“Aku sangat terkesan dengan perjalanan ini, Lis!”
Begitu Mas Dicky mengawali percakapan senja ini setelah suara benda-benda berjatuhan menghantam tanah gurun yang disusul keheningan panjang. Aku hanya tersenyum sambil membalas genggaman erat tangannya. Setelah semua kata-kata indah tentang perasaannya kepadaku terucap dari bibirnya sejak kami meninggalkan tanah air, akupun terbawa suasana yang sengaja ia ciptakan sepanjang perjalanan ini. Dia, yang memang aku kagumi sebagai orang yang lebih senior di perusahaan tempatku bekerja karena pemikiran-pemikiran briliannya, berhasil pula mendapat tempat di celah sempit romantisme yang tersisa di hatiku. Aku tak tahu harus berkata apa. Selama sembilan tahun pernikahanku dengan Heru, memang ada beberapa lelaki yang hinggap di celah itu walau tak kuutarakan dengan kata-kata maupun sikapku. Namun saat ini, aku tak sanggup untuk mengelak agar dia tak menyandarkan kepalanya di pangkuanku. Agar aku tak membiarkan tubuhku terbaring menikmati buaian jiwa yang tersanjung, dan melenakan jari-jemariku dalam kepalan tangannya.
Terngiang-ngiang dengan jelas kata-kata yang ditulisnya dalam bentuk puisi di secarik kertas kemarin. Romantis. Menyentuh kalbu yang t’lah lama membisu. Mengusik, dalam muatan benak yang kian berisik. Aku tak menyangka kalau selama satu setengah tahun ini dia memendam rasa terhadapku. Dia ingat semua kejadian yang kami alami sejak pertemuanku dengannya di ruang pertemuan kantor saat acara perkenalanku sebagai pegawai baru di sana. Waktu itu aku tidak begitu memperhatikan dirinya karena masih ada lelaki yang jauh lebih muda dan masuk dalam kategori lelaki idamanku.
Sentuhan mesra pertamanya padaku adalah ketika dia membelai kening hingga pipiku untuk mengembalikan beberapa helai rambut yang tertiup angin seolah tampak seperti membelah wajahku. Saat itu kami sedang istirahat selepas makan siang berbincang-bincang bersama rekan sekantor lainnya sambil menikmati suasana pantai dalam sebuah acara presentasi perusahaan. Kejadian itulah yang mengawali bait puisi yang kemarin diberikannya padaku. Aku sendiri tak ingat kejadian itu. Namun yang pasti setelah dia menjelaskannya, bait itu menjadi bait puisi terindah yang pernah ditulis. Bahkan karya-karya Shakesphere menjadi tidak romantis di mataku.
Semoga rasa ini tak mengubah kekagumanku padamu, Mas! Termasuk kekaguman untuk menjaga keutuhan rumah tanggamu. Aku membiaskan senyum seolah sedang mengakhiri penampilanku sebagai penyanyi solo yang disambut riuh rendah tepuk tangan penonton yang memenuhi gedung pertunjukan.
“Walaupun aku saat ini, dan pasti akan selalu, jatuh hati kepadamu, kita harus menjaga keutuhan rumah tangga kita masing-masing, Lis! Nanti waktu acara akhir tahun perusahaan, aku akan membawa ketiga anakku untuk diperkenalkan ke anak-anakmu,” candanya siang tadi setengah serius, “Jadi sekarang anakku ada lima ya?”
“Gimana kalau Heru juga tak ajak ke acara itu, Mas?”
“Ya, nggak apa-apa. Kita bicara dengan bahasa hati walaupun mengucapkan kalimat-kalimat basa-basi! Hanya kita berdua dan kelima anak kita yang bisa memahami bahasa itu.”
“Huhh!” aku mendorong pundaknya dengan genit sambil cengengesan.
“Loh, emang menurut kamu gimana?”
“Sulis nggak tau, Mas! Udah lah, nggak usah mikirin Heru, Sulis bisa nemuin cara kok...”