Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Putusan ZA dan Masa Depannya

1 April 2020   00:08 Diperbarui: 1 April 2020   00:22 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Proses peradilan pidana yang memperkarakan seorang anak pelajar (ZA) membunuh pelaku begal (Misnan) menjadi atensi publik. Masyarakat seolah dibuat heboh dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa ZA, dengan beberapa pasal yang ada di KUHP dan UU Darurat No. 12 Tahun 1951. 

Dakwaan pertama dengan ancaman paling berat yakni Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana), Dakwaan Kedua dengan Pasal 338 (Pembunuhan biasa), Dakwaan Ketiga dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP (penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal), dan Dakwaan keempat dengan Pasal 2 UU Darurat No. 12 Tahun 1951 (membawa senjata tajam tanpa ijin).

Hakim telah menjatuhkan 'Putusan bersalah' terhadap ZA dengan pertimbangan yuridis selama pemeriksaan di Pengadilan (PN Kepanjen Malang) dengan menjatuhkan sanksi berupa pembinaan selama 1 (satu) tahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Hakim berkeyakinan setelah pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa (ZA) memenuhi unsur delik penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Dengan kata lain, ZA telah bersalah melakukan tindak pidana.

Perbuatan ZA dikatakan merupakan tindak pidana, karena perbuatannya menghilangkan nyawa orang lain dan memenuhi unsur delik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Perlu untuk dicermati, bahwa suatu norma di dalam peraturan perundang-undangan pidana, pasti ada 'kepentingan hukum' yang hendak dilindungi. Misalnya, di dalam konteks peristiwa ini yakni nyawa orang lain tersebut yang menjadi kepentingan hukumnya. Artinya, perbuatan ZA tetap dianggap merugikan bagi orang lain.

Penulis menghormati Putusan Hakim tersebut. Tetapi, terdapat beberapa peristiwa yang dikesampingkan oleh Hakim, yakni terkait 'Pembelaan Terpaksa'. Konsep Pembelaan Terpaksa sebagaimana dinormatifkan di dalam Pasal 49 KUHP masuk dalam rumpun 'Alasan Peniadaan Pidana'. 

Konsep ini menjadi kewenangan Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, jika perbuatan dan peristiwa yang dialami Terdakwa memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 KUHP. Dapat dikatakan, bahwa hukum pidana menyediakan ruang untuk Hakim 'memberikan maaf' terhadap Terdakwa, jika tindak pidana yang dilakukan Terdakwa untuk pembelaan diri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda, baik kepunyaan diri sendiri atau orang lain.

Dengan demikian, jika yang dihebohkan masyarakat terkait pembelaan diri atas pacarnya yang hendak diperkosa atau dirinya sedang diancam oleh pelaku begal tersebut, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan pidana 'lepas dari tuntutan hukum' (ontslag van rechtvervolging). Artinya, perbuatan ZA merupakan tindak pidana, tetapi terdapat alasan pemaaf. Sehingga, 'sifat melawan hukum' dari perbuatan yang dilakukan ZA dianggap tidak ada. Suatu tindak pidana secara keseluruhan harus dianggap 'bersifat melawan hukum' (wederrechtelijkheid). Ya, karena itu merupakan inti dari suatu perbuatan dapat dikatakan menjadi tindak pidana.

Putusan ZA; Sanksi Pidana atau Tindakan ?

Melihat putusan Hakim yang menjatuhkan sanksi berupa pembinaan selama 1 (satu) tahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) sebenarnya merupakan penerapan norma dari Pasal 69 UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012). Kita semua mengetahui bahwa ZA masih berusia 17 (tujuh belas) tahun. 

Artinya, meskipun ZA melakukan tindak pidana pada umumnya, yang dapat dilakukan oleh orang dewasa. Tetapi, norma hukum yang dapat diterapkan terhadapnya yakni sanksi pidana atau tindakan yang diatur oleh UU SPPA. Dengan kata lain, disini berlaku asas 'lex specialist derogate legi generalli.            

Di dalam UU SPPA tersebut diatur jenis sanksi pidana dan jenis sanksi tindakan. Hakim di dalam perkara ini menjatuhkan bentuk sanksi pembinaan dalam lembaga. Bentuk sanksi tersebut yang merupakan salah satu bentuk sanksi dari jenis sanksi pidana (punishment / straf). Pengaturan norma tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 71 ayat (1) huruf d UU SPPA. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun