Tuturan yang digunakan oleh kedua tokoh di atas dalam mengritik kebijakan pemerintah, dalam tinjauan linguistik pragmatik,  menggambarkan sebuah tindak mengancam 'muka' pemerintah yang berarti sebuah tindak  mengancam kedudukan sosial ataupun citra diri pemerintah.  Jadi maksud dari kritikan tersebut pada dasarnya adalah menggoyang kedudukan sosial sekaligus merusak citra diri pemerintah di mata rakyat.
Pertanyaannya kenapa itu dilakukan oleh pihak oposisi? Ini bisa dilihat dari konteks tuturan yang melatari munculnya kritik tersebut yaitu pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang tahap awalnya akan dimulai secara formal bulan Agustus 2018 mendatang. Dengan merusak citra diri diri pemerintah dan menggoyang kedudukan sosialnya, pihak oposisi bermaksud memberikan kesan buruk/jelek kepada rakyat atas kinerja ataupun capaian  pemerintah selama ini, setiap  kebijakan pemerintah akan selalu dianggap buruk atau jelek.
Tindakan semacam ini akan semakin sering dilakukan sampai nanti menjelang pelaksanaan pemberian suara/ pencoblosan. Dengan terus menerus menyebarkan kesan buruk/jelek pemerintah kepada rakyat maka citra diri dan kedudukan sosial pemerintah akan merosot di mata rakyat,  sehingga  rakyat akan bisa terpengaruh/mudah dipengaruhi untuk memilih  Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh pihak oposisi, inilah harapan/maksud utama dari pihak oposisi melakukan kritik terus menerus kepada pemerintah.
Berdasar keterangan di atas, maka tidak perlu heran bila pihak oposisi cenderung tidak akan pernah memberikan apresiasi positif  atas kinerja atau prestasi pemerintah. Dan dalam mengritik pihak oposisi menggunakan kata-kata/tuturan yang bersifat kasar atau tidak santun  karena tuturan/kata-kata tersebut memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan memunculkan kegaduhan/kontraversi di masyarakat.
Bila pihak yang dikritik (pemerintah/penguasa) menjawab kritik secara kasar pula maka akan  menjadi kontraproduktif, keadaan justru menjadi berlipat-lipat gaduhnya sehingga merugikan pihak penguasa/pemerintah sendiri. Sebagai penguasa pemeritah harus menjawab dengan tuturan/kata-kata/bahasa yang santun/halus guna meredam kegaduhan  yang terjadi di masyarakat_ berperan sebagai penguasa/pemerintah memang harus demikian. Â
Sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, pemakaian tuturan/kata-kata yang kasar dalam interaksi politik menunjukkan praktek berpolitik yang tidak elegan/sportif, dan dari segi edukasi, tidak memberikan pendidikan berinteraksi politik yang baik, sehat, dan santun kepada masyarakat.
Maka tidak perlu heran juga, kalau sebagian masyarakat sendiri dalam berinteraksi sosial sehari-hari baik di media daring maupun non-daring juga menggunakan bahasa atau tuturan yang kasar (melakukan ujaran kebencian), karena melihat langsung para elit/pemimpin negeri, baik dari kalangan politisi maupun birokat, Â mempraktekan cara bertutur yang tidak baik.
Di masyarakat kita masih kuat adanya anggapan  bahwa seorang pemimpin, pemimpin di bidang apapun, harus mampu menjadi panutan/teladan bagi yang orang-orang yang dipimpinnya.
Politik adalah masalah kekuasaan, kekuasaan tidak akan pernah langgeng. Sekuat apapun penguasa (pemerintah) memegang kekuasaannya cepat atau lambat pasti akan terlepas akan berganti peran menjadi oposisi, dan sebaliknya pihak oposisi akan berperan menjadi penguasa/pemerintah, masin-masing akan memainkan peran sesusai dengan kedudukannya.
Hukum alam ini perlu diingat dan disadari kembali oleh semua pihak, termasuk masyarakat dan utamanya para politisi dan penguasa, agar suasana kehidupan damai dan tentram terjadi.
(solo4501052018)