Mohon tunggu...
Muhammad Fachri Darmawan
Muhammad Fachri Darmawan Mohon Tunggu... Freelancer - Alma Matters.

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lekuk Kebimbangan

8 Desember 2017   11:09 Diperbarui: 8 Desember 2017   11:12 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berjalan melewati sederetan wajah-wajah penuh dengan kecemasan. Lekuk tubuh penuh dengan kebimbangan. Wajah dan tubuh itu, seolah-olah menghakimiku dengan tajamnya. Nuansa hatiku seakan tenggelam pada suasana penuh dengan keraguan. Dingin yang terasa dan sunyi yang menderita melingkupi segala gerak-gerikku. Aku tak tahu harus melakukan apa dan tak mengerti bagaimana seharusnya. 

Dunia yang indah, penuh dengan kebahagiaan dan kesenyuman seakan hilang sampai titik di mana kita tak bisa menjangkaunya. Aku terus berjalan melewati fase-fase tersebut, dan anehnya, jalan yang kutempuh, tak sekalipun menghilangkan apa yang sedang aku rasakan. Tentang pengalaman, tentang pertemanan, dan tentang perlawanan. 

Perlawanan yang hanya bisa kulakukan, hanyalah sebuah pelarian. Dan pelarian yang aku lakukan hanya akan bertemu dengan awal mula yang aku rasakan. Sampai suatu ketika, aku bertanya pada diriku, "apakah ini pelarian yang sia-sia?". Nurani ku tak bisa menjawab. Akal ku terus bergejolak. Ya, pelarian harus terus dilakukan dan perlawanan harus terus dijalankan. Wajah-wajah itu, terasa menghakimiku. 

Dia tidak berjiwa, dia tidak bermoral, dia tidak beretika, dan dia tidak pantas untuk berada disini, mungkin itu yang keluar dari raut wajah yang mencekam diriku. Apa yang salah sehingga aku merasakan hal ini?. Bagiku, tidak ada yang salah, bagi mereka? Aku tak tahu. Aku terus berjalan, melakukan pelarian, dan menjalankan perlawanan.

Aku tahu, diriku tak sama dengan mereka. Aku mengerti, gerak-gerikku tak berirama dengan mereka, dan juga, riwayat hidupku, sangat melenceng dari riwayat hidup mereka. Aku sadar, bahwa dahulu, aku hanya seorang yang dianggap sebelah mata oleh mereka dan dahulu aku hanya orang yang terpinggirkan oleh kelakuan mereka. Sampai satu ketika, mereka semua telah menerimaku sebagaimana adanya. Dan saat mereka menerimaku sebagaimana adanya, aku ingin membalas dendam atas apa yang sudah aku rasakan dahulu. Di saat mereka sudah merubah paradigmanya mengenai diriku, disaat itu pula aku merubah paradigma terhadap diriku sendiri. 

Dan saat itu pula, aku merasakan suatu ketenangan dan kepuasan yang tak terhingga, tetapi tetap, itu membuat diriku aneh dan gila. Aku ingin bermain-main dengan mereka dan aku ingin mereka masuk ke dalam jerat permainanku, walau itu membuat aku aneh dan gila. Aku berjalan dengan santainya, berpikir tentang permainan yang aku ciptakan. Kerikil yang berserakan, aku rasakan menghambat jalanku. A

ku bersihkan dengan kaki kananku, dan ku tendang kerikil tersebut ke segala arah. Portal yang berjarak 4 meter di depanku, aku lempar dengan batu yang berukuran kepalan tanganku, sambil berteriak, aku lemparkan batu itu. Aku terus berjalan, tikus-tikus berkeliaran di kanan kiriku, dengan bebasnya mereka masuk dan keluar gorong-gorong yang terbuka lebar, dengan santainya mereka mengeluarkan suara yang penuh dengan ketenangan. Dan itu, membuatku cemas, tindak-tanduk seperti itu, membuatku merasa dilecehkan, bahkan oleh sebuah tikus!. Aku rasa, semuanya menghakimiku, meninjuku dengan penuh tekanan, dan menempelengku dengan penuh penindasan.

Aku mulai masuk ke dalam gang yang penuh dengan rumah-rumah kumuh dan jalanan yang penuh dengan lumpur. Rumah-rumah yang penuh dengan keperkasaan. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, tidak ada suara apapun yang keluar kecuali angin yang berhembus dengan kuatnya. Angin malam membuat tengkukku terasa pegal dan badanku terasa nyeri. Aku merasakan, hal-hal yang jasmani, mulai berubah secara seketika, tetapi hal-hal yang bersifat kejiwaaan, masih tetap kokoh pada satu titik. Aku bukan orang yang lemah dan bukan pula orang yang malang. Jalan dalam gang itu, tidak terlalu panjang, tidak sampai 2 menit aku sudah keluar dari gang itu.

Bertemu dengan lapangan yang besar dan kosong, hanya ada anjing yang menyalak begitu hebatnya. Anjing itu menyalak, bukan kepadaku, tetapi kepada orang yang mencoba membuka gerbang rumah yang terdapat di pinggir lapangan tersebut. Tetapi, seketika aku melihat kedua bola mata anjing itu, aku merasakan, ia menerorku dan menghakimiku. Ternyata anjing itu menyalak kepadaku!. Anjing itu berwarna cokelat kehitaman dengan moncong yang bersudut lancip dan juga bertubuh langsing, seperti anjing-anjing yang digunakan untuk memangsa makhluk hidup lain. 

Aku berlari melihat itu. Sampai keringatku membasahi pundakku. Walau malam itu dingin, tetapi sudah tidak kurasakan lagi. Rasa pegal dan nyeri hilang, diganti dengan jantung yang berdetak begitu hebatnya. Lapangan itu seolah dekat, seperti aku mendekap diriku sendiri. Langkah kakiku sangat ringan, seperti mengangkat sebongkah kapas.

Aku bimbang dan aku ragu. Aku kembali berjalan dengan santai untuk menyeimbangkan detak jantungku. Masuk ke dalam gang kembali, dan ini adalah gang menuju rumahku. Sebentar lagi aku sampai ke tempat di mana, mereka semua menerimaku. Dengan ketulusan dan dengan rasa sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun