Mohon tunggu...
Labibah Saraswati
Labibah Saraswati Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMAN 28 Jakarta

Absen 19

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak dan Secangkir Kopi

1 Desember 2020   23:25 Diperbarui: 4 Januari 2021   09:10 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit mulai menggelap dan matahari mulai tak menampakkan dirinya. Waktu menunjukkan pukul lima sore. AKu mengintip dari jendela ke arah luar. Terlihat Bapak yang sedang menatap jalanan di depan rumah yang terlihat ramai oleh kendaraan bermotor yang melintas. Ditemani secangkir kopi dan sepiring singkong rebus, Bapak duduk dengan sarung khasnya dan juga selinting rokok di tangan kiri. Asbak yang diletakkan tak jauh dari dirinya hampir penuh.

Bapakku adalah seorang pedagang daging di pasar dekat rumahku. Kalau sore, ya seperti ini kegiatannya. Duduk-duduk santai di teras, tak pernah lupa secangkir kopi hitam pekat tanpa gula kesukaannya. Hubunganku dengan Bapak tidak bisa dibilang dekat tetapi kami juga tidak saling bermusuhan. Hanya saja seperti ada jarak di antara kami. 

Kalau teman-temanku mengetahui hal ini mereka pasti akan tertawa terbahak-bahak, menertawakan hubungan bapak dan anak yang tidak akrab ini. Terkadang akupun iri dengan teman-temanku yang dapat dengan mudah bercanda bersama Bapaknya, namun aku tahu Bapak bukan tipe orang yang bisa aku ajak bercanda. Semua orang di pasar tahu bagaimana sifat Bapakku ini. Bapak termasuk orang yang galak dan tegas namun jujur dalam berdagang, oleh karena itu dagangan Bapakku tetap laku. Kalau Bapakku tidak jujur mungkin semua pelanggan akan kabur karena tak tahan dengan sikap Bapakku ini. 

"Bapak ke masjid dulu!" Teriakan Bapak dari depan pintu rumah menyadarkanku dari lamunan ini. "Iya Pak," jawabku yang sedang duduk di kursi ruang tamu. Tak lama setelah Bapak pergi, Masku berlari tergopoh-gopoh keluar rumah dengan rambut acak-acakan dan peci di tangan. "Mas juga ke masjid dulu ya!" Aku hanya mengangguk tanpa menjawab. Setelah tersadar sepenuhnya dari lamunanku, aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu bersiap-siap untuk sholat Maghrib. 

Biasanya Bapak dan Masku pulang ke rumah setelah melaksanakan Sholat Isya berjamaah di masjid. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam tetapi batang hidung kedua orang itu belum muncul juga. "Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam," jawabku. "Habis darimana Mas? Kok agak malam pulangnya?" Aku pun bertanya karena penasaran. Ibu pun memunculkan kepalanya dari dapur seakan ingin tahu juga. "Itu tadi teman Bapak kan ibunya baru saja meninggal, Bapak dan yang lainnya rapat sebentar membahas pengajian, Mas juga jadi ikutan rapat deh."

"Oalah," ujar Ibu yang langsung kembali ke dapur menyiapkan makan malam. Kemudian kami melaksanakan makan malam seperti malam-malam biasanya dengan khidmat tanpa bersuara dan segera masuk ke kamar masing-masing.

Aku membuka buku pelajaran untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guruku di sekolah. "Kamu itu bodoh banget sih! Begini aja ngga bisa!" Sayup-sayup terdengar suara Bapakku yang menggelegar. Aku menghela napas. Ini bukan kali pertama Bapak marah di rumah. Anehnya, Bapak selalu marah terhadap hal-hal sepele yang menurutku tidak perlu dipermasalahkan. Aku membuka pintu kamarku perlahan untuk melihat keadaan ruang tengah. Terlihat Bapak dengan beberapa perkakas yang tercecer di lantai dan Ibu yang sedang memegangi senter kecil. Aku sudah menduga. Pasti Bapak sedang membentulkan radio yang rusak dan meminta tolong Ibu untuk menerangi dengan senter. 

Hal ini sudah sering terjadi di keluargaku. Kami yang dimintai tolong oleh Bapak namun dimarahi oleh Bapak juga tiap kami salah melakukan sesuatu yang kami tidak bisa. Aku pernah disuruh menahan kap mobil yang sangat berat saat bapak sedang membetulkan mobil dan kemudian dimarahi oleh Bapak karena aku kesemutan. Aku bahkan selalu menangis tiap dimarahi oleh Bapak. Kami tidak pernah melawan setiap dimarahi Bapak. Percuma saja kalau menurutku, Bapak punya segudang kata-kata baik yang sopan hingga kasar yang bisa keluar dari mulutnya kapan saja. Kalau kata Masku, sabar saja kan orang sabar disayang Allah Swt. 

Ini yang membuat hubunganku dan Bapak tidak berjalan dengan baik dan seperti ada jarak diantara kami. Aku selalu takut tiap berbicara dengan Bapak. Tentu saja karena takut salah bicara dan dimarahi. Ibu dan Masku pun tahu perasaanku ini. Bapak tidak pernah mau mendengarkan pendapat kami, apapun keputusan keluarga itu ada di tangan Bapak. Terkadang aku jengkel sih, karena pilihan yang Bapak buat tanpa persetujuan kami itu terlalu menyulitkan kami. Tapi kami tidak bisa apa-apa.

Aku kembali menutup pintu kamar dan berusaha untuk fokus terhadap tugas-tugasku yang menumpuk. Sebenarnya aku cukup mengkhawatirkan Ibu, namun setiap kali Bapak marah pasti Ibu selalu berkata, "ngga apa-apa Ibu sudah biasa. Kamu di kamar saja kalau Bapak sedang marah, nanti kamu nangis lagi." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun