Mohon tunggu...
Kurrotul Aini
Kurrotul Aini Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi memasak

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Wakalah dan Musyarakah di FinTech Syariah: Studi Kasus PT Ammana yang Inspiratif

14 Juni 2025   14:14 Diperbarui: 16 Juni 2025   20:23 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

         Kemajuan teknologi di era digital telah merambah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk sektor keuangan. Munculnya Financial Technology (FinTech) menjadi salah satu bentuk transformasi digital yang membawa perubahan signifikan dalam pola transaksi masyarakat. Di Indonesia, pertumbuhan FinTech terbilang cepat, terutama dengan hadirnya regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dukungan dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang berperan memastikan bahwa layanan keuangan berbasis teknologi tetap berpijak pada prinsip-prinsip syariah.

      Tulisan ini akan membahas penerapan akad wakalah dan musyarakah dalam layanan FinTech syariah, dengan menyoroti PT Ammana FinTech Syariah sebagai studi kasus. PT Ammana adalah pionir FinTech syariah di Indonesia yang sudah mengantongi izin resmi dan berada di bawah pengawasan OJK. Fokus artikel ini adalah menilai sejauh mana pelaksanaan akad-akad tersebut sesuai dengan fatwa DSN MUI serta peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Di samping itu, tulisan ini juga menyoroti peran FinTech syariah dalam memperkuat sektor ekonomi umat di tengah derasnya arus digitalisasi.

    Secara umum, FinTech merupakan inovasi dalam jasa keuangan yang memanfaatkan teknologi untuk menyederhanakan dan mempercepat layanan, termasuk dalam hal peminjaman dana secara daring. Di Indonesia, FinTech mengalami lonjakan perkembangan. Sebagai contoh, pada akhir 2017, FinTech jenis Peer-to-Peer (P2P) Lending telah menyalurkan pembiayaan hingga mencapai Rp 2,56 triliun. Laporan OJK menunjukkan bahwa pada 2018, tercatat 40 perusahaan FinTech resmi, dan pada Desember 2020 jumlahnya naik menjadi 151 perusahaan, dengan 11 di antaranya beroperasi dengan skema syariah.

    Peraturan menjadi komponen penting yang mendasari pertumbuhan industri ini. OJK mengeluarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 sebagai regulasi dasar layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi. Regulasi ini menjadi landasan bagi penyelenggara layanan untuk mengatur mekanisme kerja sama pembiayaan secara daring. Di sisi lain, Bank Indonesia juga menerbitkan PBI No. 19/12/PBI/2017, yang menekankan pentingnya stabilitas, efisiensi, dan keamanan sistem keuangan digital. Kemunculan FinTech berbasis syariah seperti PT Ammana menjadi solusi menarik bagi masyarakat Muslim yang ingin menghindari transaksi berbasis riba dan ketidakjelasan (gharar). Lembaga-lembaga seperti DSN MUI dan OJK tidak hanya bertugas sebagai pengawas, tetapi juga sebagai penjamin bahwa prinsip-prinsip syariah seperti larangan maysir, gharar, dan riba tetap dijaga dalam setiap produk yang ditawarkan.Sebagai platform P2P lending syariah pertama yang memperoleh izin resmi, PT Ammana memberikan dukungan pembiayaan kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Perusahaan ini berfungsi sebagai perantara antara investor dan pelaku usaha dengan pendekatan non-direct funding. Dalam praktiknya, pelaku usaha wajib menjadi anggota dari Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) mitra Ammana. Sistem pembagian keuntungan yang digunakan Ammana menerapkan prinsip bagi hasil (profit sharing) yang transparan dan adil. Keuntungan dihitung berdasarkan realisasi pendapatan usaha dibandingkan dengan estimasi awal yang disepakati. Terdapat dua skema pembiayaan utama yang ditawarkan: pertama, musyarakah, yaitu kerja sama pembiayaan antara investor dan LKMS; kedua, mudharabah, yaitu investor menyetor seluruh modal dan pengelolaan usaha dilakukan sepenuhnya oleh LKMS.

      Adapun implementasi akad di Ammana menggunakan dua bentuk utama, yakni akad wakalah dan akad musyarakah. Akad wakalah diterapkan antara investor pasif dan PT Ammana, di mana Ammana mendapat mandat untuk menyalurkan dana investor kepada mitra usaha. Imbalan yang diberikan kepada Ammana sebesar Rp 3.000 per transaksi, sesuai fatwa DSN MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017. Setelah akad wakalah berlangsung, dilanjutkan dengan akad musyarakah antara Ammana dan mitra LKMS. Musyarakah merupakan kerja sama modal, di mana kedua belah pihak berbagi keuntungan maupun menanggung kerugian sesuai porsi masing-masing. Ketentuan ini mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000.

      Kesimpulannya, implementasi akad musyarakah dan wakalah pada PT Ammana menunjukkan bahwa FinTech syariah di Indonesia bisa menjadi model ideal dalam menyelaraskan prinsip-prinsip keuangan syariah dengan perkembangan teknologi digital. Namun, untuk mendorong pertumbuhan lebih luas, diperlukan upaya edukasi dan literasi keuangan syariah yang berkelanjutan.

    FinTech secara global telah merevolusi cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Di berbagai negara maju, kehadiran teknologi ini telah menurunkan biaya layanan perbankan, meningkatkan inklusi keuangan, dan mempercepat transaksi lintas negara. Indonesia, dengan populasi besar dan tingkat penetrasi internet yang tinggi, memiliki potensi besar untuk mengembangkan FinTech secara inklusif, terutama untuk sektor informal dan UMKM.Salah satu tantangan utama dalam pengembangan FinTech syariah adalah membangun kepercayaan publik terhadap sistem keuangan baru yang tidak hanya berbasis digital, tetapi juga menjunjung prinsip syariah. Hal ini menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat terhadap implementasi akad-akad syariah dalam setiap transaksi.

        Akad wakalah dalam konteks FinTech syariah memiliki peran penting sebagai bentuk delegasi atau pelimpahan kuasa. Dalam hal ini, investor sebagai muwakkil memberikan kuasa kepada PT Ammana sebagai wakil untuk menyalurkan dana kepada pelaku usaha yang dinilai layak. Agar wakalah sah menurut syariah, perlu adanya kejelasan tugas, keikhlasan dalam pelaksanaan, serta kesepakatan atas imbalan atau ujrah. PT Ammana menetapkan imbalan tetap yang telah disepakati bersama, sehingga tidak mengandung unsur ketidakpastian (gharar). Sementara itu, akad musyarakah merupakan bentuk kerja sama modal di mana kedua pihak dalam hal ini LKMS dan pelaku usaha menyediakan dana untuk usaha produktif. Keuntungan dibagi berdasarkan rasio yang disepakati sejak awal, sedangkan kerugian ditanggung sesuai porsi kontribusi modal. Skema ini dinilai adil dan sejalan dengan prinsip keadilan dalam muamalah.Dalam praktik di PT Ammana, musyarakah diimplementasikan bersama mitra LKMS yang bertindak sebagai kurator dan pendamping pelaku usaha. Peran LKMS menjadi kunci dalam menjamin keberhasilan usaha yang dibiayai dan mengurangi risiko gagal bayar. Keberadaan lembaga ini juga meningkatkan kepercayaan investor terhadap pengelolaan dana mereka.

    Konsep-konsep ini menjadi relevan di tengah dinamika ekonomi digital karena menawarkan alternatif pembiayaan yang lebih adil dan berbasis kemitraan. Alih-alih mengejar bunga atau margin tetap, FinTech syariah menekankan bagi hasil yang proporsional dan risiko yang dibagi bersama. Inilah yang menjadi nilai lebih dibandingkan FinTech konvensional yang masih banyak mengandung praktik riba terselubung.Di sisi lain, pengawasan terhadap implementasi akad menjadi tantangan tersendiri. OJK dan DSN MUI harus terus berinovasi dalam menyusun regulasi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, namun tetap menjaga integritas syariah. Edukasi kepada masyarakat tentang akad-akad syariah digital juga sangat diperlukan, agar pengguna tidak hanya tertarik karena label 'syariah', tetapi juga memahami nilai dan prinsip yang dikandungnya.Melihat kondisi tersebut, peran FinTech syariah seperti PT Ammana tidak bisa dianggap remeh. Keberadaannya mampu mengisi celah yang tidak terjangkau oleh perbankan konvensional, terutama dalam memberikan pembiayaan produktif kepada pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Jika dikembangkan dengan sungguh-sungguh, FinTech syariah bisa menjadi pilar utama dalam menciptakan sistem keuangan yang inklusif dan berkeadilan. Menurut saya, praktik seperti ini perlu lebih banyak didukung oleh pemerintah dan lembaga pendidikan agar masyarakat luas memahami pentingnya keuangan syariah.

       Sebagai penutup, perkembangan FinTech syariah di Indonesia, seperti yang dicontohkan oleh PT Ammana, merupakan bukti bahwa integrasi antara teknologi dan nilai-nilai Islam sangat memungkinkan. Dengan penerapan akad wakalah dan musyarakah yang sesuai fatwa DSN MUI, layanan FinTech syariah ini dapat menjadi alternatif utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis nilai. Ke depan, kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci dalam membangun ekosistem FinTech syariah yang kuat, berkelanjutan, dan maslahat bagi umat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun