Pengaturan keadaan dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 372 UU 7/2017 dan lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 80 Peraturan KPU 25/2023, sedangkan pengaturan berkenaan dengan keadaan dilakukannya PSU Pilkada diatur dalam ketentuan Lampiran UU 1/2015 Pasal 112 dan diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan KPU 17/2024. Apabila dicermati, terdapat perbedaan keadaan dilakukannya PSU dalam ketentuan Pemilu dan PSU dalam ketentuan Pilkada di antaranya berkenaan dengan keadaan “Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda” dan “Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih, mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS”, yang menjadi perbedaan pokok terletak pada jumlah subjek pemilih. Keadaan dilakukannya PSU dalam ketentuan Pemilu hanya menyatakan “Pemilih”, tidak menyatakan harus “lebih dari seorang pemilih”, sementara itu keadaan dilakukannya PSU di Pilkada mensyaratkan subjek Pemilih harus “lebih dari seorang pemilih”.
Berkenaan dengan perbedaan jumlah subjek Pemilih, dalam praktik, Mahkamah Konstitusi telah memutusnya, di antaranya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 232/PHPU.BUP-XXIII/2025 (halaman 325 dan halaman 326) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 267/PHPU.BUP-XXIII/2025 (halaman 381 dan halaman 382), yang pada pokoknya menyatakan untuk dilakukannya PSU menurut ketentuan dalam undang-undang adalah harus ada lebih dari satu pemilih yang terbukti menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda. Jika hanya terdapat satu pemilih yang terbukti menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali maka hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilakukan PSU di suatu TPS, termasuk berlaku bagi keadaan Pemilih yang tidak terdaftar yang mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS, disyaratkan harus lebih dari seorang Pemlih yang tidak terdaftar, sebagaimana ketentuan Lampiran UU 1/2015 Pasal 112 ayat (2) huruf d dan huruf e.
Tidak Ada Perbedaan Rezim
Perdebatan soal perbedaan rezim antara Pemilu dan Pilkada sempat mewarnai perjalanan hukum kepemiluan. Namun, dalam perjalanannya, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XXII/2022, yang pada pokoknya Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XXII/2022, secara konstitusional telah mengakhiri perdebatan mengenai perbedaan rezim Pemilu dan Pilkada, sehingga tidak ada lagi perbedaan rezim pemilihan dan tidak relevan lagi untuk mendikotomikan antara Pemilu dan Pilkada.
Ikut UU Pemilu atau UU Pilkada?
Implikasi dari tidak ada lagi perbedaan rezim pemilihan, perlu diikuti dengan harmonisasi dan sinkronisasi antara UU Pemilu dan UU Pilkada, sehingga, penyelenggaraan Pemilu berikutnya dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil serta berkepastian hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024 (halaman 56). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024, memberikan pesan konstitusional untuk ke depan pembentuk undang-undang perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi antara undang-undang pemilu dan undang-undang pemilihan kepala daerah yang selanjutnya diikuti dengan harmonisasi dan sinkronisasi hingga peraturan perundang-undangan di bawahnya sehingga penyelenggaraan Pemilu dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil serta berkepastian hukum, di antaranya mencakup harmonisasi dan sinkronisasi terhadap perbedaan jumlah subjek Pemilih dilakukannya PSU dalam ketentuan Pemilu dan Pilkada.
Harmonisasi dan sinkronisasi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada termasuk soal perbedaan jumlah subjek Pemilih dilakukannya PSU dalam ketentuan Pemilu dan Pilkada tentu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun perlu dipertimbangkan, bahwa pilihan yang cukup rasional keadaan dilakukannya PSU adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pemilu yang tidak membedakan jumlah subjek Pemilih. Setidaknya terdapat alasan-alasan sebagai berikut:
- Menjaga kemurnian suara tidak dapat diukur atau ditentukan hanya dari berapa jumlah Pemilih yang melakukan pelanggaran. Sebagai contoh, dalam hal terdapat keadaan 1 (satu) Pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda, atau terdapat Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih, mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS, upaya korektif yang paling rasional untuk menjaga kemurnian suara adalah dilakukan PSU. Oleh karena, siapa yang mengetahui dan bisa memastikan surat suara yang telah digunakan oleh Pemilih yang melanggar tersebut di dalam kotak suara, karena setiap Pemilih dijamin dapat memberikan suaranya di tempat pemgungutan suara secara rahasia sebagaimana diatur ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 350 ayat (2) UU 7/2017 dan Lampiran UU 1/2015 Pasal 2, sehingga dalam hal keadaan tersebut tidak dimasukkan ke dalam keadaan yang dapat menyebabkan PSU, dalam batas penalaran yang wajar akan mengalami deadlock untuk mengkoreksi surat suara yang sudah terlanjur digunakan dan dimasukan ke dalam kotak suara oleh Pemilih yang melanggar tersebut.
- Dalam hal terdapat keadaan 1 (satu) Pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda, atau Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS, tidak dilakukan upaya korektif melalui PSU, dalam batas penalaran yang wajar berpotensi terjadi perbedaan antara jumlah pengguna hak pilih dengan jumlah surat suara yang digunakan oleh Pemilih, yang berujung dapat terjadinya deadlock dan persoalan dalam melakukan penghitungan suara atau pada saat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara;
- Bahwa alasan lain berkaitan dengan pertimbangan etik sebagaimana termuat dalam Putusan DKPP Nomor 45-PKE-DKPP/I/2025 (halaman 98 dan halaman 99), yang pada pokoknya ke depan KPU perlu mengambil kebijakan hukum untuk melakukan PSU apabila terjadi peristiwa pelanggaran pemilihan di beberapa TPS seperti yang terjadi dalam perkara a quo (dilakukan oleh hanya 1 (satu) Pemilih), hal itu penting dilakukan semata-mata untuk menjaga kemurnian perolehan suara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, keadaan dilakukannya PSU dalam ketentuan Pemilu yang tidak membedakan jumlah subjek Pemilih sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372 ayat (2) UU 7/2017 juncto Pasal 80 ayat (2) huruf d dan ayat (3) Peraturan 25/2023 merupakan pilihan yang rasional dan dapat dijadikan acuan dalam melakukan harmonisasi dan sinkronisasi UU Pemilu dan UU Pilkada oleh pembentuk undang-undang, sehingga pemungutan suara ulang dapat digunakan sebagai upaya korektif dan sebagai jalan menjaga kemurnian suara pemilih.
*Tulisan ini tidak mewakili lembaga/instansi manapun.