Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Potret Pendidikan "Orang-Orang Oetimu"

4 Desember 2020   21:07 Diperbarui: 8 Desember 2020   18:44 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Orang-Orang Oetimu karya Felix. K. Nesi. Dok.pribadi.

Upaya mencerdaskan masyarakat bangsa diwujudkan melalui pendidikan. Namun hingga usia kemerdekaan Indonesia sudah lebih dari seteganah abad, masyarakat belum sepenuhnya menikmati pendidikan yang berkualitas.

Pendidikan adalah hak masyarakat. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan "Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya" (pasal 60). 

Hak warga untuk mendapatkan pendidikan dijamin konstitusi kita. "Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan" (pasal 31 ayat 1 UUD'45); dan dipertegas lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat (1) yang menyatakan, "Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu."

Untuk memenuhi hak konstitusional ini, Pemerintah Indonesia berkewajiban menyediakan pendidikan bagi warganya sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 11 ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi."

Walau hak warga mendapat pendidikan telah diatur dalam konstitusi, pendidikan yang baik dan bermutu masih mahal dan elitis. Penyelenggaraan pendidikan cendrung menguntungkan kelompok yang mampu secara financial. 

Besarnya biaya pendidikan semakin memperlebar kesenjangan dan diskriminasi dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat ekonomi atas bebas menikmati pendidikan bermutu. Sebaliknya masyarakat ekonomi lemah harus menerima kenyataan mengenyam pendidikan dengan fasilitas seadanya.

Program wajib belajar sembilan tahun sudah digalakkan tetapi penyediaan fasilitas pendidikan yang layak belum merata di semua lembaga pendidikan di seluruh tanah air. 

Sekolah dengan fasilitas memadai lebih banyak tersebar di wilayah perkotaan. Di daerah pedesaan pendidikan berjalan dalam kondisi minim fasilitas. Sekolah dengan fasilitas terstandar diberi label tertentu: berstandar internatonal, rintisan nasional, bermutu, dll. 

Di sekolah seperti ini, biaya sangat mahal dan seleksi masuk dilakukan dengan ketat. Kondisi ini tentu membatasi akses anak-anak dari keluarga miskin.

Orang Oetimu yang tergolong ekonomi lemah harus menerima kenyataan tersingkir dari lembaga pendidikan dengan label "bermutu." SMA Santa Helena, sekolah berasrama dengan fasilitas berstandar international, dan proses seleksi masuk yang ketat menjadi incaran anak-anak orang kaya. 

"Sementara sekolah itu semakin tersohor dan mendatangkan siswa-siswi baru, anak-anak nelayan, kuli pelabuhan, para pelacur, dan para pekerja kasar lainnya harus keluar dari sekolah itu. Biayanya menjadi lebih mahal empat kali lipat (hal.99).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun