Mlangi adalah nama sebuah dusun di sebelah barat kota Yogyakarta. Secara administratif, saat ini Mlangi termasuk kawasan Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Ada dua versi mengenai asal mula penamaan Kampung Mlangi. Versi pertama bahwa nama Mlangi diambil dari kata mulangi, dalam bahasa Jawa berarti "mengajarkan". Sedangkan versi kedua bahwa Mlangi merupakan singkatan dari meling-melibg tur wangi yang artinya "berkilauan dan berbau harum".
Mlangi adalah salah satu dari empat pathok Negoro yang dimiliki oleh kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat. Pathok Negoro dapat diartikan sebagai empat daerah yang berada di sekeliling keraton yang masing-masing dipimpin oleh seorang perwakilan yang bertugas sebagai pembantu penghulu hakim keraton. Fungsi keberadaan keempat pathok Negoro tersebut, selain disimbolkan dengan keberadaan pimpinan, juga diwakili oleh sebuah masjid. Oleh karena itu, selain kepada tempat, pathok Negoro bisa juga mengacu kepada seseorang dan masjid.
Tujuan utama didirikannya pathok Negoro adalah sebagai benteng agama maupun fisik untuk melindungi pusat kerajaan dari pengaruh buruk yang datang dari luar. Selain itu, secara filosofis keberadaan keempat pathok Negoro didasari dari falsafah pathok kiblat papar lima pancer. Sebagai pancer (pusat), keberadaan keraton diharap tidak tergoyahkan dengan adanya empat penyeimbang di keempat sisinya. Letak empat pathok Negoro dianggap tepat karena berada di pinggiran sungai yang mengaliri daerah Yogyakarta.
 Dalam sejarahnya, Mlangi adalah pathok Negoro pertama yang didirikan. Kampung ini adalah pemberian dari Hamengkubuwono 1 kepada kyai Nur Iman ditahun pertamanya menjadi raja. Dikisahkan bahwa Hamengkubuwono 1 mengukur tanah yang akan diberikan kepada kakaknya dengan cara memukul bedug. Dengan pukulan bedug tersebut, jadilah masjid dan daerah sekitarnya sebagai pathok Negoro dengan status tanah peradilan, yaitu tanah bebas pajak keraton. Diperkirakan Masjid pathok Negoro negara Mlangi didirikan pada masa awal-awal pemerintahan Hamengkubuwono 1.
Status pathok Negoro dengan fungsi formal ini berlangsung hingga tahun 1953 dengan ditandatanganinya surat penyerahan kepengurusan dari keraton kepada masyarakat Mlangi dengan disaksikan tiga tokoh Mlangi. Menurut Yenny Retno Mallany, perubahan fungsi pathok Negoro dipengaruhi oleh UU No. 23 tahun 1947 tentang penghapusan pengadilan Raja di Jawa dan Sumatra. Dengan keluarnya UU tersebut, pengadilan surambi yang selama dijalankan di keraton dihapuskan. Hal ini berpengaruh langsung terhadap fungsi utama pathok Negoro sebagai salah satu perwakilan hakim agung.
Meskipun demikian fungsi non-formal dari pathok Negoro terus berjalan. Hingga kini ruh dakwah Islam masih mewarnai kampung Mlangi. Hal ini tampak dari banyaknya pondok pesantren dikampung Mlangi serta kehidupan masyarakat Mlangi yang kental dengan nuansa keislaman. Sampai saat ini beberapa tradisi yang menggambarkan nuansa keislaman Mlangi yang terpengaruh keraton seperti shalawat ngelik dan kojan. Ngelik adalah seni vokal membaca maulid nabi yang menggabungkan antara aspek seni Islam dan Jawa. Ngelik dilantunkan dengan langgam Jawa dan intonasi yang tinggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI