karena menjaga jiwa bukan hanya soal keselamatan fisik, tetapi juga ketenangan batin dan kesehatan mental."
Setelah itu, Reihana melanjutkan dengan poin Hifz ad-Din, yang berarti menjaga agama. Dalam konteks ini, menjaga agama tidak hanya berarti menjalankan ibadah secara pribadi, tetapi juga menciptakan ruang yang aman bagi kebebasan beragama, saling menghormati keyakinan, dan tidak memaksakan kepercayaan kepada orang lain. Menurutnya, "menjaga agama juga berarti tidak mempermainkan nilai-nilai keimanan demi kepentingan duniawi."
Kemudian, ia menjelaskan Hifz al-'Aql atau menjaga akal. Akal adalah anugerah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Oleh karena itu, dalam Maqasid al-Syari'ah, akal harus dijaga dari segala bentuk penyalahgunaan, seperti konsumsi zat yang memabukkan, penyebaran hoaks, atau pola pikir destruktif. Pendidikan, diskusi kritis, dan kebebasan berpikir dalam kerangka etis juga merupakan bagian dari menjaga akal.
Selanjutnya, Reihana menyampaikan poin Hifz al-Mal, yakni menjaga harta. Ia menekankan bahwa dalam Islam, harta merupakan amanah yang harus dikelola secara bertanggung jawab. Bukan hanya soal menghindari pencurian atau korupsi, tetapi juga menggunakan harta untuk tujuan yang baik, seperti membantu sesama, berinfaq, dan menghindari gaya hidup konsumtif yang berlebihan. "Menjaga harta juga termasuk tidak membiarkan orang lain hidup dalam kemiskinan ekstrem saat kita memiliki kelapangan rezeki," tambahnya.