Kalau bicara soal korupsi di Indonesia, rasanya seperti membicarakan penyakit lama yang belum sembuh-sembuh. Dari dulu sampai sekarang, kasusnya terus saja muncul, seolah sudah jadi bagian dari berita sehari-hari. Hampir tiap tahun kita dengar ada pejabat, politisi, atau orang berpengaruh yang tertangkap tangan bermain-main dengan uang negara. Jumlahnya pun bukan kecil. Kalau uang itu digunakan dengan benar, mungkin sudah bisa membangun ribuan sekolah, rumah sakit, atau jalan yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat. Sayangnya, uang tersebut malah masuk ke kantong segelintir orang yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
Korupsi yang Seolah Nggak Pernah Hilang
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa masalah ini belum kunjung selesai. Menurut Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2024 berada di skor 34 dari 100. Angka ini jelas menandakan bahwa korupsi di negeri ini masih mengakar kuat. Berbagai kasus besar yang terungkap di media, mulai dari korupsi bansos, suap proyek, hingga permainan anggaran di parlemen, semakin membuat masyarakat geram. Ironisnya, banyak pelakunya justru orang-orang yang seharusnya menjadi teladan dan pelayan rakyat.
Mengapa Korupsi Sulit Diberantas
Mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Jawabannya tidak sesederhana hitam dan putih. Ada budaya politik yang masih penuh dengan balas budi dan patronase. Banyak jabatan diberikan bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan dan loyalitas. Celah hukum juga sering kali membuat koruptor masih bisa hidup nyaman meski sudah divonis bersalah. Hukuman yang ringan bahkan remisi yang mudah diberikan membuat efek jera hampir tidak terasa. Di sisi lain, gaya hidup konsumtif sebagian pejabat yang ingin selalu terlihat mewah menambah dorongan untuk mencari jalan pintas. Birokrasi yang rumit dan berbelit pun membuka ruang bagi praktik suap yang dianggap sebagai “jalan pintas” untuk mempercepat urusan.
Dampak Korupsi bagi Rakyat
Dampak korupsi pada akhirnya langsung dirasakan masyarakat. Korupsi bukan hanya soal angka kerugian negara yang triliunan rupiah, tapi juga tentang masa depan yang terampas. Dana pendidikan yang seharusnya untuk membangun sekolah malah berkurang di tengah jalan, membuat anak-anak harus belajar dengan fasilitas seadanya. Anggaran kesehatan yang bocor membuat rumah sakit kekurangan alat dan obat. Proyek infrastruktur yang dibangun dengan material seadanya karena dana dikorupsi menyebabkan jalan cepat rusak. Lebih parah lagi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan hukum semakin terkikis. Dalam semua itu, rakyat kecil yang paling menderita.
Harapan untuk Perubahan
Meski sering bikin pesimis, tetap ada harapan. Kita masih bisa melawan, asal ada kemauan dan keberanian. KPK serta aparat hukum harus benar-benar diberi dukungan, bukan malah dilemahkan. Sistem birokrasi harus transparan, misalnya dengan digitalisasi anggaran agar celah-celah suap bisa dipersempit. Pendidikan antikorupsi sejak dini juga penting, supaya generasi baru tumbuh dengan nilai kejujuran. Masyarakat pun punya peran besar. Banyak kasus korupsi besar yang terbongkar justru karena laporan warga atau kerja sama dengan media.
Dimulai dari Kita Sendiri
Korupsi memang masalah besar dan rumit. Tapi kalau menunggu semua beres dari atas, mungkin kita bakal terus kecewa. Perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil yang kita lakukan sehari-hari. Menolak memberi uang pelicin, berani berkata jujur, dan tidak ikut terjebak dalam praktik curang adalah bentuk nyata perlawanan. Kalau hal sederhana seperti ini dilakukan secara konsisten oleh banyak orang, maka perlahan budaya korupsi akan semakin sempit ruang geraknya.
Pada akhirnya, korupsi bukan sekadar masalah hukum, tapi juga masalah moral. Keberanian menjaga kejujuran adalah senjata terkuat untuk melawan penyakit lama ini. Mungkin tidak mudah, tapi tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang cerita lama yang sama: korupsi yang tak pernah hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI