Episode ke 3 : Sampah Jadi Listrik, Antara Harapan dan Kenyataan
Lebih dari 68,5 Juta ton sampah dihasilkan Indonesia setiap tahunnya (KLHK, 2023). Ironisnya, yang benar-benar terolah hanya sekitar 10-12 %, sisanya menumpuk di TPA atau tercecer ke sungai dan laut. Di satu sisi, 60 % pembangit listrik kita masih tergantung pada batu bara yang menyumbang emisi karbon besar-besaran. Sebuah Paradoks kehidupan. Tumpukan sampah menggunung, listrik tetap kotor, dan masa depan energy kita masih abu-abu.
Sebuah Realitas Atau Sekedar Janji
Gunungan sampah bukan sekedar pemandangan yang tak menyenangkan, bahkan ancaman bagi beberapa kota besar. Bantar Gebang misalnya, menerima lebih dari 7.500 ton sampah per hari dari Jakarta, dan diperkirakan akan penuh dalam beberapa tahun ke depan.
Ini belum termasuk angka 2.500 ton/hari untuk RDF Plant Rorotan, yang mengelola volume sampah yang masuk agar beban ke TPST Bantar Gebang bisa dikurangi.
Lalu hadir sebuah janji baru: waste-to-power. Pemerintah bersama sovereign fund Danantara berencana meluncurkan proyek pengolahan sampah jadi listrik di sejumlah kota mulai Oktober 2025.
Sebuah terobosan yang, di atas kertas, menyentuh tiga dimensi sustainability: Planet: mengurangi beban sampah dan emisi. People: membuka lapangan kerja dan meningkatkan kualitas hidup. Profit : menciptakan model bisnis energi baru. Namun, apakah realitasnya akan seindah janji di atas kertas?
Infrastruktur yang Masih Rapuh
Kita mulai dari hal paling mendasar: sistem pemilahan sampah. Apakah masyarakat kita sudah terbiasa dengan system ini dalam praktek kehidupan sehari-hari? Alih-alih memilah sampah.
Membuang pada tempatnya saja sudah jadi kebiasaan, terutama warga urban yang memiliki kondisi social dan pendidikan yang rendah. Sehingga sungai dan jalan menjadi korban sasaran membuang sampah seenaknya.
Jepang bisa sukses dengan waste-to-energy karena warganya disiplin memilah organik, plastik, logam, bahkan kertas. Di Indonesia, hanya sekitar 11% rumah tangga yang memilah sampah dari sumbernya (BPS 2023). Akibatnya, mesin secanggih apapun di PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) akan bekerja setengah hati, karena bahan bakunya kotor dan tercampur.
Bantar Gebang dan TPA lain adalah bukti betapa rapuhnya infrastruktur kita. Alih-alih bertransformasi jadi pusat energi, mayoritas TPA masih berfungsi sebagai "kuburan sampah" yang memproduksi metana; gas rumah kaca yang 28 kali lebih berbahaya dari CO.